Jayapura, Jubi – Pengusaha Papua yang perempuan tidak banyak. Satu di antaranya adalah Usilina Epa. Ia pemilik Sundshine Cafe dan Library Jl Taruna Bhakti serta Cafe Isasai di Expo, Kota Jayapura, Provinsi Papua.
Epa berjuang membangun usaha dengan jatuh-bangun. Salah satu motivasi utamanya adalah bagaimana Orang Asli Papua (OAP) juga bisa memiliki usaha di jalan utama di Kota Jayapura.
Jubi berbincang dengan Usilina Epa Epa di salah satu kafenya, Sundshine Cafe dan Library pada Sabtu (3/3/2024).
“Sebenarnya ada beberapa masalah sosial yang terjadi di lingkungan dan ada beberapa hal yang hilang yang membuat saya merasa memiliki ‘pekerjaan rumah’ untuk melakukan sesuatu,” kata Usilina Epa menceritakan alasan utama ia merintis usaha.
Masalah yang paling kelihatan itu menurutnya adalah masalah tanah di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura. Di sepanjang Waena (Kota Jayapura) secara khusus, juga di Sentani, tanah masyarakat adat semakin hilang dan dikuasai oleh non-OAP.
“Masalah lainnya, karena tidak kelihatan usaha milik orang Papua di pinggiran jalan-jalan utama, ada kesedihan yang saya rasakan dalam hati mengenai hal itu,” ujarnya.
Dalam pikirannya muncul pertanyaan kenapa Orang Asli Papua yang dulunya punya tanah di sepanjang jalan utama itu malah tersingkir, terpinggirkan, dan tidak kelihatan. “Tidak terwakili ada usaha OAP di pinggir jalan utama,” katanya.
Pada 2014 orang tuanya membangun empat petak ruko dan menjadikan usaha kios dan rumah makan. Orang tuanya selalu mempekerjakan orang lain dan modalnya tidak kembali. Ketika Usilina Epa kembali pada 2014, sambil mengajar di Universitas Cenderawasih (Uncen) dan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), ia menjalankan kios tersebut.
Pada 2016 ia juga membuka usaha penjualan tiket di petak ruko di sebelahnya. Dari keuntungan dua usaha itu, kios dan penjualan tiket, ia mendapatkan modal awal untuk mendirikan kafe “Sundshine Cafe dan Library”.
“Kita sempat sekali lagi buka warung ‘Dapur Mama’ dan mencoba menjual makanan lokal, seperti yang sekarang saya coba lakukan di Cafe Isasai dan hanya bertahan satu bulan saja,” ujarnya.
Kemudian ia membuka lagi warung lainnya dan mempekerjaan Non-OAP. Tapi usaha itu hanya bertahan satu tahun, gagal karena pengelolaan yang salah.
“Dua usaha yang saya pegang secara langsung itu tempat penjualan tiket dan kios, tsedangkan warung dikerjakan orang lain dan saya hanya mengawasi,” ujarnya.
Setelah ada modal, ia merenovasi rumah makan yang gagal itu dengan mengubah interiornya untuk dijadikan kafe. Pada Mei 2017 ia membuka kafe Sundshine Café and Library di sana.
“Jadi Sundshine Café and Library yang akan berusia tujuh tahun ini kita bangun di atas puing-puing kegagalan, baik dari orang tua maupun saya sendiri,” ujarnya.
Dari pengalaman itu, Usilina Epa menyimpulkan bahwa solusi dari membangun usaha yang berkelanjutan ada pada diri sendiri.
“Bahwa kita harus punya ilmunya, kita harus terjun sendiri, mau main kotorlah istilahnya, mau bayar harga, mau capek, mau belajar,” ujarnya.
Banyak tantangan
Membuka usaha kafe juga tidak mudah bagi Epa. Banyak tantangan, terutama karena
ia dan suaminya tidak tahu masak dan betul-betul terbatas dalam pengetahun tentang bisnis. Namun dorongan semangat agar OAP harus ada yang memiliki usaha di jalan utama sangat besar. Kemudian jika pengelolaan diserahkan ke orang lain, tanggung jawabnya juga berbeda jika dikelola sendiri.
“Memulainya penuh dengan segala keterbatasan. Suami saya sendiri buat kursi, meja, dan lain-lain. Jadi kalau para pelanggan awal Sundshine Café and Library tahu interior awal itu semua dibuat sendiri sama kita,” katanya.
Sejak itu ia belajar menjalankan usaha kafe. Belajar memahami sistem manajemen dalam berusaha, baik manajemen keuangan maupun manajemen stok barang dan manajemen pegawai.
Sesuai impian awal, ia juga mempromosikan apa yang menjadi milik orang Papua, salah satunya makanan khas Papua. Ia memulai dengan membuat menu sinole, kemudian menu lainnya.
“Konsep cafe ini adalah cafe dan library. Juga kami pakai bahan daur ulang untuk penataan interior kafe. Terus dari awal kita juga berkomitmen untuk mempekerjakan anak-anak Papua yang berangkat dari pemikiran awal tadi, usaha OAP harus tampil di pinggiran jalan utama,” ujarnya.
Hal lainnya, Epa melihat salah satu adalah tidak ada kesempatan yang diberikan kepada anak-anak Papua untuk belajar dan memiliki kepercayaan diri untuk tampil. Karena itu sejak dibuka sampai sekarang 100 persen pekerjanya adalah anak-anak Papua.
Setelah membuat menu sinole, ternyata kemudian banyak permintaan dari pelanggan untuk menu makanan khas Papua lainnya, seperti sayur genemo lilin santan, keladi tumbuk, dan lain-lain.
Pada 2020, setelah Sundshine Café and Library berusia lima tahun, maka dibuka cabang, yaitu Cafe Isasai di Expo. Epa membangun bangunannya bersama orang tuanya. Ia melengkapi Café Isasai dengan modal yang terkumpul dari Sundshine.
Cafe Isasai dibuat 100 persen ingin memperkenalkan makanan khas Papua. Epa ingin memulai dari makanan khas sendiri, yaitu makanan khas Sentani.
“Karena kita lihat situasi Sentani dan Jayapura saat ini yang berada di tengah-tengah pembangunan dan sayangnya ciri khas dan jati diri kita malah terpinggirkan, seolah-olah kita tidak punya jati diri dan identitas, tidak punya makanan khas,” katanya.
Dalam perkembangnya, lanjut Epa, makanan khas Sentani itu sudah hilang dari pasaran, seperti ikan gabus asar sudah tidak dijual di pasar. Menurutnya menu masakan yang hilang itu adalah ikan gabus santan dan ikan gabus kuah hitam.
Dengan usaha kafe itu, Usilina Epa juga ingin membantu OAP lainnya yang berkebun dan menjual hasil kebun mereka. Sebab saat ini daya beli pangan lokal di pasaran kurang.
“Kita juga perlu meningkatkan permintaan bahan pangan lokal untuk bantu Mama-Mama mereka di pasar,” ujarnya. (*)