Sentani, Jubi – Pengembangan seni dan budaya di Kabupaten Jayapura masih bergantung pada program kerja dan event-event yang dilaksanakan, baik lokal maupun nasional. Sementara seni dan budaya merupakan perwujudan rutinitas kehidupan satu kelompok masyarakat yang dilakukan setiap saat.
Penegasan itu disampaikan oleh salah satu seniman dan budayawan lokal Kundrat Sokoy di Kampung Yobeh, Distrik Sentani, Senin (26/2/2024). “Budaya itu sama halnya dengan kebiasaan atau cara hidup secara turun temurun dalam kelompok masyarakat. Yang diartikan melalui kegiatan, gerak tari, seni dan ratapan serta doa-doa syukur,” ujar Kundrat.
Seni dan budaya ini mulai tergeser nilainya, kata Kundrat, ada banyak pengaruh modernisasi dan budaya lain yang dicampur-adukan menjadi satu, dan semua menyebutnya sebagai seni dan budaya. Dalam pengembangannya, seni dan budaya saat ini hanya akan digunakan dalam momen tertentu, atau pada acara besar serta event lokal maupun nasional.
“Seperti Festival Danau Sentani yang rutin dilaksanakan, kita seperti dipaksakan untuk sukseskan acara tersebut,” ujarnya.
Menurutnya, kekayaan seni dan budaya di daerah ini sangat banyak, bahkan tersebar di setiap kampung, wilayah adat, dan kelompok masyarakat. Pemerintah daerah sejauh ini masih menganggap seni dan budaya sebagai pelengkap dalam acara seremonial.
“Belum ada pembinaan yang serius terhadap komunitas atau sanggar seni budaya di kampung-kampung oleh pemerintah daerah,” ujarnya.
Kabupaten Jayapura, lanjut Sokoy, sebagai pintu masuk dan keluar di Papua. Hal ini belum maksimal dimanfaatakan oleh pemangku kebijakan untuk memaksimalkan seni dan budaya sebagai alat pengembangan dan peningkatan ekonomi masyarakat.
Sokoy juga mencontohkan salah satu tradisi dan budaya masyarakat di pesisir Danau Sentani yang biasa ditampilkan pada event besar adalah tarian dibatas perahu (isolo). Tidak hanya itu saja, ada tradisi yang lain seperti menangkap ikan dengan cara pembuatan sasi, pangkur sagu, dan prosesi pembayaran mas kawin.
“Masih ada yang lain lagi, seperti isap rokok sambil menyelam cari ikan, kebiasaan seni rupa yang lain seperti pemahat patung, dan seni lukis ukiran di atas kulit kayu, ” katanya.
Seni dan budaya lokal ini, diharapkan menjadi ciri khas dan jati diri masyarakat lokal di Kabupaten Jayapura. Tidak hanya sebatas pengisian acara yang sifatnya seremonial saja, seni dan budaya menjadi mati suri dan tidak ada pengembangan serta pelestariannya yang mendatangkan nilai ekonomi bagi masyarakat.
“Potensi lokal saat ini adalah seni dan budaya, artinya sektor jasa yang harus diperhatikan dengan serius oleh pemerintah daerah,” ujarnya.
Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Jayapura, Frits Maurits Felle mengatakan, potensi seni dan budaya di Kabupaten Jayapura mengalami panurunan kebiasaan yang sangat drastis. Hal ini terlihat jelas di setiap kampung yang berada di pesisir Danau Sentani. Kebiasaan berburu di hutan, mencari ikan secara massal, pangkur sagu dan tradisi seni tutur dan seni suara dalam ratapan itu sudah hilang.
“Cerita-cerita rakyat dan kidung pujian yang sering dilantunkan oleh para orang tua, saling berbalas pantun, sampai dengan tarian sudah tidak terlihat dan terdengar lagi. Hal ini akan berdampak kepada hilangnya bahasa ibu yang sudah tidak diucapkan oleh generasi sekarang,” ujar Maurits.
Menurutnya, semua pihak, dan secara khusus pemda harus melakukan kajian antropologisnya sehingga bisa diketahui, apa dan mengapa semua kebiasaan atau budaya lokal kita seperti ditelan bumi, hilang dan tidak meninggalkan jejak.
“Bukti kuatnya adalah bahasa ibu yang tidak lagi diucapkan secara fasih oleh generasi saat ini. Ada budaya luar yang sangat kuat memengaruhi dan mengubah kebiasaan atau budaya lokal kita,” ujarnya. (*)
Discussion about this post