Jayapura, Jubi – Para pengunjung pameran “Gold & Coal” di Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih pada 15-16 Juli 2022, menyampaikan pameran itu menyadarkan mereka untuk semakin terlibat menjaga lingkungan di Papua. Pameran itu menyuguhkan kolaborasi seni hasil riset soal tambang emas di Kabupaten Mimika, Papua, dan tambang batu bara di Leipzig, Jerman.
Salah satu pengunjung pameran, Yance Airai mengatakan dengan menyaksikan pertunjukan serta menonton film dokumenter melalui video 360 derajat memakai kacamata virtual reality, meningkatkan kesadaran dirinya untuk terus menjaga alam di Papua. Sebab dari film dokumenter pendek itu membawa penonton benar-benar ikut merasakan dampak kerusakan yang disebabkan pertambangan itu.
“Bahwa nonton melalui teknologi 360 derajat, memberikan kesadaran tentang kerusakan lingkungan itu benar-benar terjadi di sekitar kita,” ujarnya.
Menurut Airai, film dokumenter pendek juga membawa penonton secara langsung melihat kehidupan masyarakat adat Kamoro dan Amungme di Timika, yang jauh dari kesejahteraan dengan adanya kehadiran PT Freeport. Serta bagaimana masyarakat yang berada di Jerman harus terusir dari desa mereka, karena kehadiran pertambangan batu bara.
“Bagaimana masyarakat Kamoro dan Amungme tersingkir dan hidup mereka, juga [mereka] tidak sejahtera. Itu sama seperti gambaran di Jerman di mana ada ucapan bahwa kita menggali dan mengubur mayat kita sendiri,” kata Airai kepada Jubi, pada Sabtu (16/7/2022).
Untuk itu, Airai mengatakan kesadaran dalam menjaga lingkungan di Papua bisa dilakukan mulai dari hal yang kecil-kecil, seperti terlibat dalam penanaman pohon, pembersihan sampah-sampah maupun menonton film dokumenter tentang dampak dari kerusakan lingkungan.
“Walaupun satu dua orang, kita harus memulai,” ujarnya.
Pengunjung lainnya, Frans Junias menyampaikan pameran ini sangat memberikan edukasi dan menyadarkan masyarakat, terutama yang tinggal di Papua untuk mulai bersama-sama menjaga lingkungan. Sebab pertunjukan terutama melalui film dokumenter pendek itu, penonton bisa mengetahui bagaimana dampak kerusakan yang disebabkan oleh pertambangan terhadap lingkungan dan masyarakat setempat.
Frans menyampaikan dengan menonton film dokumenter dirinya akhirnya mengerti mengapa masyarakat Kamoro, Amungme maupun masyarakat Papua lainnya menolak kehadiran pertambangan di Papua.
“Dengan teknologi video 360 derajat saya rasa tidak ada batasan lagi. Karena kita bisa menjadi objek dan subjek sekaligus walaupun kita tidak berada di Timika atau belum perna ke sana,” katanya.
Pameran Gold & Coal adalah presentasi kolaborasi seni yang dihasilkan dari riset para seniman Jerman dan Indonesia. Presentasi itu menyuguhkan film dokumenter, koreografi, sound performance dan performance art yang dibangun dari kolaborasi antara Sarah Israel (dramaturgi), Daniel Kötter (film dan video), Elisa Limberg (desain set), Marcin Lenarczyk (desain suara), Melanie Albercht (asisten produksi), dan Yonri Revolt (manajer lokasi). Selain itu ada tiga seniman yang mempresentasikan performance art sepanjang pameran itu, yakni Agustina Helena Kobogau, Anjar Msen, dan Ikbal Lubys.
Daniel Kötter yang menampilkan film dokumenter pendek melalui teknologi video 360 derajat itu, menyuguhkan enam film dokumenter pendek yang merupakan sebuah proyek kolaborasi seni hasil riset tentang dampak pertambangan emas di Kabupaten Mimika, Papua, dan pertambangan batu bara di Leipzig, Jerman.
Daniel menyatakan dengan menyajikan film dokumenter melalui video 360 derajat menggunakan teknologi virtual reality, ia ingin mengajak penonton untuk secara langsung merasakan pengalaman dalam film.
“Jadi melalui film dengan teknologi virtual reality penonton bisa masuk ke dalamnya dan mengalami pengalaman itu. Lebih penting merasakan pengalaman daripada pesan. Supaya ingin menarik penonton untuk sama-sama [merasakan] apa yang dialami selama pembuatan film,” ujar Daniel kepada Jubi.
Melalui pertunjukan ini, Daniel juga ingin menyampaikan bahwa pertambangan di berbagai negara memiliki masalah yang sama seperti yang terjadi di Jerman dan Papua. Ia berpesan agar anak-anak muda Papua mulai membuat film tentang situasi yang terjadi di sekitar lingkungan sehari-hari.
“Mulailah membuat film tentang situasi kalian sendiri, apa yang membuat kalian tertarik atau apa yang paling dekat,” katanya.
Presentasi Gold & Coal diselenggarakan di tiga kota di Indonesia, yakni di Kota Yogyakarta, Kota Jayapura, dan akan berlanjut di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. (*)
Discussion about this post