Sentani, Jubi – Warga pemukim di areal Tempat Penampungan Sementara sampah atau TPS sampah meminta Pemerintah Kabupaten Jayapura untuk segera memindahkan sampah di TPS Doyo Lama ke Tempat Pembuangan Akhir atau TPA. Pasalnya asap dari pembakaran sampah di TPS itu berdampak pada gangguan kesehatan dan pernapasan warga di sekitar Doyo Lama, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
Berdasarkan pengakuan warga kepada Jubi, setiap hari warga disekitar TPS hidup dan beraktivitas bersama bau pembakaran sampah yang menyengat. Sehari-hari mereka makan dan minum disertai asap, bau sampah dan lalat-lalat sampah yang hinggap di sudut-sudut rumah mereka setiap kali hujan datang.
Selera makan hilang, sakit datang
Dari pantauan Jubi, terlihat asap melangit dari pembakaran sampah di TPS tersebut menyebar ke pemukiman warga di sekitar TPS. Mereka tidak punya pilihan selain tetap tinggal dan terpaksa bertahan hidup dalam situasi yang jauh dari sehat itu.
Seorang pendeta, Wakiyus Biniluk, tinggal sekitar 30 meter dari TPS sampah. Ia mengaku para pemukim yang juga jemaat gerejanya sudah bermukim sebelum TPS sampah itu ditempatkan oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura tahun 2018. Namun sampai saat ini sampah-sampah menggunung itu tak kunjung dipindahkan dari tempat penampungan sementara sampah.
Pendeta Biniluk mengatakan jemaatnya terganggu dengan asap yang setiap hari menyebar masuk ke rumah-rumah dan memaksa penghuninya menghirup udara berbau busuk. Dan hal ini ikut merusak selera makan para pemukim karena makan minum sehari-hari dengan asap dan bau, membuat selera makan hilang meski makanan dimasak dengan lezat, ujarnya.
“Hidup sekitar enam tahun belakangan ini asap sampah ini terus turun kesini setiap hari, siang malam kami terima polusi udara yang tidak baik. Kami tidak menikmati makan minum dengan baik, hidup dalam udara yang tidak sedap. Hampir semua jemaat ini sakit, sakit paru-paru, sakit maag, dan kesehatan kami terganggu. Pemerintah tolong pindah tempat sampah ini segera,” kata Pendeta Biniluk saat ditemui Jubi Selasa (1/4/2024).
Pendeta Biniluk yang juga anggota Majelis Rakyat Papua dari Pokja Agama mengatakan sebetulnya tidak layak TPS ada di tempat pemukiman warga. Selain berdampak buruk pada kesehatan warga, tanaman, kebun-kebun dan air sumur di sekitar pemukiman pun ikut terkena limbah sampah.
Mama Norlina Wenda (33) yang tinggal dekat dengan TPS itu mengatakan kesehatannya sudah mulai terganggu. Ia mengalami sesak napas, batuk hingga sakit di paru-paru. Ia juga menyebutkan anak-anak pun menjadi rentan terserang penyakit.
Menurut Wenda pihaknya bersama warga sekitar sudah melaporkan kondisi ini kepada Pemerintah Kabupaten Jayapura dan meminta pemerintah agar memindahkan TPS tersebut. Namun hingga sekarang belum ada tindak lanjut.
“Kami kena dampak asap pembakaran sampah itu setiap hari. Makan minum itu selalu ada asap, jadi bau kadang tidak sehat tapi mau bagaimana lagi. Karena setiap hari mereka bakar-bakar terus, kami hirup udara tidak segar, sampai asap itu masuk kerumah, kamar dan lain-lain, kami harap sampah ini dipindahkan, begitu,” katanya.
Pemukim lainnya, Natan Tabuni meminta Pemerintah Kabupaten Jayapura untuk memperhatikan kondisi kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar areal TPS. “Setiap hari lalat-lalat besar hinggap di makanan, masuk ke rumah, dimana-mana itu lalat semua. Dan nyamuk juga banyak. Kami minta pemerintah bisa pindahkan tempat sampah ini, dan beri perlindungan kesehatan bagi kami masyarakat,” katanya.
Pendeta Wakiyus Biniluk mengingatkan pemerintah agar jangan sampai terjadi korban jiwa akibat kondisi yang dibiarkan ini. Ia tidak ingin ada warga yang meninggal karena dampak polusi. “Jangan sampai anggota jemaat saya meninggal karena dampak lingkungan udara ini, pemerintah ka, DPR ka jangan diam, kami bagian dari warga Kabupaten Jayapura jadi harus penuhi hak hidup dengan aman dan terjamin [bagi] kesehatan kami. Kami minta tempat sampah ini harus dipindahkan, tidak boleh ada di sekitar pemukiman warga,” ujar Pendeta Biniluk
Memulung rejeki dari sampah
Sementara itu, tampak sekitar 20 orang pemulung sedang mengais barang bekas seperti kaleng, besi, kuningan, dan barang bekas lainnya untuk dijual demi memenuhi kebutuhan hidup. Ada juga yang mengumpulkan makanan-makanan sisa yang dibuang di TPS untuk makanan ternak babi. Sambil mengerjakan itu, mereka membakar tumpukan-tumpukan sampah di TPS itu.
Para pemulung, sembari memulung juga berupaya mengurangi tumpukan sampah dengan membakarnya dari pagi sampai sore setiap hari. Terlihat para pemulung menggunakan masker, topi, atau pun kaos lengan panjang untuk melindungi dirinya. Bau tak sedap, lalat-lalat yang berkerumun sudah menjadi ‘makanan’ sehari-hari demi mendapatkan ‘seribu dua ribu’ agar dapur mengasap.
Mama Linda Tukayo salah satu pemulung yang sehari-hari bekerja disana. Menurut Tukayo ada petugas pengelola sampah yang bekerja untuk membakar dan mengurangi tumpukan sampah itu. Namun, kata dia petugas itu hanya datang melihat dari luar areal penampungan lalu pergi. Sebagai pemulung Tukayo menghabiskan waktunya membakar sampah sembari mencari barang bekas untuk dijual.
“Petugas itu tidak pernah mau datang untuk bakar, tapi datang cuma lihat saja baru pergi. Jadi kita disini yang cari kaleng, kuningan, besi, kabel-kabel untuk jual, sambil cari, kita bakar sampah setiap hari,” kata Mama Tukayo kepada Jubi di sela-sela aktivitasnya membakar sampah di TPS.
Mama yang mengaku sudah 30-an tahun menjadi pemulung itu mengatakan penghasilan dari menjual barang bekas cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan biaya pendidikan bagi anak-anak yang sekolah. Karena hasil penjualan kaleng, kabel, besi yang didapat sambil membakar sampah itu cukup membantu kebutuhan hidupnya dan keluarga, ia memilih bertahan dan tabah meski dikelilingi asap, bau dan lalat.
“Iya kerjaan sehari-hari, untuk cari-cari uang sayur di rumah, lengkapi kekurangan seperti beli beras dan juga biaya sekolah untuk anak-anak. Disini memang terjawab cepat, tidak seperti jualan pinang di jalan, atau sayur di pasar yang banyak saingannya. Kita tabah cari-cari disini, sekalipun asap, panas, bau tapi kita tetap tabah,” kata Mama Linda Tukayo asal Kampung Yoka itu.
Tukayo juga berharap kepada Pemerintah Kabupaten Jayapura melalui dinas terkait agar memperhatikan para pemulung yang setiap hari bekerja membakar sampah. Menurut dia para pemulung telah membantu pekerjaan pemerintah mengurangi tumpukan sampah.
“Kita harapkan pemerintah bisa bantu kita seperti sepatu but karet, sarung tangan, masker, topi untuk pelindung kepala dari panas dan alat-alat untuk garuk atau bongkar sampah seperti cangkul, atau besi begitu,” ujarnya.
Lain halnya dengan Ronal Mabel (54) yang telah menjadi pemulung sejak tahun 2010. Setiap hari ia mengaku membakar sampah, namun sejauh ini belum ada perhatian dari pemerintah. Mabel meminta agar para pemulung yang bekerja membakar sampah setiap hari sembari mencari besi tua, kaleng dan kuningan itu bisa dipekerjakan menjadi pengelola sampah di TPS.
“Kita kerja ini tidak dibayar oleh pemerintah, kita inisiatif bakar sampah sambil kurangi sampah, tapi kita dapat barang bekas baru jual untuk bisa dapat uang. Saya harap kita yang kerja bakar sampah ini bisa jadi pegawai pengelola sampah ka begitu. Karena pekerjaan kita ini kan membantu pemerintah dalam menangani sampah juga,”ujar Mabel.
Tanggung jawab Pemkab Jayapura
Secara terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup atau DLH Kabupaten Jayapura Abdul Rahman Basri mengatakan TPS sampah di Doyo Lama tersebut sebenarnya bertujuan menampung sampah sementara seraya menyiapkan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Kampung Waibron, Distrik Sentani Barat.
Menurut Basri memang petugas tidak melakukan pembakaran sampah di areal itu, melainkan para pemulung yang mencari barang bekas di TPS sehingga asapnya berdampak pada warga sekitarnya.
“Petugas tidak membakar sampah, tapi orang dari luar datang melakukan pembakaran itu, sehingga berdampak pada masyarakat. Proses peralihan sampah [ke] TPA akan dilakukan secepatnya, karena kita sudah lakukan uji coba, peninjauan bersama bupati, lakukan penataan di Waibron supaya tidak berdampak pada masyarakat sekitar,” katanya.
Menurutnya sampah yang masuk ke TPS antara lain berasal dari pasar, rumah, hotel, ruko dan penghasil sampah lainnya. Sampah juga bertambah saat hari-hari besar. Pihaknya mengimbau agar masyarakat Kabupaten Jayapura mulai memilih dan memisahkan sampah non organik dan organik.
“Sampah yang dibuang di TPS itu relatif, hanya kalau hari besar seperti Natal, Tahun Baru, Lebaran itu yang banyak, sehingga kami himbau agar masyarakat memisahkan sampah basah, kering, kaleng atau besi dan lain-lain. Hal tersebut dapat membantu pengelolaan dan mendaur ulang sampah,” kata Abdul Rahman.
Kepala DLH itu mengatakan pihaknya terus lakukan koordinasi dan pemantapan di TPA Kampung Waibron dan berkoordinasi dengan warga setempat agar mendukung program peralihan itu. DLH tengah menyiapkan peralatan, pembiayaan, personil, dan pendekatan sosial supaya didukung sehingga proses peralihan dan pengelolaannya tercapai dengan baik.
“Aspek peralatan itu misalnya kondisi lingkungan di Kampung Waibron, kondisi jalan itu dibenahi. Setelah itu TPA Waibron akan dimanfaatkan untuk mengurangi volume sampah, supaya tidak tercemar lagi,” katanya.
Ia mengaku TPA di Waibron akan dikelola dengan konsep 3R (Reuse, Reduce, dan Recycle). Reuse adalah menggunakan kembali sampah yang masih bisa digunakan atau bisa berfungsi lainnya, Reduce itu mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan atau memunculkan sampah, dan Recycle adalah mengolah kembali sampah atau daur ulang menjadi suatu produk atau barang yang dapat bermanfaat.(*)
Discussion about this post