Jayapura, Jubi – Akademisi Universitas Cenderawasih, Bernarda Meteray menyampaikan pemekaran wilayah, termasuk pemekaran Papua, harus didahului kajian untuk memetakan kesiapan wilayah dimekarkan. Hal itu dinyatakan Meteray selaku pembicara dalam Media Briefing “Perkembangan Pembentukan Daerah Otonomi Baru Pasca Pertemuan dengan Istana” yang diselenggarakan Public Virtue secara daring pada Rabu (27/4/2022).
Doktor Ilmu Sejarah lulusan Universitas Indonesia tersebut menyatakan pemerintah pusat perlu belajar dari masa lalu ketika hendak melakukan pemekaran suatu wilayah, termasuk pemekaran Papua. Hal itu penting agar pemekaran wilayah tidak menimbulkan konflik maupun masalah baru.
Meteray menyampaikan pada masa Belanda pemekaran didasarkan kajian yang baik melalui pertimbangan politik, ekonomi, akses transportasi/komunikasi, persamaan budaya. Belanda juga menjajaki wilayah yang akan dimekarkan untuk memperoleh informasi tentang daerah dan penduduknya. “Saya ingin menyampaikan ini supaya kita bisa mengetahui pemekaran sekarang memperhatikan hal-hal ini,” ujarnya.
Ia mengingatkan pemerintah pusat untuk tidak melakukan pemekaran Papua semata-mata untuk menunjukan bahwa negara sudah berbuat bagi Orang Asli Papua. Menurutnya, jika tiga provinsi baru yang terbentuk dari pemekaran Papua salah mengelompokkan daerah dan masyarakat adat di sebuah daerah, pemekaran Papua itu justru bisa menjadi masalah baru.
“Lihat dengan baik dulu karakteristik wilayah adatnya. Apakah wilayah adat itu sudah membagi pembagian wilayah [yang sesuai untuk membentuk] provinsi [baru]? Contoh saja, [Kabupaten] Mimika [akan] masuk dalam wilayah Provinsi Papua Tengah [yang didominasi Wilayah Adat] Meepago, padahal secara adat [ada yang berpandangan bahwa Mimika] bagian dari [Wilayah Adat] Domberai,” katanya.
Penulis buku “Nasionalisme Ganda Orang Papua” itu menyampaikan para pengambil kebijakan di pusat dan daerah perlu memahami dengan baik tentang karakteristik setiap wilayah ketika hendak melakukan pemekaran Papua. “Kalau kenyataan tidak mencapai sejahtera kita harus berpikir kembali, mengkaji kembali, memperhitungkan, mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak,” ujarnya.
Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Yoel Luiz Mulait mengatakan MRP telah mengajukan permohonan uji materiil atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) di Mahkamah Konstitusi. Hal itu dilakukan sebagai upaya hukum atas penyusunan UU Otsus Papua Baru yang tidak partisipatif, dilakukan tanpa melibatkan MRP, DPR Papua, maupun Gubernur Papua.
UU Otsus Papua Baru juga dinilai merugikan Orang Asli Papua, karena mereduksi Otonomi Khusus Papua. “Dalam UU Otsus Papua Baru, kewenangan lebih didominasi banyak oleh pemerintah pusat,” kata Mulait. (*)
Discussion about this post