Waropen, Jubi – Suara keras seorang pemuda berkemeja biru langit sontak menarik perhatian orang-orang di pinggiran Jalan Awoni, Gereja GKI Betania Waren-tempat berlangsungnya Sidang Sinode ke-18 GKI Di Tanah Papua di Distrik Waropen Bawah, Kabupaten Waropen, Papua, pada Rabu (20/7/2022).
Siang itu, sambil memegang sebuah kayu berukuran sekira 1 meter, pria yang mengaku berstatus mahasiswa ini melemparkan kata-kata, “pergi dari sini, Mama-mama [pedagang orang asli Papua] kami susah [sepi pengunjung]. Mereka jual jauh di sana [sekitar 1 kilo dari tempat sidang], kenapa kamu di sini. Pergi,” sambil pergi ke arah para pedagang, yang rata-rata bukan orang asli Papua.
Siang mendung itu sekira pukul 13.00 WP, waktu istirahat makan siang semua peserta.
Di pinggiran jalan sebelah-menyebelah dipadati orang-orang, entah peserta sidang maupun peserta penggembira. Ada yang berdiri sambil mengunyah pinang, memadat rokok, atau sekadar bercengkerama.
“Panggil polisi,” ucap seseorang dari antara sekelompok orang yang tengah berkumpul.
Tak lama kemudian, beberapa anggota polisi dari pos keamanan di tempat parkir kendaraan, yang berada bersebelahan dengan tempat pedagang, langsung bertindak. Mahasiswa yang enggan berhenti melakukan protes dengan suara keras dan mata sembab itu dirangkul dan diajak pergi polisi, namun kemudian diambil alih beberapa orang berpakaian kemeja biru dan jas hitam [seragam peserta sidang].
Kurang dari satu jam kemudian, suasana kembali normal. Orang-orang mulai berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil sambil menghabiskan waktu istirahat siang, sebelum kembali mengikuti kelanjutan proses sidang.
Kios-kios dan warung tenda biru kembali ramai dikunjungi peserta sidang maupun masyarakat umum. Berbagai barang dipajang terbuka, mulai dari pakaian, aksesoris perempuan, aksesoris rumah berbahan kerang, tas rajutan, hingga makanan dan minuman.
Sementara stan tempat jualan yang disediakan panitia sidang sinode berada di pinggir Pantai Sarfambai, berjarak sekira 600an meter ke lokasi sidang sinode yang akan berlangsung hingga penutupan nanti.
Miris
Seorang peserta penggembira sidang sinode dari Kabupaten Jayapura, Elia, mendukung protes yang dilakukan pemuda tadi.
“Apa yang dia [mahasiswa] bikin itu saya pikir juga mewakili perasaan saya dan teman-teman yang lain. Agak miris lihat pemandangan ini. Waktu kita masih di Jayapura, panitia imbau supaya kita datang tidak bawa apa-apa, tapi bawa uang dan beli mama-mama Papua dong punya jualan di sini,” ujar Elia kepada Jubi, Kamis (21/7/2022).
Elia mengaku menyambut baik imbauan yang dikeluarkan oleh panitia dan sinode dengan tujuan ikut memberdayakan pedagang-pedagang Papua. Namun, ia menilai kurang pengaturan dan koordinasi.
“Sebenarnya sudah bagus, stan jualan mama-mama dong sudah siapkan di pantai Sarfambai [lokasi pembukaan sidang sinode]. Tapi habis pembukaan, semua takumpul [berkumpul] di sini [gereja dan sekitarnya]. Dan, orang-orang keluar perlu ini itu langsung beli yang ada di depan mata. Jadi, pedagang yang baru kasih naik tenda di depan ini yang dapat untung. Mama di stan sana sepi lagi,” kata Elia.
Elia mengaku bukan persoalan gampang mengurus penempatan pedagang di Waropen. Namun, ia berharap, protes kecil yang dilakukan pemuda pada Rabu kemarin didengar dan menjadi perhatian gereja.
“Semoga bapa-bapa dan pimpinan sinode maupun panitia bisa dengar ini. Bukan saja kasus kemarin tapi dibawa juga dalam program-program gereja untuk tolong semua umat, orang-orang Papua,” harap Elia.
Gereja benteng terakhir
Sebelumnya, pada pembukaan Sidang Sinode ke-18 GKI Di Tanah Papua, yang dibuka pada Senin (18/7/2022), diisi oleh ajakan para pimpinan lembaga gereja dan kepala daerah dari sejumlah kabupaten di Papua dan Papua Barat, kepada seluruh masyarakat untuk mempertahankan keutuhan gereja.
Melihat dinamika politik Jakarta-Papua, seperti dorongan pembentukan dan pengesahan tiga provinsi baru di Papua, para kepala daerah dan pemimpin gereja menegaskan bahwa gereja tidak boleh ikut ‘dipecahkan’ karena gereja menjadi ‘benteng terakhir’ perlindungan orang asli Papua.
Salah satunya ditegaskan Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua, Pdt. Tilas Mom. Ia meminta para pemimpin gereja di Tanah Papua tidak ikut terpecah, namun meningkatkan upaya saling mendukung dan menguatkan dalam rangka melindungi masyarakat Papua.
“Jakarta [pemerintah] boleh membuat pemekaran dan berbagai cara memecah orang Papua. Namun orang Papua tidak boleh pecah. Gereja ini pertahanan terakhir kita orang Papua. Kalau gereja sudah pecah, kita orang Papua habis,” kata Pendeta Tilas Mom.
Pendeta yang baru terpilih menjadi Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua pada November 2021 ini berharap, organisasi gereja yang dipimpinnya maupun organisasi denominasi gereja lain seperti GKI, GIDI, dan Baptis tetap utuh dan tidak pecah.
“Kalau kita gereja pecah, orang Papua juga akan pecah. Saya setuju sikap para kader gereja yang tidak ingin ada perpecahan dalam gereja,” harapnya.
Sidang Sinode ke-18 GKI Di Tanah Papua telah dibuka pada Senin (18/7/2022) dan akan ditutup pada Minggu (24/7/2022), dengan puncak acara pemilihan ketua sinode GKI Di Tanah Papua periode 2022-2027. (*)
Discussion about this post