Jayapura, Jubi- Adalah mendiang Dr Johanes Rudolf Gerzon Djopari, MA mantan dosen Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta dan juga Duta Besar RI di Papua New Guinea sebagai orang Papua pertama yang menulis judul disertasinya di Fisip Universitas Indonesia, ‘Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Disertasi itu kemudian dicetak oleh Percetakan Grasindo di Jakarta pada 1993 dengan judul yang sama Pemberontakan OPM dengan cover depan foto John Hembring pentolan OPM di perbatasan di Papua New Guinea.
Meskipun singkatan tiga huruf “OPM” sudah ditulis oleh Dr John Djopari panggilan akrabnya, namun sebutan nama itu masih tabu. Sejak dulu nama perjuangan kemerdekaan di Papua Barat selalu melekat dengan nama Gerakan Pengacau Liar (GPL), Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) hingga sebutan Kelompok Bersenjata Separatis Teroris (KST).
Tentunya sebutan OPM sudah menjadi trauma yang mendalam bagi orang-orang di tanah Papua. Terutama yang menyangkut dengan operasi-operasi militer melawan separatisme di tanah Papua. Meskipun kini tanah Papua sudah banyak Daerah Otonom Baru justru praktek dan modus operandinya mirip-mirip. Apalagi DOB itu menyimpan sumber daya alam terutama lokasi pendulangan emas setelah era logging berakhir alias kayu Merbau ditebang habis.
Pdt Herman Awom saat masih bersekolah di SMP di Manokwari mengenang bagaimana mereka harus menjadi saksi ketika gurunya menyebut nama Papua. Akibatnya Herman Awom dan kawan-kawan harus diinterogasi dan menjadi saksi di depan aparat keamanan. Ia membayangkan bagaimana gurunya dipukul dan ditendang hanya gara gara menyebut nama Papua kala itu.
Waktu itu gerakan Papua Merdeka masih dipimpin mendiang Ferry Awom dan kawan-kawan yang menyerbu markas militer di Arfai. Penyerbuan itu kemudian dikenang dalam lagu, pada tahun 1965 markas Arfai diserang oleh Batalion Kasuari. “Kami tentara sapu rata, batalion Kasuari, berjanji akan setia sampai Papua Merdeka,”demikian syair lagu tersebut dipopulerkan Group Band Black Brother di era 1980 an di Pasifik.
Nama OPM semakin popular ketika peristiwa penyerangan di Markas Militer Arfai, 1965 waktu itu ada pimpinan OPM Guru Teryanus Aronggear dan juga Ferry Awom. Kedua pentolan OPM ini didukung warga Arfak dibawah koordinasi Lodewijk Mandacan.
“Pemberontakan di bawah pimpinan Ferry Awom dimulai dengan menyerang Pos Militer di Kebar, 26 Juli 1965. Dua hari kemudian asrama Batalion 751 di Arfai diserang pula. Sebelumnya telah beredar pamflet pada 19 April 1965 berisi tuntutan pembentukan Nagara Papua Merdeka. Agaknya pamflet ini berkaitan dengan komando Presiden Sukarno pada hari yang sama,agar Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Komando ini sangat mempengaruhi tokoh tokoh pemberontak OPM, karena Sukarno juga membatalkan rencana pelaksanaan act of free choice di Irian Barat pada 1969, yang sedianya akan diawasi oleh PBB,”demikian dikutip dari buku berjudul Integrasi Politik di Indonesia yang ditulis Prof Dr Nazaruddin Sjamsuddin.
Nama Organisasi Papua Merdeka (OPM) juga ditulis dalam buku Mayjend TNI (Purn) Samsudin berjudul Pergolakan di Perbatasan, Operasi Pembebasan Sandera Tanpa Pertumpahan Darah terbitan Gramedia, 1995 masih memakai nama OPM.
Samsudin menulis ada kelompok Papua Merdeka yang dipimpin Yacob Pray bekas mahasiswa Universitas Cenderawasih dan Zeth Rumkorem lulusan Sekolah Calon Perwira TNI AD di era 1960 an dan juga ada kelompok Marthen Tabu di Kabupaten Keerom yang terlibat dalam penyanderaan di perbatasan.
Kemudian dalam buku berjudul Poisoned Arrows, An investigative journey through the forbidden lands of West Papua, yang ditulis George Monbiot. “Disegel dari dunia luar oleh tentara Indonesia, kawasan ini adalah rumah bagi suku-suku yang telah mengembangkan budaya unik dan luar biasa, dan kini, bersama dengan lahan hutan mereka, dilenyapkan secara sistematis.
Monbiot mengungkap sebuah cerita yang belum pernah didokumentasikan dengan baik sebelumnya. Ini adalah salah satu karya klasik penulisan perjalanan investigative.
Dalam buku ini Monbiot menulis susunan operasi militer pimpinan Zeth Rumkorem dalam menyusun Komando Daerah Militer Papua (Kodap) dan juga latihan militer serta bergerilya sesuai dengan kondisi medan tempur di hutan-hutan tanah Papua.
Selanjutnya dalam buku berjudul Sandera, 130 Hari Terperangkap di Mapunduma yang ditulis Adinda Arimbi Saraswati di mana Jenderal Prabowo Subiyanto masih menjadi Komandan Kopasus juga memakai nama Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)-Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang disingkat dalam penulisan buku itu, GPK-OPM.
Kini Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang memutuskan untuk mengembalikan istilah OPM. Pasalnya kata Panglima TNI,mereka sendiri yang menamakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sama dengan OPM,” kepada wartawan di Jakarta Pusat, Rabu (10/4/2024).
Agus mengatakan OPM telah melakukan teror dalam berbagai bentuk, mulai dari pembunuhan hingga pemerkosaan. Sehingga, kata dia, tentu hal ini harus ditindak tegas.
“Masa harus kita diamkan (kejadian) seperti itu dan dia kombatan membawa senjata. Saya akan tindak tegas untuk apa yang dilakukan oleh OPM,” kata Agus sebagaimana dilansir dari https://www.inilah.com
Sementara itu, Polri masih menggunakan istilah KKB. Kasatgas Humas Operasi Damai Cartenz AKBP Bayu Suseno mengatakan, belum ada arahan untuk mengubah istilah KKB kembali ke OPM.
Terlepas dari pro dan kontra apalah arti sebuah nama jika nama itu melahirkan trauma-trauma yang mendalam. Pasalnya ketika konflik itu terjadi jelas memakan banyak korban jiwa terutama anak anak,kaum perempuan dan orang tua serta pengungsian. Perang dan konflik akan merugikan semua pihak baik yang pro maupun yang kontra,sama sama jadi korban.(*)
Discussion about this post