Nabire, Jubi – Koalisi Advokat untuk Kebenaran dan Keadilan Rakyat Papua, Yan Christian Warinussy mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan uji materi konstitusionalitas pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969 menjadi bukti keengganan Mahkamah Konstitusi memberikan keadilan bagi rakyat Papua. Hal itu dinyatakan Warinussy dalam keterangan pers tertulis Eksaminasi Publik Putusan MK yang diterima Jubi pada Kamis (23/6/2022).
“Koalisi Advokat untuk Kebenaran dan Keadilan Rakyat Papua menyelenggarakan eksaminasi publik atas putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-XVll/2019 tentang permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat. Eksaminasi publik itu berlangsun di Jakarta pada 22 Juni 2022,” kata Warinussy.
Warinussy mengatakan, eksaminasi itu diselenggarakan untuk menganalisa secara objektif putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut. Putusan itu ditinjau dengan beragam perspektif diantaranya hukum acara MK, hukum Hak Asasi Manusia internasional, antropologi, sejarah, dan lainnya.
Permohonan uji materiil itu terkait dengan Konsiderans Menimbang dan Penjelasan I (Umum) angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969. Konsideran maupun penjelasan itu itu menyitir hasil Pepera 1969 sebagai dasar pembentukan Undang-Undang itu. Di pihak lain, para pemohon uji materiil itu menilai keabsahan Pepera 1969 bermasalah.
“Pepera merupakan isu besar yang tidak pernah diselesaikan Pemerintah Indonesia. Pengabsahan Pepera 1969 meminggirkan pengalaman pahit Orang Asli Papua yang terbunuh, ditangkap secara sewenang-wenang, didiskriminasi, diperkosa, disiksa, dibunuh, dan diperlakukan dengan buruk oleh negara manakala masyarakat Papua mempersoalkan keabsahan Pepera, karena merasa Pepera dilaksanakan secara tidak adil, tidak terbuka, dan tidak partisipatif,” kata Warinussy.
Warinussy menyatakan awalnya para pemohon berharap MK akan membuat putusan yang tidak semata-mata memakai pendekatan hukum yang kaku. “Permohonan pengujian legislasi itu merupakan upaya untuk mendorong MK melihat dinamika sosial dan sejarah di atas semata-mata pertimbangan hukum yang kaku dan tidak mencerminkan keadilan. Itu sesuai dengan kewajiban MK untuk menggali nilai-nilai dan keadilan yang hidup di masyarakat,” katanya.
Warinussy menyatakan MK bahkan memutus permohonan itu tanpa mendengar argumentasi pemohon, saksi ahli, dan bukti-bukti terkait yang memperlihatkan penderitaan para pemohon selama proses Pepera 1969. Ia menilai MK memutus permohonan tidak pertimbangan lebih lanjut.
“Alasannya Pepera 1969 di Papua Barat merupakan permasalahan internasional, yang bukan menjadi kewenangannya. MK lupa bahwa Papua merupakan bagian dari NKRI, sehingga MK waiib memberikan pemulihan Hak Asasi Manusia atas pelanggaran kemanusiaan melalui mekanisme judicial review ketika warga negara Indonesia merasa hak konstitusionalnya dilanggaar,” kata Warinussy.
Eksaminasi publik atas putusan MK tentang Pepera 1969 itu dilakukan Dr Bernarda Meteray, Dr I Ngurah Suryawan, Anggara SH MH, dan Herlambang P Wiratraman PhD. Eksaminasi publik itu menyimpulkan MK baik dengan sengaja atau tidak sengaja telah mengesampingkan pertimbangan sejarah Papua dalam membuat putusannya.
“Pemerintah RI, termasuk MK, hanya menggunakan pendekatan sejarah dalam kasus-kasus non-Papua. Namun, ketika bicara [masalah] Papua, dengan sengaja pemerintah meminggirkan catatan sejarah Papua” kata Warinussy.
Menurutnya, sejarah Papua yang dimaksud itu adalah intimidasi dan penindasan yang dilakukan Pemerintah RI sepanjang proses Pepera. Sejarah itu telah diteliti I Ngurah Suryawan, yang menemukan fakta penindasan selama proses Pepera 1969. “Konsekuensi logisnya, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 mengenai kesukarelaan OAP bersatu dengan Indonesia adalah informasi yang dimanipulasi,” kata Warinussy.
Warinussy juga menyayangkan hakim MK yang mempertanyakan legal standing para pemohon.”Bagi MK, 14 organisasi dan individu asli Papua tidak memiliki hak untuk mengajukan permohonan. MK menyatakan bahwa dalam kasus itu, yang memiliki legal standing adalah Gubernur Papua dan anggota DPR Papua,” katanya.
Selaku majelis eksaminasi putusan MK itu, Anggara mengomentari pertimbangan MK itu. “MK tidak berhak membatasi legal standing pemohon peorangan yang mendapatkan kerugian konstitusional. Hak kolektif OAP tidak dapat dibatasi hanya pada Gubernur atau DPR Papua,” kata Anggara.
Dr I Ngurah Suryawan menilai sempitnya kacamata MK dalam melihat persoalan Pepera 1969 disebabkan kegagalan Negara secara umum dalam membaca orientasi masyarakat Papua.
“Kritik terbesar saya, kegagalan Negara dalam memahami orientasi sosial-budaya masyarakat Papua yang sangat berbeda dengan orientasi modernitas dan kemajuan. Kegagalan itu pun melembaga di institusi pengadilan yang paling berhak menilai kerugian konstitusional [warga negara]. Akhirnya masyarakat Papua tidak pernah berdaulat atas diri dan orientasinya,” kata Suryawan.
Herlambang P Wiratraman menyatakan bahwa putusan MK itu menitikberatkan kepada formalitas hukum, dibanding mengajarkan nalar yang menjangkau rasa keadilan publik untuk melindungi HAM. “Putusan MK ini justru menopang politik otoriter, karena gagal keluar dari bayang-bayang risiko politik ketatanegaraan,” kata Herlambang. (*)
Discussion about this post