Yogyakarta, Jubi – Pameran “Gold & Coal” di Galeri Ethnictro, Kota Yogyakarta, pada 8 – 10 Juli 2022 lalu menyuguhkan kolaborasi seni hasil riset soal tambang emas di Kabupaten Mimika, Papua, dan tambang batu bara di Liepzig, Jerman. Presentasi dengan teknologi video 360 derajat itu juga dihadirkan di UPT Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih, Abepura, Kota Jayapura, pada 15 dan 16 Juli 2022.
Tak seperti lazimnya sebuah pameran seni, ruang utama Galeri Ethnictro di tengah Kota Yogyakarta, sepintas terlihat kosong. Yang ada di ruang presentasi “Gold & Coal” adalah enam kursi yang serupa. Di atas dudukan setiap kursi, ada kacamata virtual reality dan headphone.
Di setiap kacamata virtual reality, ada nomor urut, mulai dari 1 sampai 6. Kacamata virtual reality itu adalah media yang dipilih untuk menyuguhkan enam film dokumenter pendek dalam pameran “Gold & Coal”, sebuah proyek kolaborasi seni hasil riset tentang dampak pertambangan emas di Kabupaten Mimika, Papua, dan pertambangan batu bara di Leipzig, Jerman.
Setiap pengunjung yang mengenakan kacamata virtual reality dan headphone yang ada di setiap kursi pastilah terpukau oleh pengalaman menonton video 360 derajat yang memberi kesempatan berputar ke segala arah, menoleh ke kanan-kiri kapanpun dia mau, memandangi tanah atau langit kapanpun dia suka.
Kacamata virtual reality nomor 1 menyuguhkan film yang dibuat di tengah sebuah hutan basah tropis. Melihat ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah, hijaunya tumbuhan ada di mana-mana. Dengan memutar kursi, pengunjung bisa menatapi sebuah pohon besar yang menjulang. Saat berputar lagi, rerimbunan pohon di mana-mana, hijau, basah, menenangkan.
Lalu terdengar seorang Mama-mama Papua bercerita, menuturkan tentang kedatangan Freeport McMoran ke hutan itu, hutan yang ada di Kabupaten Mimika, Papua, dengan ditemani para tentara. “Kami takut, melihat tentara. Kami lari ke hutan,” tutur sang Mama.
Mama yang tidak disebutkan namanya itu juga menceritakan segala macam perubahan yang terjadi kemudian. Permukiman Orang Asli Papua hilang satu demi satu, kosong ditinggalkan warga yang ketakutan. Para penambang Freeport dan tentara membangun permukiman baru di banyak tempat, mengganti nama-nama kampung Orang Asli Papua dengan nama yang asing di telinga mereka. Tuturan Mama terasa pahit, tuturan orang yang kehilangan.
Lalu suara sang Mama digantikan suara seorang laki-laki yang bersaksi dari sudut berbeda. Kesaksian para penambang yang datang. Kesaksian tentang melimpahnya cadangan emas Ertsberg, yang membuat Freeport McMoran menjadi pemilik cadangan emas terbesar ketiga di dunia, dan membuat mereka menjadi perusahaan tambang dengan biaya operasi termurah di dunia.
Lelaki itu bersaksi, memberikan kesaksiannya yang merasa berjasa mengubah hidup Orang Asli Papua. Merasa berbuat baik karena membawa kehidupan modern, pakaian, rumah, sekolah, bermacam-macam hal yang dia anggap sebagai “kemajuan”.
Dua kesaksian yang bertolak belakang seperti itu juga muncul dalam film yang ada di kacamata virtual reality nomor 2. Pembuka film kedua itu serupa, pemandangan sebuah hutan, di mana sebuah pipa raksasa melintang, dan hehijauan tumbuhan berpadu daun yang menguning, hutan yang kering.
Seorang lelaki bersuara di film itu, juga bercerita tentang rasa kehilangan. Rumah-rumah warga di sana kosong, karena warganya tergusur aktivitas tambang. Tapi, itu bukanlah rumah warga di Kabupaten Mimika, Papua, yang tergusur aktivitas tambang Freeport. Itu adalah rumah warga di Liepzig, Jerman, yang kosong karena warganya terusir aktivitas tambang batu bara di sana.
Film kedua itu menyuguhkan lokasi tambang yang membentang sejauh mata memandang, juga lubang tambang raksasa, yang seketika mengingatkan pengunjung pameran kepada cerita Gunung Nemangkawi di Mimika yang telah bersalin rupa menjad lubang tambang raksasa. Cerita dari Leipzig itu juga menghadirkan kesaksian yang bertolak belakang dari orang yang merasa andil memenuhi kebutuhan energi Jerman, memajukan kehidupan banyak orang di Jerman.
Kedua kesaksian yang bertolak belakang dari Liepzig itu tak sama tapi serupa dengan dua kesaksian yang bertolak belakang dari Mimika. Emas bukan batu bara, dan batu bara bukanlah emas, tapi kutukan tambang emas dan tambang batu bara sungguh serupa. Film ketiga dan kelima juga menghadirkan kesaksian dari Mimika, yang bersanding dengan kesaksian dari Leipzig dalam film keempat dan keenam.
Kolaborasi riset, kolaborasi seni
Gold & Coal adalah presentasi kolaborasi seni yang dihasilkan dari riset para seniman dari Jerman dan Indonesia. Presentasi itu menyuguhkan film dokumenter, koreografi, sound performance, dan performance art, yang dibangun kolaborasi antara Sarah Israel (dramaturgi), Daniel Kötter (film dan video), Elisa Limberg (desain set), Marcin Lenarczyk (desain suara), Melanie Albrecht (asisten produksi), dan Yonri Revolt (manajer lokasi). Selain itu, ada tiga seniman yang mempresentasikan performance art sepanjang pameran itu–Agustina Helena Kobogau, Darlane Litaay, dan Ikbal Lubys.
Agustina Helena Kobogau adalah Orang Asli Papua dan seorang sineas yang terlibat dalam produksi film dokumenter “Mamapolitan: Kisah Perempuan Papua di Jakarta”. Sepanjang pameran itu, ia duduk di salah satu ruang kecil yang bersebelahan dengan ruang pameran utama.
Ia dikelilingi puluhan foto yang menyuguhkan landskap Papua, lubang tambang emas Freeport, kehidupan masyarakat adat Papua, juga foto-foto demonstrasi para aktivis dan mahasiswa Papua yang menuntut kemerdekaan Papua. Kobogau juga dikelilingi berbagai benda sehari-hari Orang Asli Papua, noken, gelang anyaman, kalung, umbi-umbian.
Jika ada pengunjung yang datang, Kobogau akan bertutur, menceritakan tentang apa yang terjadi di Papua, bagaimana aktivitas tambang emas Freeport mengubah sejarah Papua, bagaimana Orang Asli Papua terdera dalam segala perubahan itu. Kobogau menjelaskan pandangan orang Papua tentang Freeport, dan mengapa orang Papua terus menuntut aktivitas tambang Freeport di Mimika ditutup, karena lebih banyak membawa kemalangan daripada kesejahteraan bagi Orang Asli Papua.
Namun, tuturan Kobogau itu tidak disampaikan dalam bahasa Indonesia. Kobogau menuturkan narasinya itu dalam bahasa Moni, bahasa ibunya. Pengunjung yang tidak bisa berbahasa Moni baru akan memahami tuturan Kobogau setelah ia menunjukan video dirinya berorasi dalam sebuah demonstrasi di Jakarta, orasi yang disampaikan Kobogau dalam bahasa Indonesia.
Pilihan cara Kobogau itu memaksa pengunjung menyadari betapa berjaraknya publik di Indonesia dengan orang Papua, dan betapa berjaraknya publik di Indonesia dengan persoalan Papua. Pengalaman itu berbanding terbalik dengan keterkejutan yang dialami para pengunjung saat menonton enam film dokumenter yang menghadirkan “kedekatan” nestapa tambang emas di Mimika dan duka tambang batu bara di Liepzig.
Di ruang kecil yang lain, musisi Ikbal Lubys menggelar ritus bunyi dari sebuah alat penyaring sedimen mineral tambang. Alat itu banyak digunakan para pendulang untuk menyaring saripati emas dari tailing atau limbah tambang buangan PT Freeport Indoensia di Sungai Aijkwa, Mimika.
Berulang-ulang, Ikbal memainkan sekopnya, mengisi sebuah ember dengan pasir dan kerikil. Lalu, pasir dan kerikil yang terkumpul dalam ember itu ia tuangkan ke “saringan”, jatuh menimpa deretan senar yang ia tegangkan di bawah kasa. Kamar Ikbal itu relatif tenang. Bunyi pasir dan kerikil menalu deretan senar itu baru akan terdengar jika pengunjung mengenakan headphone yang tergantung berderet di sekeliling Ikbal.
Terkadang, Ikbal menuang pasir dan kerikil itu dengan cepat, membalurnya kasar ke kasa hingga rontok cepat, menimbulkan bunyi yang riuh bersahutan. Kadang ia membalurkan pasir itu dengan lembut, membuat pasir dan kerikil berjatuhan dalam tempo yang lebih lamban. Dengan laku itu, Ikbal mengingat keterpanaannya ketika pertama kali mengunjungi Timika, ibu kota Kabupaten Mimika.
“Pengalaman pertama saya pergi ke Papua adalah mengunjungi Timika. Persepsi saya tentang Papua banyak dibentuk berita dan informasi sepotong, dan kenyataan yang saya lihat di Timika sama sekali berbeda. Saya mengalami guncangan budaya. Saya terkejut ketika berjumpa kelompok bersenjata di sana, yang menyatakan mereka tidak peduli dengan puluhan ribu orang yang datang mengambil emas dari sana. Mereka hanya ingin alam mereka, kehidupan mereka, rasa aman mereka,” tutur Ikbal.
Di ruang kecil yang lain lagi, penari Razan Wirjosandjojo terus mendorong batang besi tulangan beton hingga beradu tegel lantai dan menimbulkan bunyi ritmis. Ia berjalan berputar-putar dalam kamar kecil itu, pelan, menjaga batang besi besi itu bergetar ritmis menalu lantai. Razan seperti mengorkestrasi kuldesak dari kutukan tambang emas dan batu bara, bising, berputar-putar tanpa jalan keluar, melelahkan.
Presentasi Gold & Coal di Galeri Ethnictro, Yogyakarta, pada 8 – 10 Juli 2022 diboyong ke Jayapura. Presentasi yang sama dihadirkan di UPT Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih, Abepura, Kota Jayapura, pada 15 dan 16 Juli 2022 pukul 15.00 – 20.00 WP. (*)
Discussion about this post