Jayapura, Jubi – Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua, Emanuel Gobay meminta Presiden Joko Widodo segera mengaudit Badan Intelijen Negara atau BIN terkait dugaan pembelian senjata yang digunakan dalam konflik bersenjata di Papua. Hal itu dinyatakan Gobay melalui keterangan pers tertulisnya, Selasa (7/6/2022).
Permintaan Gobay itu disampaikan menyusul pemberitaan Tempo.co terkait dugaan bahwa Badan Intelijen Negara (BIN) telah membeli mortir dari Serbia yang digunakan dalam konflik bersenjata di Papua. Dugaan itu disampaikan laporan kelompok pemantau senjata yang berbasis di London, Conflict Armament Research atau CAR yang menyebut mortir yang dibeli BIN Itu digunakan dalam penyerangan delapan kampung di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, pada Oktober 2021.
“Dalam pemberitaan Tempo, disebutkan bahwa helikopter dan drone sejak 10 Oktober 2021 menembak dan menjatuhkan amunisi di delapan desa di distrik Kiwirok selama beberapa hari. [Hal itu] secara langsung melahirkan pertanyaan, sebab sesuai ketentuan yang berlaku, BIN tidak memiliki keweangan ataupun tugas untuk membeli alutsista,” kata Gobay dalam keterangan pers tertulisnya.
Gobay menyatakan tugas BIN telah dibatasi secara jelas oleh Pasal 29 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara (UU Intelijen Negara). Pasal itu menyatakan BIN bertugas melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang Intelijen, menyampaikan produk Intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pemerintah, melakukan perencanaan dan pelaksanaan aktivitas Intelijen, membuat rekomendasi yang berkaitan dengan orang dan/atau lembaga asing dan memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi tentang pengamanan penyelenggaraan pemerintahan.
“Pasal 29 UU Intelijen Negara tidak menyebutkan perihal membeli senjata api ataupun amunisi jenis apapun. BIN tidak memiliki tugas untuk membeli senjata api maupun amunisi jenis apapun,” tegas Gobay.
Gobay meminta Presiden Joko Widodo untuk memerintah Kapolri agar menjalankan proses hukum terhadap dugaan tindak pidana UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951. “Demi menegakan status Negara Indonesia adalah negara hukum dan prinsip bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum,” kata Gobay dalam keterangan pers tertulisnya.
Kapolri diminta tidak bertindak diskriminatif dalam menjalankan proses hukum dugaan tindak pidana UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Selama ini, ada banyak Orang Asli papua yang diproses sebagai pelaku perdagangan senjata dengan memakai ketentuan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951, termasuk beberapa orang yang dikriminalisasi dengan ketentuan UU Darurat itu.
Gobay mencontohkan kasus Abet Telenggen yang dituntut dihukum penjara 1 tahun 6 bulan oleh Jaksa Penuntut Umum, namun diputus bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jayapura karena tidak tahu-menahu tentang perdagangan senjata di Papua. “Apabila ada pihak lain, baik person ataupun badan hukum swasta/milik Negara yang melakukan salah satu dari tindakan yang dilarang UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951, wajib diproses hukum, dalam rangka menghindari adanya diskriminasi dalam penegakan hukum,” tegas Gobay.
LBH Papua juga meminta DPR RI segara turun tangan dan memeriksa BIN terkait dugaan pembelian senjata dari Serbia itu. “DPR RI harus memeriksan BIN, dan mengumumkan hasil pemeriksaan secara terbuka sesuai dengan asas keterbukaan publik,” kata Gobay. (*)
Discussion about this post