Jayapura, Jubi – Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Cahyo Pamungkas menilai masalah di Papua tidak bisa diselesaikan dengan melakukan pemekaran Papua untuk membentuk provinsi-provinsi baru. Menurutnya hal bisa malah meningkatkan konflik yang terjadi di Papua.
Hal itu disampaikan Cahyo Pamungkas dalam Media Briefing “Perkembangan Pembentukan Daerah Otonomi Baru Pasca Pertemuan dengan Istana” yang diselenggarakan Public Virtue secara daring pada, Rabu (27/04/2022). Cahyo menyampaikan pemekaran tentu akan membawah masuk investasi, menambah uang yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat adat, dan melumpuhkan daya Otonomi Khusus Papua.
“Dengan banyak bantuan, Dana Respek, ada Dana Kampung yang masuk ke dalam sendi-sendi orang Papua. Mereka (masyarakat Papua) kemudian bisa tidak bersemangat berkebun karena sudah bergantung kepada bantuan,” ujarnya.
Cahyo menyampaikan pemekaran Papua berisiko meningkatkan eskalasi kekerasan, karena akan ada pembangunan Komando Daerah Militer (Kodam) baru di daerah pemekaran. Padahal, Amnesty International Indonesia menyatakan sejak 2019 sudah terjadi 12 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat keamanan. Selain itu, juga terjadi peningkatan pembatasan kebebasan bergerak, pemukulan dan penangkapan yang kerap dialami oleh Orang Asli Papua setempat.
“Jadi tidak tepat [pemekaran Papua] dilakukan ketika konflik belum terselesaikan. Kita bisa melihat banyak masyarakat Papua di pegunungan tengah masih mengalami trauma tentang penderitan dan kekerasan yang dialami mereka,” katanya.
Cahyo menyampaikan pemerintah harus melakukan konsultasi publik di tujuh wilayah adat terkait pemekaran. Pemerintah pusat dan DPR RI harus mendengar suara masyarakat yang mendukung atau menolak pemekaran terutama Komite Nasional Papua Barat, United Liberation Movement for West Papua, Dewan Adat Papua, dan berbagai organisasi masyarakat sipil
“Suara mereka harus didengar, sehingga pemekaran yang dilakukan bersifat ‘button up’, mendapat dukungan dari masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat di Papua,” ujar Cahyo.
Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS, Fitriani menyampaikan jika pemekaran berlanjut terlalu cepat tanpa konsultasi dan tanpa ada kesiapan di tingkat daerah, hal tersebut dapat meningkatkan ketidak amanan, keresahan, kekerasan dan konflik baru. Walaupun pemerintah pusat menginginkan pemekaran Papua demi pemerataan pembangunan, namun pembangunan bukanlah alasan pembenar untuk meakukan pemekaran di Tanah Papua.
“Yang perlu dipastikan meminimalisir adanya konflik baik itu horizontal maupun vertikal yang selama ini belum diselesaikan melalui upaya dialog maupun rekonsiliasi,” katanya. (*)
Discussion about this post