Jayapura, Jubi – Memperingati Hari Perempuan Internasional atau HPI, 8 Maret 2024 publik diingatkan pada tuntutan keadilan terhadap dua perempuan pengungsi di Yahukimo Provinsi Papua Pegunungan yang telah menjadi korban kekerasan seksual dan pembunuhan pada 11 Oktober 2023 lalu. Kasus itu telah diselidiki oleh pihak kepolisian Yahukimo, tetapi hingga kini belum ada titik terang.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua Emanuel Gobay mengungkapkan hal itu saat menjadi pemantik diskusi yang bertajuk ‘Dua Perempuan Pengungsi Korban Kekerasan Seksual di Yahukimo Menuntut Keadilan’ dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional. Diskusi digelar oleh Solidaritas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Papua atau SAKTPP berkolaborasi dengan BEM USTJ di Aula Kampus USTJ, Abepura, Kota Jayapura, Papua, Kamis (7/3/2024).
Peristiwa kekerasan itu menimpa Ima Selopole (29) dan Aminera Kabak (25), dua orang ibu warga pengungsi di Dekai, Ibu Kota Kabupaten Yahukimo yang terpaksa meninggalkan kampungnya akibat konflik antara TPNPB dengan TNI/Polri di Yahukimo pada 21 Agustus 2023 lalu.
Emanuel Gobay mengatakan hingga saat ini, jelang lima bulan setelah peristiwa, LBH Papua dan SAKTPP masih mendampingi keluarga korban menuntut keadilan. LBH Papua juga terus mendorong upaya-upaya yang dilakukan keluarga korban untuk mendapatkan pemenuhan hak atas keadilan.
Gobay mempertanyakan pihak kepolisian yang belum mengungkap pelaku kekerasan seksual dan pembunuhan tersebut. Padahal kepolisian yang mengevakuasi korban dan telah melakukan olah Tempat Kejadian Perkara atau TKP pada saat itu. Keluarga korban bahkan juga sudah melakukan pengaduan ke Polres Yahukimo.
“Sudah terhitung lima bulan ini sejak peristiwa itu, kami belum mendapat kejelasan pihak kepolisian yang sudah datang ke TKP dan [meng]evakuasi korban meninggal di tempat dan mengawasi korban yang dirawat di rumah sakit sampai di tingkat pemeriksaan,” katanya.
Menurut Gobay pihak kepolisian Yahukimo seharusnya sudah memiliki data yang cukup untuk mengungkap pelaku kekerasan seksual dan pembunuhan itu. Karena mereka yang mengolah TKP, mendapatkan hasil pemeriksaan medis bahkan mendapatkan keterangan dari saksi mata peristiwa kekerasan itu.
“Anak 11 tahun [yang menjadi saksi] itu mengerti dan bisa menjelaskan apa yang terjadi, kecuali umur tiga atau empat tahun. Anak itu sebagai saksi mata yang ikut Mamanya ke kebun, yang lihat mamanya dibunuh dan disiksa. Alat bukti surat sudah ada, ditambah dengan alat bukti jasad korban itu sudah terang, tapi sampai lima bulan ini belum ada kepastian dari Polres Yahukimo,” kata Gobay.
Anike Mohi, salah seorang pembicara dari perwakilan keluarga korban mengisahkan peristiwa yang menimpa keluarganya itu. Menurut Mohi peristiwa itu adalah perbuatan sadis, tidak manusiawi dan merendahkan martabat perempuan Papua. Pihak keluarga masih terus menuntut keadilan supaya pelaku diungkap dan diproses hukum. Keluarga korban, bersama SAKTPP dan LBH Papua juga sudah melakukan pengaduan ke Komnas HAM Papua, Komnas Perempuan, dan pihak kepolisian, tetapi belum ada titik terangnya.
“Sampai detik ini penanganan [lanjutan atas] kasus ini dari pihak berwajib belum ada. Dong anggap kayak binatang yang dibunuh jadi dong buang saja begitu. Memang tidak ada keadilan untuk kami keluarga, tapi secara umum di Papua juga,” kata Anike.
Peristiwa kekerasan lima bulan lalu itu menimpa Mama Ima Selopole dan Aminera Kabak saat hendak mencari nafkah di kebun untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kekerasan seksual dan pembunuhan itu terjadi di dua tempat yang berbeda dalam peristiwa yang sama.
Aminera Kabak diketahui tewas di tempat kejadian dengan tusukan alat tajam di bagian alat kelaminnya. Sedangkan Ima Selopole mengalami hal yang sama namun sempat dilarikan ke rumah sakit dengan sekujur tubuh penuh luka tusukan. Selopele tidak mampu bertahan dan akhirnya meninggal dunia.
Koordinator SAKTPP Anna Bunai mengatakan upaya menuntut keadilan sudah dilakukan, seperti audiensi pada pimpinan DPRP bersama LBH Papua dan keluarga Korban, melaporkan ke Polres Yahukimo, Komnas HAM Papua, namun hingga kini belum ada kepastian mendapatkan keadilan hukum.
Pada kesempatan diskusi di Hari Perempuan Internasional itu, Anna Bunai mengajak semua perempuan Papua agar bersatu melawan kekerasan terhadap perempuan Papua. Menurutnya kasus kekerasan yang menimpa dua orang Mama pengungsi di Yahukimo itu adalah satu dari sekian banyak kekerasan perempuan di Papua, khususnya di daerah konflik.
“Perempuan-perempuan Papua mari kita bersatu. Karena hak-hak perempuan selalu ditampas, hak untuk hidup, perlindungan, hak untuk tidak mendapat kekerasan seksual dan diperkosa, dibunuh. Kekerasan terhadap perempuan tidak boleh terjadi lagi, perempuan harus bersatu melawan kekerasan terhadap perempuan papua,” tegasnya. (*)
Discussion about this post