Jayapura, Jubi – Perkembangan zaman turut menggerus peradaban transportasi kota. Berkurangnya angkutan umum yang akrab dikenal dengan sebutan angkot kian tak terelakkan di Kota Jayapura. Dinas Perhubungan setempat masih berupaya dengan segala kebijakan agar moda transportasi yang dulunya dijuluki ‘Si Raja Jalanan’ itu tak lekas punah.
Hari ini, 24 April, diperingati sebagai Hari Angkutan Nasional. Namun nestapa kian dirasakan oleh sopir angkot. Perlahan mulai ditinggalkan penumpang dan terpinggirkan dalam kelesuan, setelah sempat berjaya selama beberapa dekade.
Seperti biasanya, puluhan angkot terparkir rapi di Terminal Mesran, Jalan Koti, mengantre sejak pagi untuk memuat penumpang ke tempat tujuan. Secara bergantian, satu per satu sopir angkot menunggu muatan mereka penuh lalu dilanjutkan hingga antrean berikutnya. Jika lagi ramai, angkot bisa terisi penuh dalam waktu 20 menit. Sebaliknya, sopir bisa menunggu hingga setengah jam lebih.
Namun, tak semua angkot terisi penuh. Ada beberapa angkot yang lekas berangkat dari terminal dengan hanya mengangkut tiga hingga empat penumpang. Suasana itu lumrah terjadi setiap hari, karena sepinya penumpang dan ketidaksabaran sopir yang harus menunggu terlalu lama sampai semua kursi terisi.
“Harus antre tunggu sampai banyak penumpang baru kita jalan. Kalau sabar, kita tunggu sampai penuh, tapi kalau sudah terlalu lama kita langsung jalan,” kata Arsyad, 52 tahun, seorang sopir angkot trayek Kota – Dok, bercerita dengan awak Jubi.
Ada beberapa sopir memilih tak mengantre di Terminal. Mereka terpaksa melanggar peraturan yang diberlakukan Dinas Perhubungan (Dishub), ngetem dan mengangkut penumpang di tepian jalan raya. Tapi kondisi mereka sama, hanya mendapat dua sampai tiga penumpang.
Sama halnya dengan suasana yang kerap terlihat di Terminal Tipe A di kawasan Entrop. Di sana tak banyak angkot trayek Abepura – Padang Bulan yang terlihat di area Terminal. Tak sedikit pula yang memilih ngetem di pertigaan dekat Polsek Japsel. Ada pula yang memuat penumpang di depan PTC. Beberapa sopir enggan masuk ke Terminal karena penumpang tak mau menunggu lama di antrean.
“Tidak setiap hari begini karena takut kalau petugas lihat. Kalau pas penumpang sepi kita biasanya harus keluar siapa tahu ada penumpang di jalan,” kata seorang sopir yang tak mau menyebutkan namanya.
Diana, 39 tahun, seorang Pegawai Negeri Sipil yang setiap harinya selalu menumpang angkot sepulang dari tempat ia bekerja. Jika tak mau berpanas-panasan ia sering menunggu di terminal, tapi kalau sedang buru-buru ia biasanya menunggu angkot di luar terminal.
“Kalau di terminal memang antre, tapi kita bisa menunggu antrean tidak tadah panas di luar. Hanya saja memang lama menunggu antrean kalau di terminal,” katanya.
Diana adalah satu dari sedikit warga yang masih memilih angkot sebagai moda transportasi untuk beraktivitas di tengah menjamurnya pengguna kendaraan pribadi serta keberadaan angkutan online sebagai pilihan alternatif.
Perkembangan zaman merubah pola gaya hidup manusia moderen yang berdampak pada nasib moda transportasi angkot yang dahulu mendominasi jalanan ibukota.
Buah Simalakama
Dinas Perhubungan Kota Jayapura dengan segala kebijakannya terus berupaya untuk menyelamatkan nasib ‘Si Raja Jalanan’ agar tetap mengaspal melayani masyarakat yang masih membutuhkan. Dishub tak membatasi ruang bagi angkot-angkot untuk beroperasi, meskipun sebenarnya ada batasan usia beroperasi angkot sesuai peraturan.
Dijelaskan Kepala Dishub Kota Jayapura, Justin Sitorus, batas usia operasi angkot sebenarnya hanya 15 tahun. Namun, peraturan itu belum sepenuhnya bisa diterapkan karena terpaku dilema yang berkaitan dengan sisi kemanusiaan.
“Dulu ada Perda Nomor 10 tahun 2012 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, itu diatur batas 10 tahun tetapi sulit karena menyangkut perut. Seharusnya yang berusia 10 tahun itu sudah harus diremajakan dan yang lama diarahkan untuk daerah-daerah pinggiran atau dihentikan,” kata Sitorus kepada Jubi, Selasa (23/4/2024).
“Sekarang ada Perda kita untuk batas usia 15 tahun, tapi itu juga belum bisa menjawab karena rata-rata usia angkutan umum di Kota Jayapura itu sudah 15 tahun, jadi itu juga menjadi buah simalakama bagi kami,” sambungnya.
Ia mengatakan, secara regulasi, meskipun rata-rata angkot di Kota Jayapura sudah melalui uji fisik dengan kelengkapan item seperti onderdil, lampu dan lainnya, namun usia kendaraan tak bisa dipungkiri dengan kondisi bodi yang keropos sehingga mengurangi kenyamanan bagi penumpang.
Akan tetapi, pihaknya tak bisa memaksakan regenerasi secara masif, karena mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidup dari menarik angkot.
“Sebenarnya kalau pemerintah tidak mau tahu dengan itu, bisa diganti dengan angkutan massal berupa bus, dengan sendirinya mereka akan tergerus. Tetapi lagi-lagi karena pertimbangan kemanusiaan, jadi itu tidak dilakukan. Kita berharap angkutan umum tetap memberikan rasa aman dan nyaman,” katanya.
Hal lain yang dilakukan pemerintah untuk menjaga napas angkot agar tetap bisa beroperasi dan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat pengguna, yakni dengan menghapus beban operasi seperti menggratiskan retribusi izin trayek dan retribusi terminal.
“Sejak ada UU nomor 1 tahun 2022 tentang pajak daerah lalu turunannya diterbitkan lagi Perda Nomor 33 tahun 2023 tentang pajak daerah dan retribusi, jadi itu semua sudah dihapus tidak ada lagi yang membenani angkutan umum, tidak ada izin trayek yang tadinya Rp250 ribu satu tahun, terus uji berkala Rp80 ribu satu tahun, retribusi terminal Rp1000 satu kali masuk, sekarang tidak ada lagi,” ujarnya.
Dishub mengimbau agar para sopir angkot tetap memanfaatkan terminal sebagai tempat aktivitas bongkar muat penumpang. Dengan begitu, arus penumpang jadi lebih teratur. Selain itu, hal tersebut juga akan membantu mengurangi kemacetan.
“Yang kita sayangkan itu terminal sudah dibangun tapi tidak dimanfaatkan. Itu supaya teratur dan penumpang tidak bingung, karena tempat naik turun penumpang itu di terminal. Itu juga bisa mengurangi kemacetan, tidak ngetem di jalan-jalan,” kata Sitorus.
Bagi oknum sopir yang ‘nakal’, Dishub akan menindaktegas dengan memberikan sanksi menahan kendaraan angkot selama tiga hari jika kedapatan melanggar.
“Angkot yang kita temukan ngetem dan angkut penumpang di jalan pasti kita tindak, kita tahan kendaraannya selama 3 hari. Kita sudah sering melakukan sosialisasi dan juga edukasi, tidak mungkin kita setiap hari harus adu argumentasi dengan mereka,” sebutnya.
Diambang Punah
Justin Sitorus mengungkapkan populasi angkot di Kota Jayapura pasca pandemi Covid-19 tahun 2020 lalu, terus menurun setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk keberadaan angkutan online yang turut mempengaruhi keberlangsungan angkutan konvensional seperti angkot.
“Ketika pandemi tahun 2020-2021 itu nyaris 60 persen sampai 70 persen yang beroperasi karena jumlah penumpang berkurang dan adanya pembatasan aktivitas ketika itu. Tahun 2022 nyaris sama tapi ada kenaikan sedikit. Tahun 2023 sudah berkurang lagi karena semakin maraknya angkutan online,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, sebelum pandemi, jumlah angkot yang beroperasi di Kota Jayapura sebanyak 2.234 unit. Namun kemudian angka itu mengalami penurunan pada 2023 hingga 2024, yang jumlahnya bahkan tak sampai 2.100-an unit.
“Jumlah angkot dulu itu ada 2.234 unit sebelum Covid, sesudah Covid masih sama, dan kalau sekarang malah menurun tidak sampai 2.100-an, banyak yang sudah buang handuk, penurunannya 10 – 20 persen,” ungkapnya.
Antropolog Universitas Cenderawasih (Uncen), Hanro Yonathan Lekito memberikan pandangannya terkait lesunya aktivitas angkot di Kota Jayapura adalah imbas yang tak terhindarkan dari proses perkembangan zaman yang kian deras dengan arus teknologi.
“Hemat saya memang persoalannya itu ada di perkembangan teknologi, jadi kita tidak bisa pungkiri bahwa perkembangan teknologi ini membuat perubahan juga pada transportasi umum, misalnya yang ada di kota Jayapura atau di Kabupaten Jayapura atau hampir seluruh Indonesia,” kata Lekito.
Menurutnya, hal itu merupakan bagian dari loncatan peradaban di mana gaya hidup manusia moderen saat ini semakin dimanjakan dengan kecanggihan teknologi.
“Keberadaan teknologi hari ini itu dia memanjakan manusia, semua jadi lebih mudah. Ini juga berkaitan dengan gaya hidup yang didasari oleh perkembangan teknologi,” katanya.
Ia juga mengakui, semakin maraknya DP murah atau uang muka kendaraan pribadi juga menjadi salah satu faktor menurunnya penumpang angkot.
“Dulu sebelum tahun 90-an itu setahu saya ojek pun tidak ada yang masuk gang, tapi sejak teknologi berkembang pesat membuat pertumbuhan angkutan online semakin marak dengan segala kemudahannya. Akhirnya kita melihat fakta sekarang kasihan angkot-angkot yang ada ini mereka begitu sulit mencari penumpang,” katanya.
Karena perubahan gaya hidup dari perkembangan teknologi yang kian pesat, ia berpendapat keberadaan angkot bisa saja terancam punah dalam 5 hingga 10 tahun mendatang.
“Sampai hari ini saja di kampus saya cukup kaget sebab hampir semua mahasiswa datang menggunakan sepeda motor sendiri. Ini adalah perubahan gaya hidup yang kian pesat. Tidak menutup kemungkinan, mungkin dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan angkot bisa saja tergerus,” tuturnya.
Discussion about this post