Jayapura, Jubi – Masyarakat adat Suku Awyu akan mengajukan banding setelah Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jayapura menolak gugatan mereka. Hal itu disampaikan Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua selaku penasehat hukum masyarakat adat Suku Awyu dalam keterangan pers tertulisnya pada Kamis (2/11/2023).
“Kami akan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang telah diabaikan dan dilanggar,” kata anggota Koalisi Penegak Hukum Adat Papua, advokat Emanuel Gobay.
Perkara itu terkait izin kelayakan lingkungan yang diterbitkan DPMPTSP Papua untuk perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL. Izin yang digugat masyarakat adat Suku Awyu itu mencakup rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 36.096,4 hektare di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan.
Masyarakat adat Suku Awyu selaku penggugat menyatakan izin itu diterbitkan tanpa sepengetahuan mereka. Gugatan TUN atas izin kelayakan lingkungan perkebunan kelapa sawit itu terdaftar di PTUN Jayapura dengan nomor perkara 6/G/LH/2023/PTUN.JPR.
Pada Kamis, majelis hakim yang yang dipimpin Merna Cinthia SH MH bersama hakim anggota Yusup Klemen SH dan Donny Poja SH menyatakan gugatan masyarakat adat Suku Awyu tidak beralasan hukum dan ditolak. “Menolak gugatan penggugat, penggugat intervensi 1 dan penggugat intervensi 2,” demikian bunyi putusan PTUN Jayapura itu.
Dalam objek sengketa itu penggugat menyatakan penerbitan dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bertentangan dengan asas kearifan lokal lokal, asas kelestarian dan keberlanjutan dll. Namun, majelis hakim berpendapat dalil itu tidak relevan, mengingat telah terdapat penilaian atau pengujian AMDAL oleh Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup atau in casu Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua selaku Ketua Komisi Penilai Amdal (KPA).
Majelis hakim menyatakan secara prosedur dan substansi penerbitan AMDAL tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Majelis hakim juga menyatakan izin kelayakan lingkungan PT Indo Asiana Lestari sah dari segi prosedur dan substansi.
Selaku kuasa hukum masyarakat adat Suku Awyu, Emanuel Gobay menyatakan meski salah satu hakim yang mengadili perkara itu memiliki sertifikasi hakim lingkungan, putusannya tidak sesuai prinsip hukum lingkungan. Menurut Gobay, hal itu terlihat dalam sikap hakim yang tidak mempertimbangkan substansi Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang bermasalah, dan menolak permintaan untuk melakukan pemeriksaan lapangan.
“Kami juga akan melakukan upaya-upaya hukum untuk mengevaluasi sikap hakim dalam memutus perkara ini,” ujarnya.
Anggota Koalisi Penegak Hukum Adat Papua lainnya, Tigor Hutapea mengatakan hakim keliru mempertimbangkan telah terjadi partisipasi bermakna hanya menggunakan sebuah surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel. Menurut Hutapea, LMA adalah lembaga yang tidak jelas status hukum dan kedudukannya dalam tatanan adat, tidak merepresentasikan masyarakat adat Awyu dan marga Woro.
Ia menegaskan LMA juga tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik masyarakat adat. “Ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan, langsung dari masyarakat terdampak,” katanya. (*)