Jayapura, Jubi – Sejumlah warga Papua mengajukan permohonan uji materil kuasa dalam Perkara pengujian Undang-Undang Parpol ke Mahkamah Konstitusi. Sebab tidak terima dengan perseteruan penentuan calon presiden (Capres).
Salah satu warga yang mengajukan, Elias Ramos Petege mengatakan, pemilihan Umum (Pemilu) serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten dan Kota yang akan digelar pada bulan Februari tahun 2024. Masih lama, sekitar 1 tahun 10 bulan lagi.
Tetapi sudah mulai muncul kandidat-kandidat yang berambisi menjadi calon presiden dan wakil presiden.
“Para elit politik yang berambisi tersebut, tidak semua mendapatkan dukungan popular dari rakyat. Tetapi tetap berambisi maju menjadi calon Presiden di pemilihan umum Tahun 2024,” katanya kepada Jubi saat ditemui di Abepura, belum lama ini.
Petege mengatakan, salah satunya, perseteruan yang tampak dan itu disaksikan masyarakat Indonesia; calon Presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) antara Ganjar Pranowo dan Puan Maharani; Dalam survei terbaru, banyak rakyat dan kader PDI-P menginginkan Ganjar Pranowo, Kader Senior PDI-P sekaligus Gubernur Jawa Tengah itu menjadi calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia perjuangan (PDI-P).
“Namun, Puan Maharani lebih berpeluang mendapatkan tiket calon Presiden atas dukungan ibunya (Megawati Sukarno Putri) yang juga adalah ketua Umum PDI-P, sebab di PDI-P yang menentukan Capres adalah Ketua Umum, bukan suara anggota dan suara rakyat,” katanya.
Petege mengatakan, selain perseteruan antar sesama kader PDI-P, ada pula, ketua umum partai lain yang sedang berambisi menjadi calon presiden; beberapa di antaranya: ketua umum partai Golkar, Airlangga Hartanto, ketua umum PKB, Muhaimin Iskandar, ketua umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono dan lainnya.
“Mereka sebagai ketua umum memiliki kewenangan mutlak untuk mencalonkan nama-nama calon dari partainya termasuk dirinya sendiri. Padahal, bisa saja masih banyak kader partai yang memiliki kompetensi dan kapabilitas untuk mencalonkan diri menjadi Presiden; Namun, mereka berpotensi gagal hanya karena ambisi ketua umum dan keluarganya,” katanya.
Petege mengatakan, selain ambisi elit partai politik, kandidat di luar kader partai dan kader partai sendiri, sulit ikut mencalonkan diri dan atau ikut seleksi terbuka. Karena di undang-undang partai politik tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai pedoman mekanisme rekrutmen internal yang terbuka dan transparan berdasarkan kapabilitas dan kapasitas untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD provinsi dan kabupaten dan kota, serta menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil Bupati dan wali kota dan wakil wali kota.
“Hal itu, berimplikasi pada kewenangan otoriter dan oligarki elit partai politik (ketua umum) sebagai penentu tunggal, menimbulkan ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum baik secara normatif maupun implementatif sehingga bertentangan dengan asas pemilihan umum, melahirkan nepotisme dalam proses pemilihan umum,” katanya.
Sementara itu warga Bekasi yang juga sebagai seorang akademisi, Muhammad Helmy Fahruzi, mengatakan, berangkat dari itu, kami (4 orang pemohon) menguji undang-undang partai politik ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI).
“Kami meminta agar penentuan capres dari partai, dilakukan melalui konvensi terbuka, sehingga calon presiden (capres) ditentukan oleh suara kader parpol dan simpatisannya, bukan kewenangan mutlak ketua umum partai.,” katanya.
Keempat pemohon tersebut yakni E. Ramos Petege, Warga Papua (Pemohon I), Yanuarius Mote, Warga Papua (Pemohon II), Elko Tebai (Warga Papua, Ketua Komisi C, DPRD Kab. Dogiyai, Kader Partai Nasdem), Muhammad Helmy Fahruzi, Akademisi, (Warga Bekasi) .(*)
Discussion about this post