Jayapura, Jubi – Meskipun telah membayar uang ganti rugi kepada keluarga korban, prajurit Yonif Raider 600/Modang yang diduga melakukan penganiayaan terhadap warga Kabupaten Mappi tetap harus menjalani proses hukum. Jika terbukti bersalah, mereka tetap harus dihukumm dan dipecat.
Hal itu dinyatakan Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua, Emanuel Gobay menanggapi masalah pembayaran sejumlah uang kepada keluarga korban penganiayaan yang diduga dilakukan sejumlah prajurit Yonif Raider 600/Modang. Pembayaran sejumlah uang itu diduga sebagai upaya perdamaian untuk menghentikan proses hukum dalam kasus itu.
Gobay menyatakan oknum prajurit Yonif Raider 600/Modang yang diduga melakukan penganiayaan terhadap warga Mappi harus diproses hukum. Menurut Gobay, walaupun keluarga korban telah menerima uang sebagai ganti rugi maupun upaya perdamaian, hal itu tidak bisa menghentikan proses penyidikan.
“Pada prinsipnya tindak penganiayaan dan pembunuhan masuk dalam kategori delik biasa, bukan sebagai delik aduan. Sebagai delik biasa, maka perdamaian atau pembayaran denda tidak bisa menghentikan proses pidananya, tidak bisa menghilangkan peristiwa [pembunuhan] yang terjadi,” kata Gobay kepada Jubi.
Penganiayaan terhadap dua orang warga sipil terjadi di Pos Bade, Distrik Edera, Kabupaten Mappi, pada 30 Agustus 2022. Penganiayaan itu menyebabkan Bruno Amenim Kimko meninggal dunia, dan Yohanis Kanggun luka berat. Selain Kimko dan Kanggun, seorang warga lain benama Norbertus turut menjadi korban dalam penganiayaan itu.
Gobay menyatakan polisi militer harus secepatnya menangkap dan menahan para prajurit TNI yang diduga terlibat penganiayaan itu. “Kami minta dengan tegas kepada Panglima TNI untuk memerintahkan Pangdam XVII/Cenderawasih dan Koramil maupun Kodim di Merauke untuk menangkap pelakunya. Berikan kepada polisi militer untuk kemudian diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di negara ini,” ujarnya.
Gobay menyatakan penyidikan kasus penganiayaan berujung kematian korban dapat dimulai tanpa perlu menunggu adanya pengaduan dari keluarga korban. Gobay membandingkan penanganan kasus penganiayaan warga di Mappi dengan penanganan kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Mimika.
“Sebagai contoh, kasus pembunuhan dan mutilasi yang terjadi di Timika, itu kan tidak harus ada laporan. Pemberitaannya viral, dan aparat ambil inisiatif. Fakta hari ini, pemberitaan [penganiayan di Mappi viral] di mana-mana. Akan sangat memalukan jika TNI harus menunggu laporan dari pihak korban, atau beralasan belum ada laporan. Itu sungguh akan mempermalukan institusi TNI itu sendiri,” kata Gobay.
Gobay menyatakan pihaknya mencatat ada sejumlah kasus penganiayaan yang berujung kepada kematian korban yang tidak jelas penanganannya, karena keluarga korban menerima pembayaran sejumlah uang. Menurut Gobay, penanganan seperti itu melukai rasa kemanusiaan semua orang, terutama keluarga korban.
“Peristiwa di Papua selatan bukan kali [ini saja], sudah beberapa kali dan mayoritas modus berujung pada bayar denda, dan [penanganan] perkaranya tidak jelas. Yang dikhawatirkan, peristiwa itu akan terjadi lagi, karena bentuk penegakan hukumnya menggunakan pendekatan bayar denda. Padahal yang menjadi korban manusia,” ujarnya.
Kepala Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua, Frits Ramandey menyatakan pembayaran ganti rugi tidak akan menggugurkan perbuatan pembunuhan itu. “Tetap saja pelakunya anggota TNI, yang melekat pada pada tubuh-badan dia sebagai tentara,” kata Ramandey.
Menurut Ramandey anggota TNI yang diduga melakukan tindakan penganiayaan terhadap warga sipil harus tetap diproses hukum demi kemanusiaan dan wibawa TNI. Pihaknya berencana akan melakukan investigasi atas kasus ini untuk menentukan tindakan ini terpenuhi unsur dugaan pelanggaran HAM berat.
“Kami akan pikir dan sangat mungkin [akan melakukan investigasi]. Pembunuhan saja sudah melanggar Hak Asasi Manusia,” ujar Ramandey kepada Jubi melalui layanan pesan WhatsApp, pada Senin (5/9/2022).
Wakil Ketua II Bidang Hukum dan HAM Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Papua Selatan atau IMPPAS, Yairus Ambon meminta Panglima TNI, Pangdam XVII/Cenderawasih, dan Komandan Korem 174/Anim Ti Waninggap untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap para prajurit yang diduga terlibat dalam penganiayaan warga Mappi itu. IMPPAS meminta oknum TNI yang terlibat harus menjalani proses hukum, dan jika terbukti bersalah akan dipecat.
Yairus menyatakan agar TNI yang bertugas di Tanah Papua harus memahami tugas pokok dan fungsi TNI serta memahami budaya, tradisi dan karakter masyarakat setempat. Dengan demikian, prajurit TNI yang melaksanakan tugas tidak melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua.
Pihaknya mendorong Komnas HAM Papua melakukan investigasi untuk mengungkap kasus kekerasan yang terjadi di Mappi itu. IMPPAS juga meminta Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mappi memantau dan mengawal proses hukum terhadap oknum TNI yang diduga terlibat dalam kasus penganiayaan itu. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!