Jayapura, Jubi – Sebuah koalisi masyarakat sipil yang meliputi pemimpin adat suku-suku pesisir di Teluk Cenderawasih, organisasi, pemerhati dan aktivis lingkungan, serta lembaga pembela HAM menyatakan sikap menolak potensi pembuangan limbah tambang Blok Wabu ke kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC). Pernyataan itu sebagai antisipasi beroperasinya tambang Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, yang sampai saat ini masih kontroversi.
Mengutip siaran pers Koalisi Anti Pencemaran Teluk Cenderawasih yang diterima Jubi di Jayapura, Sabtu (13/3/2024), pembuangan sisa pasir tambang langsung ke sungai dari tambang Wabu jika beroperasi di masa mendatang akan sangat mengganggu keseimbangan lingkungan.
Hal ini, menurut koalisi, akan membuat pendangkalan, karena sedimentasi akibat buangan limbah yang akan terjadi di sepanjang aliran sungai-sungai yang bermuara langsung ke Teluk Cenderawasih.
“Blok Wabu merupakan konsesi pertambangan dengan kandungan cadangan logam emas yang terletak di Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah. Konsesi tambang ini dikabarkan memiliki nilai jual triunan rupiah dan telah dikuasai anggota holding MIND.ID,” demikian bunyi pernyataan koalisi.
Lebih lanjut dikatakan masyarakat adat (pemilik) yang mendiami lokasi eksplorasi tambang telah menolak tambang tersebut diolah oleh siapapun dengan alasan apapun.
“Narasi penolakan oleh pemilik [ulayat] terlihat konsisten, baik sebelum adanya Daerah Otonom Baru (DOB), maupun sesudah DOB dalam beragam aksi. Penolakan pengelolaan tambang dari pemilik ulayat kepada pihak manapun tentunya memiliki alasan tersendiri, karena pengalaman PT Freeport yang menghancurkan lingkungan dan masifnya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di wilayah konsesi,” kata Koalisi.
TNTC adalah ruang hidup suku-suku pesisir
Kepala Suku Besar Yaur Hegure, Jitro Bram Homba, mewakili masyarakat adat yang mendiami pesisir Teluk Cenderawasih, khususnya pesisir Teluk Sarera, Nabire mengingatkan pihak mana pun yang berambisi menguasai dan atau mengelola tambang yang dimaksud maka pihaknya menegaskan akan menolak limbah tambang dibuang ke Teluk Cenderawasih.
“Kami tegaskan limbah tailing tidak boleh dibuang ke laut Teluk Cenderawasih dan sekitarnya seperti buruknya pembuangan limbah PT Freeport yang menghancurkan laut. Wilayah Teluk Cenderawasih adalah ruang hidup kami sejak nenek moyang, sehingga kami tidak ingin dicemarkan,” katanya.
“Teluk Cenderawasih telah menghidupkan kami dan akan terus memberi kehidupan bagi anak cucu kami,” lanjut Homba.
Hal senada juga dikatakan Donatus Sembor, kepala Suku Besar Kepulauan Moora Nabire. Ia meminta Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua dilibatkan secara konsisten mengawal Teluk Cenderawasih sehingga tidak terjadi pencemaran.
Permintaan itu, menurutnya sesuai dengan wilayah tradisional tangkapan ikan yang termasuk dalam kawasan konservasi di Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC), yang telah ditetapkan Kementerian Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor: 472/Kpts-II/1993 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 8009/Kpts-II/2002 tanggal 29 Agustus 2002 dengan luas 1.453.500 Ha.
“Belakangan sesudah nenek moyang kami memeliharanya sebagai ruang hidup secara turun-temurun, apalagi kawasan konservasi ini merupakan kawasan ekosistem di mana terdapat banyak spesies endemik, serta tempat berkunjung wisatawan domestik maupun asing,“ katanya.
Sebelum kawasan Teluk Cenderawasih tercemar akibat limbah Waibu, pihaknya mengajak pemerintah, khususnya dinas terkait untuk segera melakukan tindakan proaktif guna memproteksi TNTC dari ancaman kerusakan lingkungan.
Lebih lanjut, kata Donatus Sembor, jika tidak melakukan kontrol sejak dini, kehadiran Blok Wabu patut diduga akan memberikan dampak lingkungan, terutama terjadinya pendangkalan pada sungai-sungai seperti Wapoga, Siriwo, Lagari, Mosairo, Kali Bumi, Wanggar, dan Wami. Ke semua sungai itu bermuara ke pesisir Teluk Cenderawasih.
“Apalagi kali-kali tersebut sekian lama telah digunakan sebagai tempat mata pencaharian kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk ekonomi yang terhubung dengan aktualisasi pengetahuan kekayaan kearifan lokal sejak nenek moyang,” ujarnya.
Karena itu, pihaknya berkepentingan mengingatkan semua warga pesisir akan potensi dampak kehadiran tambang Blok Wabu, jauh-jauh hari sebelum terjadi.
Petaka bagi ekosistem laut
Peringatan senada juga dikatakan Yance Sadi, kepala Suku Besar Umari, Nabire. Menurutnya jika Blok Wabu dikelola akan menjadi petaka bagi seluruh makhluk hidup yang berada pada ekosistem pesisir-laut, Nabire, dan pantai utara pada umumnya, jika tidak ada perencanaan yang baik.
“Apakah pemerintah pernah miliki cerita sukses pengelolaan tambang yang mempertimbangkan dan atau memperhatikan makhluk hidup di area PT Freeport Indonesia? Kerusakan atau krisis ekologis yang terjadi memperlihatkan buruknya praktik tata kelola tambang sehingga tingkat keparahan dari operasi Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya terhadap ekosistem pesisi-laut pantai utara, dipastikan akan terjadi,” katanya.
Selain itu, tokoh adat di Nabire, Kumeser Kafiar dan Apolos Mamoribo, aktivis lingkungan dan pemerhati masalah sosial di Byak mengatakan sejauh ini tata kelola penambangan di Papua tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup, serta akses masyarakat terhadap lingkungan yang merupakan satu rangkaian ekosistem dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Karena itu, sebagai pemerhati masalah sosial dan aktivis lingkungan, mewakili dan mengajak masyarakat adat yang hidup di wilayah pesisir, Teluk Cenderawasih, yakni Byak, Kabupaten Kepulauan Yapen dan Waropen, Supiori dan wilayah Pantai Utara dan sekitarnya, untuk dengan tegas menolak pembuangan limbah tailing, penambangan Blok Wabu ke wilayah tangkapan tradisional masyarakat, yang merupakan Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC.
“Sejauh ini kami melihat bahwa masyarakat adat Amungme dan Komoro, adalah dua entitas masyarakat terdampak operasi penambangan PT Freeport Indonesia dan pemerintah abai, bahkan tidak bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan di wilayah kedua suku tersebut di mana telah mengubah ekosistem dari berkat menjadi bencana,” katanya.
Dampak pada perempuan dan anak
Welmina Rumadas, aktivis perempuan di Biak mengatakan pembuangan limbah tambang Blok Wabu tidak bisa dibiarkan ke Teluk Cenderawasih, karena akan berdampak terhadap perempuan dan anak di wilayah pesisir-laut itu.
“Sebagai aktivis perempuan, saya khawatir kaum perempuan di pesisir Teluk Cenderawasih yang keseharian hidup di pesisir dan laut, serta mengonsumsi biota laut akan mempengaruhi reproduksi dan janin,” ujarnya. “Karena itu saya mendukung sikap Koalisi Anti Pencemaran Teluk Cenderawasih menyikapi dinamika pro-kontra tambang Balok Wabu tersebut.”
Hal senada juga dikatakan Jack Marey, aktivis LSM YPKM Papua Tengah. Menurutnya jika Blok Wabu dikelola akan berdampak pada kehidupan sosial, seperti kebutuhan ekonomi yang semakin sulit diakses, termasuk kesehatan perempuan dan anak.
Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ElsHAM) Papua Pdt Matheus Adadikam, STh meminta para pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak, wajib mendengar, memperhatikan, mengawal pandangan dan atau aspirasi masyarakat yang mendiami wilayah pesisir Teluk Cenderawasih.
Ia mengatakan walaupun sejauh ini belum diketahui rencana pembuangan tailing, namun sikap para tokoh adat di dalam koalisi adalah bentuk antisipasi yang wajar. Apabila operasi penambangan terpaksa atau dipaksakan.
“Karena hak atas lingkungan yang bersih adalah hak asasi manusia yang wajib dihormati semua pihak, khususnya para pihak yang berkepentingan pada operasi penambangan Blok Wabu,” katanya.
ElsHAM Papua menilai penetapan Daerah Otonomi Baru (DOB),diduga tidak terlepas dari cara merebut dan atau menguasai tambang Blok Wabu.
“Penghormatan atas Hak Asasi Manusia, khususnya masyarakat pemilik tambang yang selama ini menolak investasi, wajib dikedepankan dan diwujudnyatakan oleh para pihak yang berkepentingan sebagai bentuk praktik negara yang beradab dan melaksanakan keadilan sosial sebagaimana amanat UUD 1945,” katanya.
ElsHAM Papua menilai, selain adanya penolakan, patut diduga adanya sekelompok orang yang sedang berkonspirasi guna merebut tambang tersebut melalui pendekatan kepada tokoh intelektual maupun warga setempat.
Sebagai lembaga advokasi, ElsHAM mengingatkan para pihak agar jangan sampai memicu konflik di antara masyarakat, hanya karena kepentingan investasi. “Pengalaman PT Freeport setidaknya memberi pelajaran berharga di mana kehadiran perusahaan multinasional itu, bukan saja merusak ekosistem, melainkan sistem kekerabatan warga setempat pun jadi tidak akrab alias berkonflik,” ujarnya.
Karena itu, ElsHAM mengajak semua pihak yang berada di pesisir laut Pantai Utara Papua, untuk waspada akan ancaman pembuangan limbah tambang Blok Wabu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Bahkan perlunya menyatakan sikap penolakan pembuangan limbah tambang ke Teluk Cenderawasih, secara khusus, dan daerah Pantai Utara, pada umumnya. ElsHAM Papua juga meminta dinas terkait untuk menata operasi penambangan skala kecil yang sedang terjadi di Topo, Degewo, dan Baya Biru yang rentan menggunakan bahan kimia karena akan merusak lingkungan,” katanya.
Walaupun pengelolaan skala kecil, lanjut ElsHam Papua, dengan intensitas yang tinggi cenderung akan merusak ekosistem pesisir-laut. Karenanya ElsHAM meminta BKSDA untuk melakukan monitoring terhadap ancaman TNTC (di bagian hilir), dan dinas terkait lainnya untuk menata pengelolaan tambang dan secara berkala memonitor dampak pembuangan limbah hasil tambang tersebut (di bagian hulu).
Koalisi Anti Pencemaran Teluk Cenderawasih dan sekitarnya terdiri dari Kepala Suku Besar Yaur, Kepala Suku Besar Moora, Kepala Suku Besar Umari, Jack Marey (Ketua YPKM) Papua, Kumeser Kafiar (Aktivis Lingungan), ElsHAM Papua, Franky Samperante, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Yayasan Lingkungan Hidup (YALI) Papua, Walhi Papua, Greenpeace Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, PA-HAM Papua, dan Belantara Papua. (*)
Discussion about this post