Jayapura, Jubi – Staf pengajar program studi geografi FKIP Universitas Cenderawasih dan aktivis lingkungan Yehuda Hamokwarong mengatakan perlu adanya studi lebih lanjut mengenai kerusakan hutan mangrove di pesisir Kota Jayapura.
“Sebab kerusakannya sudah berlangsung sejak lama dan turut mengganggu fungsi ekologis hutan mangrove di Kota Jayapura,” katanya ketika diwawancarai Jubi, Jumat (23/2/2024).
Ia mengatakan untuk mendapatkan data penyusutan lahan mangrove tersebut perlu ada studi lebih lanjut. “Namun secara kasat mata kita bisa lihat, luasan lahannya memang sudah berkurang secara drastis,” kata Hamokwarong.
Ia menjelaskan, kerusakan pertama terjadi akibat peralihan fungsi lahan. Hal itu sudah dimulai sejak zaman Perang Dunia II ketika tentara Amerika menduduki Kota Jayapura pada 1945. Waktu itu hutan mangrove dibabat. Lokasinya di kantor Bank Papua sekarang, Taman Imbi, dan Kompleks Ruko Dong II.
Kerusakan berikutnya terjadi pada zaman Pemerintahan Belanda 1949 dan Indonesia 1960. Waktu itu hutan mangrove di sepanjang Dok IX kali, Dok VIII, sampai ke Kampung Kayu Batu dibabat untuk permukiman warga migran yang datang dari luar Kota Jayapura.
Selanjutnya sejak Entrop dibangun sebagai kawasan perdagangan pada 1980-an bersamaan dengan lokasi Ruko Dok 2 yang menyebabkan luas hutan mangrove makin menyusut.
Ini kemudian ditambah dengan pembangunan jalan Ringroad pada 2010 dan jalan penghubung antar Skyland dan Pantai Hamadi.
Pada 2023 juga ada pengusaha yang menimbun hutan bakau di dekat Pantai Hamadi. Ia ditangkap dan diproses secara hukum. Kemudian hadirnya Jembatan Merah yang menghubungkan Pantai Hamadi dengan Holtekam. Pengerjaan jembatan yang dimulai pada 2015 itu juga merusak hutan mangrove.
“Februari 2020 pembangunan Venue Dayung di Pantai Holtekam, juga turut mengorbankan hutan mangrove,” katanya.
Akibat sedimentasi
Selain dampak pembangunan, menurut Yehuda Hamokwarong kerusakan hutan mangrove di pesisir Kota Jayapura juga akibat sedimentasi yang tinggi dan sampah.
Sedimentasi yang tinggi bisa dilihat dari perubahan bukit-bukit di belakang Kantor Wali Kota, Bucen sampai Entrop.
“Sekarang kan banyak sekali perumahan di daerah itu, saat hujan turun, tanah yang tererosi dibawa oleh banjir, sampailah ke hutan bakau, tertimbun di hutan bakau, lalu terjadi pendangkalan,” ujarnya.
Kemudian berbagai jenis sampah dari Kota Jayapura juga tertampung di dalam hutan mangrove. Mulai dari Teluk Youtefa hingga Hutan Perempuan di Pantai Holtekam
Terakhir, tambahnya, adalah limbah yang berasal dari rumah tangga, kawasan industri dan perdagangan dari Entrop yang semuanya juga berakhir di hutan mangrove.
“Karena itu, sekarang bukan soal luasannya saja yang mengancam hutan mangrove, tapi tingkat kerusakan dan pencemaran yang begitu tinggi, itulah faktor penyebab hutan mangrove di Teluk Youtefa menyusut secara drastis,” ujarnya.
Menurut Hamokwarong berkurangnya hutan mangrove di Kota Jayapura juga menggangu fungsi ekologis serta pembentukan etika, moral, dan tradisi di kampung tradisional, Kampung Enggros dan Kampung Tobati.
Ia menjelaskan sebelum pemerintah dan Injil masuk ke kedua kampung, ada dua sekolah adat yang berlangsung secara tradisional untuk anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki dididik tiga sampai lima tahun di dalam ‘Mou’, sedangkan anak perempuan di dalam hutan perempuan melalui tradisi ‘Tonotwiyat’ atau mengunjungi hutan bakau.
Tonotwiyat adalah saat seorang ibu mengajarkan anaknya yang baru remaja tentang kebiasaan dan tradisi terkait perempuan atau perseiapan sebelum ia berkeluarga.
Ibu memilih mengajar anak perempuannya di hutan mangrove karena tidak bisa menyampaikan di rumah yang terkadang ada anggota keluarga lain.
Karena pentingnya tradisi ‘mengajar anak perempuan’ di dalam hutan bakau ini, pada saat seorang perempuan mau menikah, pihak keluarga laki-laki akan bertanya apakah anak perempuan itu sudah biasa ke ‘Tonot’. Jika tidak, pihak laki-laki akan menolak anak perempuan itu untuk di nikahkan dengan anak mereka.
“Ini dapat diartikan si anak perempuan belum mengenyam pendidikan yang cukup, bagaimana ia mau menikah sedangkan ibunya belum mengajarkan banyak hal ke anak perempuannya,” katanya.
Jadi, kata Hamokwarong, ketika keadaan hutan bakau di Kota Jayapura rusak dan tercemar maka akan mengancam masa depan perempuan Port Numbay.
“Kebudayaan orang Tobati dan Enggros akan punah, kebiasaan-kebiasaan dan tradisi mereka untuk mendidik anak-anak mereka di ‘Mou’ dan ‘Tonotwiyat’ juga akan ikut punah,” katanya.
Hal lain yang terancam adalah fungsi hutan mangrove sebagai lokasi mencari ikan dan pelindung saat terjadi tsunami atau banjir rob. Selain itu juga hilangnya fungsi sebagai penyedia kayu untuk keperluan membangun rumah, pagar, dan jembatan penghubung di kampung. (*)
Discussion about this post