Sentani, Jubi – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jayapura menyoroti soal fasilitas layanan publik yang sering dipalang oleh pemilik hak ulayat, karena lahan yang digunakan tidak selesai dibayar oleh pemerintah daerah.
Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Jayapura, Muhammad Amin menjelaskan bahwa pihaknya dalam pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Jayapura, setiap tahunnya selalu ada anggaran atau uang tanah yang disediakan untuk pembayaran atau pembebasan lahan.
Menurutnya, fasilitas publik seperti pendidikan dan kesehatan yang belakangan ini sering dan rutin dipalang oleh pemilik hak ulayat, dampaknya pasti bagi masyarakat yang menggunakan fasilitas tersebut.
“Dari anggaran yang tersedia, pemerintah daerah harus pastikan tidak salah membayar. Sehingga tidak ada komplain lagi di kemudian hari oleh masyarakat,” ujarnya, Rabu (14/6/2023).
Amin mencontohkan, sebagian besar fasilitas pendidikan di wilayah perkotaan belum tuntas persoalan lahan, dan di waktu-waktu tertentu pemilik hak ulayat datang memalang fasilitas tersebut, demikian pula dengan fasilitas kesehatan. Hal ini menandakan bahwa keberpihakan pemerintah kepada masyarakatnya tidak berjalan dengan baik, ada batasan-batasan serta ketidaknyamanan yang terjadi dalam pemanfaatan fasilitas publik.
“Baru-baru ini, siswa salah satu SMP yang hendak melaksanakan ujian sekolah batal akibat sekolahnya dipalang pemilik hak ulayat, demikian juga yang baru terjadi di fasilitas kesehatan di Kampung Komba, kondisi seperti ini tidak boleh terjadi,” katanya.
Piet Hariyanto Soyan sebagai Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Jayapura yang juga membidangi Pendidikan dan Kesehatan menjelaskan, soal lahan yang menjadi masalah di mana fasilitas publik berdiri seperti bangunan sekolah dan pusat layanan kesehatan, hendaknya dipertimbangkan secara baik dan telah memenuhi unsur kepastian yang sah pemilik hak ulayat.
Menurutnya, pembayaran lahan atau ganti untung kepada pemilik hak ulayat selama ini tidak tepat sasaran, karena selalu ada kepentingan lain di dalamnya.
“Aturannya sangat jelas bahwa pemerintah daerah tidak akan membayar kedua kali pada objek yang sama, lalu kondisi ketika terjadi pemalangan, harus ada pertemuan lalu merencanakan pembayaran ulang. Ini namanya pemborosan dan merugikan banyak pihak,” katanya. (*)