Manokwari, Jubi – Karena kesulitan mendapatkan bahan bakar minyak atau BBM, warga nelayan di kompleks Borobudur, Kelurahan Padarni, Distrik Manokwari Barat, Kabupaten Manokwari, Papua Barat, hanya bisa pergi melaut sekali dalam sepekan.
“Kami saat ini hanya bisa pergi melaut satu minggu satu kali. Kondisi ini sudah berlangsung sejak beberapa bulan terakhir ini,” kata La Ode Rahimin (42), warga nelayan kompleks Borobudur, Manokwari, Minggu (31/7/2022).
Sebagian besar warga kompleks Borobudur merupakan nelayan tradisional. sejak diterpa musibah kebakaran pada September 2021 silam, kondisi warga belum bisa pulih terutama yang kehilangan harta benda.
La Ode Rahimin, pasca kebakaran, ia terpaksa menyewa sepetak kamar kontrakan tidak jauh dari kompleks Borobudur. Meski kebakaran itu menghanguskan rumahnya, beruntung perahu yang ia gunakan untuk mengais nafkah bagi keluarganya masih bisa digunakan.
“Kendala kami selama beberapa bulan terakhir ini, mendapat bahan bakar minyak BBM paling susah. Di SPBN Sanggeng lebih banyak menerima kendaraan tap ketimbang nelayan sesungguhnya,” ucap Rahimin.
Berbeda dengan Rahimin, La Masi J Baadilah, warga nelayan lain, terpaksa mendirikan gubuk darurat di lokasi bekas rumahnya. Gubuk tersebut selain melindungi keluarga, ia juga merasa dekat dengan pantai, demi menjaga perahu miliknya.
“Biasanya kami pergi melaut, dalam satu minggu dua kali atau tiga kali. Tetapi saat ini BBM susah kita dapati di SPBN, terpaksa kalau kita beli paling di pengencer saja dengan harga BBM Rp11 Ribu, jauh dari harga yang dijual SPBN. Kebutuhan maksimal untuk BBM jenis Pertalite sekitar 150 Liter,” kata Baadilah.
Dia menuturkan soal harga BBM mungkin tidak jadi soal, tetapi kalau BBM untuk nelayan jarang didapati maka terpaksa pihaknya mengurung niat untuk pergi mencari ikan.
“Iya, kehidupan kami hanya bisa melaut, ketika mendapat ikan, baru bisa menghidupi keluarga. Apalagi dengan kondisi saat ini pasca kami diterpa musibah kebakaran kemarin,” ucapnya.
Stasiun pengisian bahan bakar nelayan atau SPBN di Manokwari hanya satu unit yang ditempatkan dekat pasar ikan Sanggeng, Kelurahan Sanggeng.
Area Manager Communication Relation & CSR Pertamina Patra Niaga Subholding Commercial &Trading Regional Papua Maluku, Edi Mangun, mengakui SPBN di Manokwari saat ini tidak bisa mengakomodir nelayan yang ada.
“Waktu kita bertemu dengan Penjabat Gubernur Papua Barat kita sudah sampaikan masalah SPBN,” kata Edi Mangun.
Dia menuturkan Pertamina tidak mempunyai kewenangan untuk mengusulkan penambahan SPBN.
“Yang punya otoritas mengusulkan ya pemerintah daerah atau Dinas Perikanan,” kata Edi.
Edi enggan menyebut berapa kuota BBM subsidi bagi SPBN di Manokwari saat ini. “Kita tidak punya kewenangan mengusulkan kuota dan menambah SPBN. (Soal kuota) Tanya saja sama pemerintah,” ucapnya.
Tambatan Perahu Bagi Warga Nelayan Borobudur
Salah satu persoalan yang selama ini kerap dikhawatirkan warga nelayan di kompleks Borobudur adalah tempat berlabuh perahu. Pasca kebakaran hingga saat ini, kawasan tersebut masih nampak puing-puing bangunan terbakar.
“Kami berterima kasih kepada Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama Papua Barat melalui pak Abu Rumkel yang telah membantu memberikan bantuan sehingga bisa membangun tambatan perahu. Meski baru 200 meter, ini sudah sangat membantu,” ucap La Ode Nasution.
Adanya tambatan perahu ini, para nelayan, terutama ketika pulang dari melaut, mereka bisa menyandarkan perahunya sehingga tidak terombang ambing dipukul gelombang laut.
Sebagai nelayan yang menjadi korban kebakaran, La Ode Nasution bersama keluarganya saat ini masih tinggal di gudang Perikanan, membuat beberapa petak untuk setiap keluarga di gudang tersebut. Gudang Perikanan letaknya tidak jauh dari pantai tempat perahu mereka ditambatkan.
“Saya juga kemarin korban kebakaran. Kami tinggal di gudang Perikanan dengan membuat petak-petak. Tinggal di situ sekiranya dekat untuk melihat perahu kami,” ucapnya.
Beruntung saat ini telah dibangun tambatan perahu yang dibuat melintang sehingga para nelayan dapat mengikat perahu di dekat dengan aman.
“Memang pemerintah kemarin melalui BPBD membangun tambatan perahu, tetapi konstruksinya tidak sesuai, sebab yang dibangun Pemerintah memanjang dari darat ke laut, ini tidak bisa digunakan untuk perahu berlabuh,” ucapnya.
Sebanyak 600 kepala keluarga (KK) yang sebagian besar merupakan warga nelayan pada 30 September 2021 silam mengalami musibah kebakaran. Sebagian mengungsi di bangunan pemerintah seperti gudang Perikanan, gedung Wanita, dan sebagian lagi memilih kos-kosan. Namun nampak beberapa kepala keluarga telah membangun gubuk darurat di lokasi bekas kebakaran. (*)
Discussion about this post