Jayapura, Jubi – Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat atau Gempar Papua berharap agar elite politik dan birokrat di negara ini berhenti merampok tanah adat Hubula di Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan.
Varra Iyaba dari Gempar Papua mengatakan, Papua bukan tanah kosong. Tanah Papua mempunyai pemilik dan ahli warisnya, sehingga pemerintah tidak boleh seenaknya merampas tanah adat masyarakat.
Hal itu dikatakan Varra Iyaba dalam diskusi publik bertema “Tanah Hubula Bukan Milik Negara” yang digelar Gempar Papua di asrama mahasiswa Nayak, Distrik Abepura, Kota Jayapura Provinsi Papua, Kamis (12/10/2023) malam.
“Papua bukan tanah kosong, itu kami tau karena tanah ada ahli warisnya, (orang Papua yang) hitam kulit rambut keriting, itulah pemiliknya,” kata Iyaba.
Puluhan mahasiswa asal Kabupaten Lanny Jaya dan Kabupaten Jayawijaya, khususnya dari suku Wouma dan Walesi hadir dalam diskusi tersebut. Dalam diskusi tersebut, Gempar Papua menghadirkan sejumlah narasumber, diantaranya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua Emanuel Gobay, perwakilan masyarakat adat suku Wouma Benyamin Lagowan, dan Ketua 1 Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Warpo Wetipo.
“Kami Gempar Papua akan melawan penjajahan di atas Tanah Papua,” kata Iyaba.
Benyamin Lagowan yang mewakili korban tanah adat suku Wouma mengharapkan dukungan solidaritas yang terus lahir, karena masalah tanah adat ini belum selesai, meskipun Wakil Presiden Ma’ruf Amin gagal meletakkan batu pertama di sana.
“Harapan saya teman-teman lain bisa [ber]solidaritas supaya ke depan kalau memang menempatkan tempat secara sepihak represif, militeristik itu terus dilakukan [nantinya] kami punya dukungan semakin banyak,” katanya.
Dia mengatakan negara selalu datang dengan ambisi pembangunan atau oknum lainnya, untuk memperkaya diri dengan menguras dan memperlakukan orang Papua sebagai binatang atau dianggap Papua tak berpenghuni.
Direktur LBH Papua Emanuel Gobay yang juga kuasa hukum dari masyarakat adat Wouma, Wiyo, dan Walesi, yang menolak adanya pembangunan kantor gubernur Provinsi Papua Pegunungan menyatakan, ketidakadilan atau pembatalan Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin untuk peletakan batu pertama di Wamena itu berdasarkan hukum.
Menurut Gobay, wapres sadar bahwa belum ada pelepasan lokasi untuk pembangunan perkantoran di wilayah adat itu.
“Kenapa saya katakan begitu? Karena untuk mendapatkan izin pelepasan lokasi itu mekanismenya UUD pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sejak adanya informasi tersebut akan dibangun pembangunan wilayah adat itu, kami belum pernah dengar berita terkait adanya tim apresial yang melakukan pendataan siapa penggarap, siapa pemilik dan tumbuh tumbuhan yang akan jadi terdampak,” ujar Gobay.
Hal itu membuktikan, lanjut Gobay, di sana belum ada implementasi UUD pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Secara tata ruang wilayah yang jelas-jelas diatur dalam Perda Tentang Tata Ruang Wilayah dari sejak 2011-2033 itu dengan jelas menyebutkan, di kawasan yang direncanakan untuk pembangunan kantor gubernur Provinsi Papua Pegunungan itu mayoritas kawasan budidaya itu bagian dari suku Wouma, bagian tengah kawasan hutan lindung, dan bagian atas di Walesi masuk dalam konservasi Taman Nasional Lorentz.
“Sehingga atas dasar itu kami semua tahu bahwa izin lokasi tidak mungkin diterbitkan dengan bertentangan tata ruang wilayah. Karena itu adalah wilayah adat milik masyarakat adat setempat yang jelasnya telah menyatakan tegas menolak, maka rencana pembangunan itu bertentangan dengan aturan yang menjamin hak masyarakat adat,” katanya.
Gobay meminta birokrat anak asli Papua belajar untuk menghargai hak masyarakat adat. “Jangan justru jadi pelaku pelanggaran hak adat. Itu sangat memalukan ketika narasinya adalah anak adat sendiri melanggar hak-hak adat,” kata Gobay.
Ketua 1 KNPB Warpo Wetipo melihat pembangunan kantor Provinsi Papua Pegunungan itu sebagai bentuk penjajahan baru, sehingga pihaknya akan terus melawan negara bersama rakyat suku Wouma dan Walesi.
“Mereka adalah pejuang tanah itu, tanah adalah mama yang memberikan kehidupan, masa lalu sekarang dan masa yang akan datang. Kami tetap berdiri bersama masyarakat adat, kami melawan sistem pemerintah Indonesia dengan cara-cara bermartabat, dan tanpa kekerasan,” kata Wetipo. (*)