Jayapura, Jubi – Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jayapura di Kota Jayapura, Papua, pada Kamis (10/8/2023) melanjutkan sidang gugatan masyarakat adat Suku Awyu atas izin kelayakan lingkungan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau DPMPTSP Papua untuk PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL. Dalam sidang itu, Kepala Dusun Marga Mukri Yustinus Bung mengatakan masyarakat adat Suku Awyu tidak dilibatkan dalam sosialisasi maupun konsultasi publik pembukaan kebun kelapa sawit PT IAL.
Perkara itu terkait izin kelayakan lingkungan yang diterbitkan DPMPTSP Papua untuk perkebunan kelapa sawit PT IAL. Izin itu mencakup rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 36.096,4 hektare di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Lokasi itu merupakan hutan ulayat Suku Awyu.
Gugatan Tata Usah Negara yang diajukan masyarakat adat Suku Awyu itu terdaftar di PTUN Jayapura dengan nomor perkara 6/G/LH/2023/PTUN.JPR. Perkara ini diperiksa dan diadili majelis hakim yang dipimpin Merna Cinthia SH MH bersama hakim anggota Yusuf Klemen SH dan Donny Poja SH.
Dalam sidang Kamis, Kepala Dusun Marga Mukri Yustinus Bung dihadirkan penasehat hukum penggugat. Menurutnya, marga Mukri sebagai rumpun suku Awyu terdiri atas Mukri Satu, Mukri Dua dan Mukri Tiga. Bung mengatakan marga Mukri Tiga memiliki lahan dari Kali Pasma hingga Kali Kung, yang berada di Kampung Yare, Distrik Fofi.
Bung mengatakan masyarakat adat di sana tidak pernah dilibatkan dalam sosialisasi maupun konsultasi publik rencana kehadiran perusahan kelapa sawit PT IAL. Bung mengatakan tidak mengetahui izin kelayakan lingkungan hidup yang diterbitkan DPMPTSP Papua untuk PT IAL.
“[Saya] tidak pernah mendengar surat izin kelayakan lingkungan hidup yang diterbitkan oleh DPMPTSP Papua. [Hal itu] tidak pernah disampaikan. [Saya] tidak pernah diundang konsultasi publik terkait kehadiran perusahaan,” kata Bung dalam persidangan.
Bung mengatakan ia baru mengetahui tanah ulayat marga Mukri Tiga masuk dalam konsesi perusahaan sawit PT IAL setelah ia terlibat dalam pembuatan peta partisipatif yang dibuat masyarakat ada Suku Awyu bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Ia menegaskan masyarakat adat tidak pernah melepaskan tanah untuk perusahan sawit PT IAL.
Menurut Bung, masyarakat adat juga tidak pernah memberikan kuasa kepada Ketua Lembaga Masyarakat Adat Boven Digoel Fabianus Senfahagi untuk mewakili masyarakat adat Awyu. “[Kami] tidak pernah memberi kuasa kepada Febianius untuk mendatangkan [kesepakatan dengan] PT Indo Asiana Lestari. Kalau hendak melepaskan tanah adat, kami [marga-marga] harus kumpul bersepakat tanah itu dijual atau tidak,” ujarnya.
Bung menyatakan masyarakat adat sangat menolak kehadiran PT IAL. Ia khawatir kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit itu akan menghancurkan sumber kehidupan masyarakat adat dan lokasi-lokasi keramat serta sumber obat tradisional mereka.
“Kami masyarakat adat bergantung hidup dari hutan. Hutan sudah menjadi tempat cari makan. Dalam [adat] Suku Awyu, tidak diperbolehkan menjual tanah. Ada hukuman orang jual-beli tanah adat. Hukumnya kepala manusia, [atau diganti dengan nyawa],” katanya.
Bung menuturkan ia menghidupi keluarganya dengan beragam hasil hutan ulayatnya, hingga anak-anaknya bisa berkuliah.
“[Kami hidup dari] pangkur sagu, berburu babi, memancing ikan. [Saya] mencari kayu gaharu sejak 1994. Gaharu menghasilkan uang, kalau dijual harga per 1 ons bisa sampai Rp3 juta – Rp5 juta. Hasil gaharu bisa membiayai anak-anak kuliah hingga ada yang menjadi Pegawai Negeri Sipil, TNI. Saya punya anak ada tiga, biaya dari hasil gaharu. Kalau [hutan] gaharu menjadi [kebun] sawit, kami mau kemana?” tanyanya dalam persidangan itu.
Pasang patok adat
Saksi lainnya dihadirkan penggugat adalah Tadius Woro. Woro tinggal di Kampung Yare, Distrik Fofi. Woro juga mengatakan masyarakat adat Suku Awyu di sana tidak pernah dilibatkan dalam sosialisasi maupun konsultasi publik PT IAL.
“[Kami] tidak pernah diundang dan tidak pernah ikut sosialisasi. Tidak pernah ada sosialisasi akan kehadiran perusahan. Tidak ada pertemuan apapun terkait kehadiran perusahan, baik dari perusahaan, maupun pemerintah di Kampung Yare. [Saya] pernah dengar [ada] perusahaan, tetapi tidak pernah lihat kantornya ada di mana,” kata Woro.
Woro menyatakan masyarakat adat memberi kuasa kepada Hendrikus Woro untuk melakukan gugatan TUN terhadap izin kelayakan lingkungan yang diterbitkan DPMPTSP Papua kepada PT IAL. Ia juga bersaksi bahwa masyarakat adat sudah melakukan upacara adat penancapan salib atau patok adat di lokasi hak ulayat masyarakat adat, sebagai bentuk penolakan terhadap PT IAL.
“[Izin itu harus] digugat supaya perusahan tidak boleh masuk di tanah adat [kami]. Saya menolak kehadiran perusahan,” ujarnya.
Woro mengatakan tanah dan hutan merupakan warisan leluhur Suku Awyu yang harus dijaga, dilindungi dan dirawat. “Kegiatan berburu babi, memancing, pangkur sagu. Kami hidup dari alam. Jadi kami tidak bisa kasih [tanah] kepada perusahaan. Saya tidak bisa kasih hutan ke perusahaan. Saya hidup dari hutan,” katanya.
Saksi lainnya, Antonia Noyagi juga mengatakan kehidupan masyarakat adat Suku Awyu sangat bergantung terhadap hutan dan tanah. Noyagi mengatakan membiayai sekolah sembilan anaknya dari hasil hutan.
“Biasa berkegiatan di hutan pangkur sagu, berburu, memancing, dan cari kayu gaharu. [Saya] cari kayu gaharu untuk biaya pendidikan anak-anak, menjualnya ke kios-kios terapung. [Saya] punya anak sembilan, ada yang sudah tamat SMA, sudah jadi tentara, dan ada yang kuliah di Jakarta. Mama sendiri yang biaya,” ujarnya.
Noyagi juga mengatakan ia tidak pernah diundang dalam acara sosialisasi atas terkait kehadiran perusahan sawit PT IAL. “[Saya] tidak tahu perusahan PT Indo Asiana Lestari,” katanya.
Noyagi mengatakan ia terlibat dalam penolakan perusahan dengan cara melakukan penancapan patok adat di lokasi konsesi perusahaan. “[Kami] tidak menerima kehadiran perusahan sawit. Kami ambil sagu,ikan, daging dari hutan. [Saya] terlibat dalam penolakan perusahan, dan menanam patok adat, patung salib [di sana],” katanya. (*)