Jayapura, Jubi – Aktivis perempuan dari GARDA Papua, Esther Haluk menyatakan Orang Papua tidak akan memiliki masa depan selama bersama Indonesia. Hingga kini suara-suara untuk memisahkan Papua dari NKRI semakin kencang, digencarkan oleh kalangan muda Papua.
Hal itu disampaikan Haluk dalam diskusi publik “Imajinasi Orang Papua Sebagai Bangsa (Melanesia)” yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN pada Kamis (19/5/2022). Haluk menyatakan Orang Asli Papua tidak memiliki masa depan bersama Indonesia lantaran masyarakat Papua terus diperlakukan secara tidak adil.
Haluk mencontohkan aparat penegak hukum yang selalu mencurigai Orang Asli Papua, termasuk orang Papua yang menyuarakan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua atau menggalang bantuan bagi korban pengungsi konflik bersenjata di Papua. Aktivitas mereka bahkan kerap dibubarkan aparat keamanan.
“Saya terlibat dalam penggalangan bantuan untuk pengungsi Nduga dan pengungsi di tempat lain. Tetapi, ketika kami menggalang bantuan, polisi justru datang dan tanya kepada kami ‘kenapa buat bantuan atau mengkoordinir bantuan, tidak ada pengungsian di Papua’,” ujarnya.
Haluk menyatakan negara berusaha mengisolasi persoalan Papua dengan menyangkal berbagai kasus kekerasan yang terus terjadi di Tanah Papua. “Itu jadi masalah, dan kami sedang diajarkan, diyakinkan bahwa kekayaan kami yang diinginkan, tetapi Orang Asli Papua tidak diinginkan. Dalam pandangan kami, generasi muda [Papua], tidak ada masa depan orang Papua dalam bingkai NKRI,” katanya.
Haluk menyatakan selama ruang demokrasi orang Papua dibungkam, pelanggaran HAM tidak diselesaikan, dan perlakuan rasis terus terjadi, orang Papua akan semakin meyakini bahwa Papua memang harus berdiri sebagai bangsa sendiri. “Realita itu semakin menguatkan iman kami [orang Papua], bahwa kami tidak boleh berada dalam Indonesia,” ujarnya.
Moderator Dewan Gereja Papua, Pdt Benny Giay menyatakan selama ini Indonesia memperlakukan Orang Asli Papua sebagai warga negara kelas dua. Itu dimulai dari propaganda politik yang digunakan Soekarno yang menyampaikan bahwa Indonesia akan meningkatkan pembangunan di Papua demi satu misa yang mulia, yaitu mensejajarkan atau menyetarakan Orang Asli Papua dengan suku-suku lain di Papua. (*)
Discussion about this post