Jayapura, Jubi – Kepala Kampung Kendate, Kabupaten Jayapura, Ibrahim Waisamon mengatakan kampung tersebut mempunyai banyak potensi alam di laut dan darat, sebagaimana yang sudah dituliskan para peneliti dari Koalisi Kampus untuk Demokrasi.Perhatian dan sentuhan pemerintah masih dibutuhkan.
Buku kedua dari rangkaian penelitian terkait politik pengelolaan sumber daya alam di tiga kabupaten selama tahun 2022, dibukukan oleh Dosen Universitas Cenderawasih Elvira Rumkabu, Apriani Anastasia Amenes, Asrida Elisabeth, I Ngurah Suryawan.
Hasil penelitian itu dituangkan dalam buku “Geliat Kampung Tersembunyi, Siasat Penghidupan dan Perubahan di Teluk Demenggong, Jayapura.” Buku ini merupakan merefleksikan tentang keharusan pelibatan masyarakat adat dalam pembangunan untuk keberlanjutan penghidupannya.
Waisamon menjelaskan , di kampung Kendate masyarakat adat menggantungkan hidup dengan bercocok tanam, melaut dan usaha keramba ikan.
“Warga yang mendiami kampung Kendate biasanya menangkap ikan tuna , cakalang di laut. Kami ke laut sekitar tiga jam kami melaut setelah menangkap dan kami menjual di Pasar Sentani,” kata Waisamon.
“Setelah membawa hasil tangkapan ikan, Kadang kami baku tawar harga di pasar dengan tengkulak. Terkadang harga di pasar jatuh, tidak sebanding dengan upaya kami, ” katanya.
Selain sumber daya perikanan, potensi hasil kebun berupa buah-buahan dan sayuran segar tidak kalahnya di darat yang sarat dengan buah buahan dan tanaman sayuran segar.
“Di kampung ada banyak buah- buahan, durian, buah duku, buah semangka, buah nangka kecuali buah anggur dan apel yang tidak ada. Biasanya musim buah buahan berlangsung pada bulan Desember,”katanya.
Selama ini kerjasama antara pemerintah, adat, gereja sangat baik. “Kami selalu berpatokan pada tatanan budaya warisan leluhur kami,”katanya.
Asrida Elisabeth, salah seorang penulis buku menjelaskan, suku Moi di Kampung Kendate terus berefleksi, mengidentifikasi diri dan pengalamannya serta terus menegosiasikan adat dan budaya nya dengan kondisi dan kebutuhan kekiniannya.
“Masyarakat juga mempunyai skema pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan menjadi agenda urgen, akan tetapi kepengaturan harus juga didasarkan pada kesadaran bahwa subjek yang dilindungi, yaitu masyarakat adat sendiri adalah entitas yang terus berubah, sehingga perlu pemberdayaan untuk keberlanjutan hidup,”katanya.
Asrida Elisabeth mengatakan, pihaknya juga menemukan satu persoalan yang dimana masyarakat adat tidak mau mengakui kampung adat yang menjadi program primadona mantan Bupati, Mathius Awoitauw.
“Kami temukan ada persoalan di kampung Kendate, semua kebijakan yang dikeluarkan sudah bagus, tetapi kebijakan tersebut lepas dalam konteks di masyarakat Kendate misalnya. Mereka punya kekhawatiran terhadap sistem dan struktur keondoafian mereka, yang menjadi fokus kita dalam penulisan salah satu buku kita”katanya.(*)