Jayapura, Jubi – Kepolisian Daerah Papua diminta mengusut tuntas dan memberikan hukuman kepada anggota polisi dari Kepolisian Resor Nabire yang diduga melakukan kekerasan terhadap wartawan di Nabire. Tindakan polisi itu dinilai merupakan suatu pelanggaran terhadap kemerdekaan pers.
Hal itu disampaikan Pelaksana Tugas Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI Papua Tengah, Lambert Palaklely, pada Sabtu (6/4/2024). “Yang jelas kami meminta Kapolri dan Kapolda Papua mengusut tuntas dan segera melakukan langkah hukum terhadap anggota polisi yang sudah menghambat, menghalangi, melakukan kekerasan kepada teman-teman wartawan di Nabire,” ujar Lambert kepada Jubi melalui layanan pesan whatsApp, pada Sabtu.
Pada Jumat (5/4/2023) pagi, empat jurnalis di Nabire, Provinsi Papua Tengah mengalami tindak pelarangan meliput oleh anggota Kepolisian Resor Nabire. Mereka dibentak, dikejar, bahkan ada HP (Hand Phone) mereka yang disita, dan juga ada yang kepalanya yang mengenakan helm dipukul.
Mereka diperlakukan kasar oleh aparat keamanan itu saat meliput aksi demo yang digelar Front Rakyat Peduli Hak Asasi Manusia Papua (FRPHAMP) di Nabire menyikapi kasus penganiayaan terhadap warga sipil di Puncak oleh oknum TNI yang videonya viral belum lama ini. Keempat jurnalis itu adalah Elias Douw (wagadei.id), Kristianus Degey (seputarpapua.com), Yulianus Degei (Tribun-Papua.com), dan Melkianus Dogopia (tadahnews.com).
Kepala Kepolisian Resor Nabire Kompol Wahyudi Satriyo Bintoro, pada Jumat (5/4/2024) sudah menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas peristiwa tidak menyenangkan yang menimpa wartawan di Nabire saat meliput aksi demonstrasi tersebut.
Lambert mengatakan pihaknya sangat menyesali tindakan kekerasan yang diduga dilakukan anggota polisi terhadap para jurnalis yang meliput demonstrasi di Nabire itu. Lambert mengatakan jurnalis dalam melaksanakan tugasnya di lapangan dilindungi Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
“Dan undang-undang pers berlaku secara nasional bukan hanya untuk pers itu sendiri. Dengan begitu, semua pihak, termasuk petugas kepolisian juga harus menghormati ketentuan-ketentuan dalam UU Pers. Jadi apabila rekan-rekan jurnalis meliput demo dan sudah menunjukan identitas dirinya dan melakukan tugas sesuai kode etik jurnalistik maka seharusnya mereka dijamin dan dilindungi secara hukum. Kalau mereka melapor ke saya sendiri belum. Tapi saya mengikuti kejadian di Nabire melalui pemberitaan rekan-rekan media di Nabire,” katanya.
Jurnalis berhak dapat perlindungan hukum
Ketua Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Jayapura, Lucky Ireeuw mengatakan tindakan para anggota polisi mengusir serta dugaan mengintimidasi secara verbal merupakan tindakan merusak citra demokrasi Indonesia. Ireeuw mengatakan jurnalis memiliki hak dan mendapatkan perlindungan hukum dalam hal sedang menjalankan fungsi, hak, kewajiban dan perannya yang dijamin Pasal 8 UU Pers.
“Secara khusus pada perlindungan dan jaminan ruang aman untuk jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Perlindungan hukum itu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat,” kata Ireeuw dalam keterangan tertulisnya, pada Sabtu.
Ireeuw mengatakan AJI Jayapura mendorong semua pihak menghormati dan memberikan perlindungan hukum terhadap jurnalis yang melaksanakan tugas profesinya berdasarkan ketentuan perundang-undangan. AJI Jayapura juga mendesak semua pihak termasuk aparat keamanan berhenti menghalang-halangi dan membatasi kerja jurnalis yang berujung menghambat hak publik untuk mendapat informasi.
“AJI Jayapura juga mendesak semua pihak termasuk aparat keamanan berhenti menghalang-halangi dan membatasi kerja jurnalis yang berujung menghambat hak publik untuk mendapat informasi,” ujarnya.
Lapor ke Dewan Pers
Content Manager Tribun-Papua.com, Choiruman mengatakan telah berkoordinasi dengan manajemen di Jakarta untuk mengambil langkah-langkah hukum, termasuk melaporkan peristiwa tersebut ke Dewan Pers. Choiruman mengutuk keras perbuatan keji dan tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian kepada para jurnalis yang satu di antaranya jurnalis Tribun-Papua.com, Yulianus Degei yang melakukan kegiatan jurnalistik di Nabire.
“Diharapkan polisi atau petugas keamanan yang mengawal aksi unjuk rasa semakin profesional dalam melaksanakan tugas,” ujar Choiruman kepada Jubi melalui layanan pesan whatsApp.
Choiruman mengatakan sebagai petugas keamanan sekaligus aparat penegak hukum tidak sepatutnya melakukan tindakan-tindakan keras terhadap para jurnalis yang sedang melakukan tugas mereka. Jika alasan petugas kepolisian untuk menjaga keamanan dan keselamatan para jurnalis, tentu bisa dengan cara memberitahu secara baik-baik.
“Bukan dengan cara-cara represif dan jauh dari rasa kemanusiaan. Tindakan represif itu harus diproses hingga ke pengadilan. Setidaknya, hal itu menjadi pelajaran bagi anggota-anggota polisi yang selalu mengedepankan sikap represif dalam menghadapi aksi di lapangan agar lebih bijaksana, lebih berpendidikan dan taat SOP dengan tetap mengedepankan rasa kemanusiaan dan saling menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai profesi,” katanya.
Pemimpin redaksi wagadei.id, Abeth You mengatakan para jurnalis yang mengalami kekerasan telah melakukan pertemuan dengan Kepala Kepolisian Resor Nabire. Namun, ia mengatakan akan melaporkan kasus ini kepada Dewan Pers.
“Tadi [Jumat] malam Kapolres Nabire panggil kami,” ujarnya.
You mengatakan dalam pertemuan itu telah berdamai dengan pihak Kepolisian Resor Nabire. You menyarankan agar pihak Polres Nabire perlu berkegiatan bersama jurnalis untuk lebih saling mengenal.
“Melalui pertimbangan yang panjang, maka saya meminta Elias Douw wartawan wagadei yang jadi korban kemarin untuk damai saja dengan polisi. Saya mau lihat apakah dengan perdamaian kami ini polisi masih mau batasi kami liput terutama dalam aksi demonstrasi atau diberikan leluasa. Jadi ini sekaligus diketahui oleh publik, hal ini kami lakukan untuk melihat tindakan anggota kepolisian di Nabire apakah benar-benar mereka tidak halangan kami atau seperti apa,” katanya.
Ketua LBH Pers Tanah Papua, Simon Pattiradjawane meminta agar agar keempat jurnalis tersebut melaporkan kasus itu ke Propam Polres Nabire. Simon mengatakan setidaknya sejak 2000 hingga 2024 terdapat 15 kasus yang menimpa jurnalis di Tanah Papua.
“Dengan empat kasus baru ini merupakan yang paling tinggi di tahun ini.Tindakan memaki dan intimidasi serta pengambilan alat-alat kerja sangat bertentangan dengan undang-undang pers dan merupakan perbuatan melanggar hukum,” ujarnya.
Simon mengatakan berbagai bentuk kekerasan yang dialami jurnalis di Tanah Papua, yaitu kekerasan fisik, perampasan alat kerja, kekerasan psikis, doxxing, teror bom, teror dan perusakan mobil, kekerasan verbal. Ia mengatakan kekerasan maupun intimidasi terhadap jurnalis mencederai kebebasan pers di Indonesia terutama di Papua. (*)
Discussion about this post