Jayapura, Jubi – Gala Premiere Film Dokumenter 17 Surat Cinta yang diproduksi Ekspedisi Indonesia Baru, WatchDoc, diputar serentak di sejumlah wilayah Indonesia, salah satunya di Kantor Belantara Papua, Kota Sorong, Papua Barat Daya, Minggu (18/11/2024). Film ini bekerja sama dengan berbagai organisasi lingkungan seperti Auriga Nusantara, Forest Watch Indonesia, Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh atau HAkA, Greenpeace Indonesia, dan Pusaka Bentala Rakyat.
Kegiatan nobar di Sorong dilaksanakan oleh Greenpeace Indonesia basis Sorong bersama Konfederasi Selamatkan Tanah Hutan dan Manusia Papua (KSTHMP). Film ini berangkat dari cerita deforestasi di suaka margasatwa Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Aceh dan Sumatra Utara.
“Itu merupakan tempat hidup empat satwa unik seperti harimau, gajah, badak bercula satu, hingga orangutan,” kata Samuel Moifilit dari Greenpeace Indonesia Sorong, melalui pesan singkat yang diterima Jubi di Kota Jayapura, Papua, pada Senin (18/11/2024).
Ia mengatakan Yayasan HAkA menemukan perusakan drastis terjadi di area itu sejak 2022. Hingga September 2024, luas deforestasi mencapai 2.000 hektare. Pembangunan kanal-kanal pengeringan dan pembukaan lahan terjadi di ekosistem gambut tersebut.
Menurutnya, cerita film diawali deforestasi di suaka margasatwa Rawa Singkil, dan selanjutnya dokumenter ini memotret bagaimana nasib hutan dari Sabang sampai Merauke. Selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia kehilangan 4,3 juta hektare hutan, termasuk di wilayah konservasi.
“Pola pembangunan ala Jokowi telah memicu terjadinya bahkan memperparah deforestasi, kebakaran hutan dan lahan gambut, serta perampasan ruang hidup masyarakat adat dan lokal,” katanya.
Ia juga mengatakan deforestasi kian masif menyasar hutan Papua, hutan hujan terluas terakhir yang menjadi benteng iklim Indonesia. Pemerintah mengabaikan suara masyarakat adat, seperti suara suku Awyu dan Moi, yang menolak ekspansi sawit di Boven Digoel dan Sorong. Termasuk suara orang Malind yang menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) food estate di Merauke, serta komunitas lainnya yang berjuang mempertahankan hutan dan wilayah adat mereka.
“Dengan dalih pertumbuhan ekonomi 8 persen, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bakal melanjutkan watak pembangunan yang eksploitatif tersebut. Nama Prabowo sendiri tercatat di 13 perusahaan yang menguasai 395.000 hektare lahan,” katanya.
Sementara itu, Koordinator Umum KSTHMP Fiktor Klafiyu menyampaikan setelah nobar dilaksanakan diskusi publik terkait eksistensi perkebunan sawit ilegal, kerusakan ekosistem, dan pengabaian hak masyarakat adat serta tuntutan kepada pemerintah agar menghentikan deforestasi di Indonesia.
“Film ini cukup kuat untuk menggambarkan kondisi di seluruh Indonesia soal kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap perlindungan margasatwa, juga hutan tersisa yang ada di Indonesia. Film 17 Surat Cinta ini, mengekspos soal praktik-praktik deforestasi secara ilegal di kawasan hutan atau kawasan konservasi,” katanya.
Harapannya, film ini jadi alat penyadaran bagi masyarakat yang hari ini masih menganggap negara itu sebagai tuan. Masyarakat harus mulai berpikir kritis, agar negara melindungi hak dasar warga negara, terlebih khusus masyarakat adat dengan hutannya.
“Jadi film ini cukup jelas, karena kurang lebih ada 17 surat yang dikirim ke Kementerian Lingkungan Hidup bahkan ke presiden, melaporkan kondisi di daerah konservasi yang telah dirusak korporasi sawit. Namun, tidak ada respons dari pemerintah, mereka hanya menerima surat saja. Tidak ada tindakan yang signifikan dari kebijakan yang sudah mereka lakukan,” katanya.
Film dokumenter yang berdurasi 53 menit ini disutradarai Dandhy Dwi Laksono penerima penghargaan Ramon Magsaysay 2021 bersama rumah produksi WatchDoc yang didirikannya bersama Andhy Panca. Produser eksekutif yakni Farwiza Farhan, penerima penghargaan Ramon Magsaysay Award 2024 dan masuk dalam daftar 100 perempuan berpengaruh di dunia versi Majalah TIME. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!