Jayapura, Jubi – Untuk memberantas seksisme dalam suatu organisasi kita harus mulai dari diri kita sendiri, lalu di kembangkan ke lingkup skala kecil, lalu ke lingkup skala besar. Demikian disampaikan Musel Muller dari Komunitas Lingkar Sosialis atau Lingsos pada diskusi seri kedua ‘Membangun Organisasi Revolusioner Anti Seksisme’ yang digelar Lao-Lao Papua secara daring di Instagram pada Rabu (13/12/2023).
Muller menjelaskan untuk membangun organisasi revolusioner anti seksisme perlu dipahami terlebih dahulu apa itu seksisme. Istilah seksisme muncul pada 18 November 1965 oleh Pauline M. Lee selama ‘Forum Mahasiswa Fakultas’ di Franklin and Marshall College.
“Seksisme artinya prasangka dan diskriminasi yang didasarkan pada gender, seksisme sering kali muncul karena peran dan stereotip gender, adanya penilaian negatif terhadap seseorang karena seseorang tersebut adalah perempuan dan perempuan rentan sekali menjadi korban,” kata Muller.
Perempuan sering menjadi korban seksisme, kata Muller pada diskusi yang dimoderatori Yokbeth Fele itu, karena masih banyak orang yang memandang rendah kaum perempuan. Menganggap mereka tidak perlu untuk bersekolah tinggi dan tidak memiliki hak yang sama dalam hal pekerjaan.
“Eksploitasi terhadap perempuan, diskriminasi, dalam hubungan sosial perempuan selalu disalahkan di mana ada unsur patriarki yang turut melangengkan seksisme di negara kita ini. Ideologi seksisme ini dilakukan di gereja, di media, dan tatanan sosial,” kata Muller.
Menurut Muller untuk membangun ‘Organisasi Revolusioner Anti Seksisme’ perlu adanya kesadaran dari tiap-tiap pribadi dalam lingkup organisasi itu sendiri. Di mana setiap kader dan siapapun yang berada di dalam suatu lingkup organisasi anti seksisme itu harus benar-benar menyadari bahwa ideologi organisasi itu adalah ‘Organisasi Revolusioner Anti Seksisme’.
“Kita harus memerangi semua hal yang berkaitan dengan penindasan, jangan terhayut dalam paham kapitalisme, kita harus bersatu dan melawan tatanan masyarakat yang salah selama ini,” kata Muller.
“Kita juga harus memandang semua orang sebagai kawan, tidak ada yang dipandang sebagai lawan,” tambahnya.
Perwakilan dari LBH APIK Jayapura Novita Opki pada diskusi itu mengatakan juga perlu mengetahui apa saja jenis kekerasan terhadap perempuan.
Menurutnya kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan yang menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikilogis, dan penelantaran rumah tangga.
“Termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga,” kata Opki.
Jenis kekerasan terhadap perempuan itu, tambahnya, seperti kekerasan di ruang publik, dilakukan langsung seperti perkelahian, pukulan, tendangan, menjambak, mendorong, sampai pada pembunuhan, di mana disaksikan oleh pelaku dan saksi,” ujarnya.
Sedangkan jenis kekerasan secara private adalah jenis kekerasan yang tidak dapat dideteksi dan sering terjadi di dalam suatu komunitas atau organisasi. Kemudian kekerasan secara psikis, seperti ucapan yang menyakitkan hati, penghinaan terhadap seseorang atau kelompok, dan ancaman.
“Kekerasan psikologi ini bukan hanya bisa menimbulkan ketakutan, tapi bisa juga menyebabkan seseorang mendapatkan trauma secara psikis,” ujarnya.
Opki juga menambahkan untuk menentang pengkelasan suatu tatanan dalam masyarakat dan organisasi harus mulai dari diri mereka masing-masing, lalu harus ada pendidikan dalam hal memerangi kekerasan terhadap perempuan.
Kemudian adanya pencegahan, di mana dalam suatu organisasi dibuat dan diberlakukan kode etik yang berlaku dalam organisasi revolusioner, di mana ada penindakan tegas bagi para pelaku.
“Lalu adanya ruang demokarasi dalam organisasi, pastikan tidak ada perbedaan gender, dan tidak ada alibi-alibi yang melangengkan seksisme dalam suatu organisasi sehingga perilaku seksisme tidak terjadi dalam suatu organisasi yang dilakukan secara terorganisir,” ujarnya. (*)