Nabire, Jubi – Juru Bicara Nasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Ones Suhuniap mengatakan, Pemilu Indonesia di Papua mencari legitimasi orang Papua atas kedaulatan dan memperpanjang penjajahan di Papua, sebab status Papua bermasalah secara hukum internasional.
“Pemilu Indonesia di Papua selalu dikatakan dilakukan dengan demokratis, padahal demokrasi palsu, demokrasi tidak mendidik etika demokrasi moralitas orang Papua. Sejujurnya bahwa Orang Papua tidak cocok dengan sistem demokrasi liberal produk kapitalis dan kolonialisme indonesia,” katanya kepada Jubi melalui layanan WhatsApp, Senin (15/1/2025).
Suniap menilai Pemilu Indonesia di Papua, hanya cari legitimasi eksistensi dan kedaulatan kolonialisme merekrut kader produktif jadi boneka oligarki dan pilar kolonialisme, fasisme dan pendukung komplotan rasial Indonesia terhadap Papua.
“Kami menyadari bahwa moyang orang Papua tidak pernah sepakati sama -sama konsep nation maupun state Indonesia dengan sistem demokrasi sedang dijalankan,” katanya.
Suhuniap mengatakan bukti orang Papua tidak pernah menyatakan diri untuk terlibat dalam pemilu di indonesia melainkan Orang Papua dipaksakan ikut terlibat dalam Pemilu Indonesia berdasarkan aneksasi 1 Mei 1963.
“Sesungguhnya pemerintahan wali digantikan posisi UNTEA untuk mendorong proses dekolonisasi dipersiapkan sebelumnya oleh Belanda. Pelaksanaan Pemilu di Papua sesungguhnya ilegal jika ditinjau dari juridiksi hukum atas legalitas Indonesia di Papua. Karena Pemerintah sementara Indonesia diberikan mandat hanya untuk mendorong pelaksanaan penentuan nasib sendiri berdasarkan amanat perjanjian New York Agreement 15 Agustus 1962 pasal XIII,” katanya.
Dia melanjutkan, tidak ada pengakuan secara formal legal oleh rakyat Papua sepenuhnya bahwa pemerintah Indonesia pemerintah resmi yang dibentuk oleh rakyat Papua. Pernyataan seperti itu tidak ada yang ada adalah orang asli Papua dipaksakan bergabung dengan Indonesia.
“Orang Papua memiliki hak demokrasi untuk tidak ikut terlibat dalam pemilu Indonesia di Papua, baik ikut terlibat sebagai peserta Pemilu maupun sebagai rakyat ikut partisipasi memilih calon presiden DPRI maupun DPRD kabupaten kota di Papua,” katanya.
Suhuniap mengatakan, karena pada dasarnya keberadaan Indonesia tidak memiliki legalitas hukum kekuasaannya di Papua.
“Itulah sebabnya Indonesia mati- matian sukseskan Pemilu di Papua, agar menjadi peluru diplomasi di internasional. Dimana Indonesia menggunakan hasil Pemilu menyakinkan masyarakat Internasional bahwa orang Papua ingin hidup bersama Indonesia,” katanya.
Suhuniap mengatakan, pelaksanaan orang Papua jadi peserta Pemilu menjadi target utama untuk memperkuat kedaulatan NKRI di Papua.
“Karena jika dilihat dari populasi jumlah penduduk orang Papua tidak berpartisipasi sebagai sebagai Pemilu tidak mempengaruhi surara kedaulatan politik rakyat di nasional. Suara orang Papua hanya 1, 500 jiwa sesungguhnya tidak diperhitungkan, yang Jakarta pikirkan orang asli Papua menjadi peserta pemilu dan ikut mewarnai di kursi legislatif maupun eksekutif dari hasil pesta demokrasi itu menjadi legitimasi Indonesia di Papua. Karena mereka itu mewakili pemerintah Indonesia memperkuat sistem kolonialisme Indonesia di Papua,” katanya.
Suhuniap mengatakan, kelompok borjuis lokal dalam birokrasi kolonial inilah yang memperpanjang sistem penjajahan ini tetap ada di Papua. Borjuis hari ini berlomba jadi caleg DPR RI DRP dan DPRK itu, menurutnya juga menjadi pilar utama jembatan bagi kapitalis dan oligarki nasional bahkan investasi di Papua.
“Mereka borjuis akan menjadi pintu masuk Investasi ekonomi di Papua setelah Pemilu usai. Karena setelah pemilu nasional pemilihan presiden dan DPR selanjutnya pemilihan gubernur di 6 provinsi di Papua baik 2 provinsi lama dan 4 provinsi baru produk dari otonomi khusus jilid II,” katanya.
Suhuniap mengatakan, setelah pemilihan gubernur definitif undang-undang Omnimbus Law akan berjalan normal investasi di Papua dalam skala besar melalui perusahaan nasional maupun multinasional milik oligarki Imperalisme global.
Untuk menghadapi proses dari rakyat Papua undang -undang RKUHP yang baru diperlakukan agar tidak kritik dari rakyat Papua.
“Karena program strategis Jokowi tetang hilirisasi dan industrialisasi sekotor produksi mulai membangun infrastruktur Mega proyek seperti smelter di Gresik Jawa Timur. Tujuan membangun infrastruktur industrialalisasi ini untuk mengelola bahan mentah dari sumber alam dari Papua bisa dikelolanya menjadi bahan jadi untuk dipasarkan dalam rangka untuk meningkatkan anggaran nasional,” katanya.
Suhuniap mengatakan, Pemilu Indonesia untuk memperkuat kedaulatan melalui melalui Pemilu dengan orang Papua bisa diberikan jabatan DPR Gubernur dan DPR RI bukti legitimasi orang Papua memperpanjang dan mempertahankan kedaulatan di Papua.
“Apabila orang Papua sadar tidak perlu memperkuat sistem yang menindas sistem yang membunuh dan sistem memperktekan rasisme serta kekerasan berbasis rasisme terhadap orang Papua selama 61 tahun lamanya. Namun karena negara dengan hegemoni mampu menciptakan hidup ketergantungan pada sistem Indonesia sehingga orang Papua memperkuat sistem yang menindas rakyat Papua,” katanya.
Suhuniap menagatakan, seharusnya orang Papua harus ada kesadaran melihat semua kekerasan negara dan pembunuhan secara sistematis dan terstruktur di Papua.
“Satu pelajaran berharga itu rasisme 2019 dan dikriminalisasi penegakkan hukum terhadap Lukas Enembe hingga meninggal, menjadi refleksi untuk meninggalkan sistem kolonial. Tetapi orang Papua kini jadi peserta pemilu memperkuat sistem Indonesia melalui Pemilu 2024, dimana di sepanjang jalan pondok Natal ganti dengan baliho caleg DPR di sepanjang jalan di Papua,” katanya.(*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!