Jayapura, Jubi – Budaya menenun Suku Sobey dengan teknik tenun ikat Terfo khas Kabupaten Sarmi terancam punah. Pasalnya, perajin tenun ikat Terfo dari Suku Sobey semakin berkurang, dan kebanyakan adalah perajin yang sudah lanjut usia.
Hal itu dikatakan Mama Klarci Seifan dalam laman resmi Pemerintah Kabupaten Sarmi. “Ini yang diwariskan nenek moyang kami, namun saat ini, seiring berjalannya waktu, sedikit orang yang masih mau membuatnya. Kalau bukan kita, terus siapa?” kata Mama Klarci Seifan.
Menurutnya, teknik menenun kain Terfo cukup sulit, karena mulai dari menyiapkan bahan baku, membuat motif, mewarnai benang, sampai menenunnya.”Bahan untuk membuat benang berasal dari daun nipah, kemudian dirajut, lalu dijadikan pakaian dan selendang adat di Kampung Sawar, Kabupaten Sarmi,” ujarnya.
Mama Klarci yang kini berusia 60 tahun mengaku mulai menekuni pembuatan kain tenun ikat Terfo itu sejak berusia 15 tahun. Ia mempelajari teknik tenun ikat Tervo dari orangtuanya.”Namun belum ada penerus dari budaya tenun tervo itu,” katanya.
Menurutnya, generasi tua seumuran dengannya sudah sangat jarang yang menggeluti tenun Terfo warisan nenek moyang itu. Dia menambahkan generasi muda, khususnya kaum perempuan, sudah tidak berminat menenun Terfo.
Benang yang biasa digunakan untuk menenun Terfo berasal dari pucuk dedaunan jenis tertentu, seperti pohon palem nibung (oncosparmos tigilsrium). Dalam bahasa Sobei, pohon itu dinamakan pohon pe’a, yang tumbuh di dataran rendah agak jauh dari pantai.
Daun pohon pe’a kemudian diambil, termasuk daun yang masih mayang. Lembaran daun lalu dilepaskan dari batangnya seperti melepaskan lidi dari daun pohon kelapa. Lembar daun itu lalu disatukan dalam ikatan-ikatan, kemudian dijadikan buntalan.Buntalan daun pe’a itu kemudian dibawa pulang ke rumah dan direbus.
Proses merebus berlangsung selama 3-4 jam. Pe’a yang direbus lalu direndam dengan air asin dikucek hingga warna putih, dan digantung hingga kering. Daun pe’a yang diambildari mayang akan lebih berwarna terang ketimbang daun yang langsung diambil dari pelepah.
Setelah kering, surai surai daun pe’a akan dipintal menjadi benang benang tipis. Lalu dikumpulkan dalam bentuk gulungan. Sebagian benang akan dibiarkan tanpa warna, sedangkan lainnya akan diberi pewarna alami.
Benang terfo berwarna merah, kuning, hitam dan hijau. Warna merah berasal dari akar mare yang dicampur dengan kapur sirih dan air. Warna kuning dari kunyit atau mare tidak dicampur dengan kapur sirih. Warna biru berasal dari pohon manaoafo, dan warna hitam berasal dari buah menoerto. Sedangkan warna hijau didapat dari pohon bemotepori.
Mengutip buku berjudul, “Sarmi, tak ada dahan yang patah” yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Sarmi pada 2014 menyebutkan bahwa dua perempuan bernama Puerbe Merne dan Nebanmer Sefa yang tinggal di Kampung Sawar, Sarmi, menjadi tautan terakhir orang Sobei terhadap tradisi tenun mereka, Terfo. Tradisi tenun ikat Terfo sempat mengalami kebangkitannya pada awal 1970-an.
Dalam sebuah laporan perjalanan, Asisten Residen New Guinea Utara, LA Van Ooterzee melakukan kunjungan ke Pulau Wakde pada 1900. Sang asisten menemukan bukti bahwa pernah ada tradisi tenun di kampung itu, yang beberapa waktu sebelumnya juga ditemukan di Kampung Yamna. “Akan tetapi, tradisi tenun itu menghilang sejak masuknya impor pakaian katun,” tulis Van Ooterzee.
Lebih lanjut, Van Ooterzee menulis tradisi tenun kala itu juga terdapat di Pulau Kumamba dan dataran besar. Dalam catatan lainya, disebutkan ada kampung yang masih menyimpan tradisi kain tenun Terfo, yaitu Kampung Tarfia, Sawar dan Bagaiserwar.
Laporan Ooterzee itu ditulis kembali oleh Gosling pada 1928. Laporan Gosling menemukan sebuah foto seorang perempuan Sobei sedang menenun. Gambar itu diambil pada 1928, dan perempuan yang ada dalam gambar itu bernama Puerbe Merne.
Memang tidak banyak catatan mengenai tenun ikat Terfo itu. Akan tetapi, kumpulan catatan etnografis itu telah menunjukan bahwa Terfo adalah satu-satunya tenun dari Tanah Papua, bahkan untuk kaum Melanesia di Pasifik.
Tenun ikat Terfo jelas memperlihatkan bahwa teknik tenun ikat dari Sarmi itu telah mewakili traidisi yang oleh pakar antropologi disebut tenun prehistoric orang Austronesia yang secara mengagumkan dapat bertahan jauh lebih lama. Walau tak bisa dipungkiri, tradisi tenun ikat itu selalu dalam bayang-bayang kepunahan.
“Perempuan yang bisa menenun cukup dihormati oleh masyarakatnya,”tulis Sternes dalam jurnalnya, Tervo : Survival of Weaving Traditioning New Guinea. (*)