Jayapura, Jubi – Tujuh tahun sudah umur perjuangan 8.300 buruh PT Freeport Indonesia atau PTFI yang melakukan mogok kerja sejak 1 Mei 2017 melawan kebijakan sepihak perusahaan yang merumahkan mereka. Pelanggaran dan pembiaran yang dilakukan PTFI dan Pemerintah Indonesia telah menyebabkan kematian, sakit berkepanjangan dan kerugian fisik maupun psikis yang dialami ribuan buruh tersebut.
Untuk tetap mengingat peristiwa tersebut alias melawan lupa, BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura bersama LBH Papua menggelar kegiatan Nonton Bareng dan Diskusi dengan tema Melawan Lupa Tujuh Tahun Perjuangan Buruh PTFI, di ruang ajar Fakultas Teknik Industri dan Kebumian, Jl Sosial Padang Bulan, Hedam, Abepura, Kota Jayapura, Papua, Minggu (28/4/2024).
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, mengingatkan awal perihal kasus pemogokan tersebut di hadapan para mahasiswa yang hadir. Dia mengatakan pemogokan buruh-buruh PTFI dilatarbelakangi oleh adanya tarik ulur antara Pemerintah Republik Indonesia dan Manajemen PT. Freeport Indonesia, dalam membahas saham yang pada waktu itu sedang memasuki tahapan pembahasan kontrak karya ketiga.
“Ketika Manajemen PT Freeport keras dan Pemerintah Indonesia juga melakukan hal yang sama, salah satu hal yang dilakukan Manajemen PT Freeport untuk menurunkan kerasnya Pemerintah Indonesia itu dengan cara melakukan Furlough atau merumahkan karyawan,” kata Gobay.
Gobay menjelaskan bagaimana kebijakan furlough itu telah melanggar UU Ketenagakerjaan No 13/2003 yang berlaku pada waktu itu, melanggar Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara buruh dan PTFI dengan menggantungkan nasib buruh untuk menekan Pemerintah Indonesia.
“Sementara Kebijakan Furlough itu tidak ada dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, juga tidak ada di dalam Perjanjian Kerja Bersama antara PT Freeport dan buruh. Ini murni kebijakan penyelundupan hukum ketenagakerjaan, yang dilakukan oleh Manajemen PT Freeport terhadap buruhnya, dengan tujuan untuk menekan pemerintah pusat yang ingin mendapatkan 61 persen saham, juga melakukan penyusutan wilayah areal tambang PT Freeport,” ujarnya.
Pihak manajemen tak hiraukan surat permohonan perundingan yang diajukan oleh serikat buruh, “tidak dianggap oleh manajemen PT Freeport,” ujar Gobay.
Pemerintah Indonesia kini sudah mendapatkan 51 persen saham dan juga penyusutan wilayah konsesi yang tak lagi mencakup areal proyek Blok Wabu. Namun, lanjut Gobay yang menjadi persoalan pemerintah tidak melakukan kewajibannya untuk melindungi buruh.
“Pemerintah sudah melanggar Undang-undang Nomor 13 tahun 2003, mereka punya kewajiban melindungi buruh, menyediakan lapangan pekerjaan, serta memastikan upah buruh dipenuhi,” ujarnya.
Praktis sejak 1 Juni 2017, upah buruh-buruh PTFI yang mogok kerja tersebut dicabut. Pihak buruh dan LBH Papua telah melaporkan kepada Komnas HAM RI adanya 71 buruh yang meninggal dunia sepanjang tujuh tahun perjuangan itu akibat tidak mampu membayar biaya rumah sakit.
Selain pencabutan upah secara sepihak, Manajemen PT Freeport juga mencabut status kepesertaan BPJS 8.300 buruh yang mogok kerja, lanjutnya.
Komnas HAM Republik Indonesia pun menurut Gobay juga sudah dua kali menyurati presiden, pada tahun 2017 dan 2018, untuk segera menyelesaikan persoalan 8300 buruh PT Freeport. Namun sampai saat ini pemerintah masih mengabaikannya.
Sebanyak 8.300 buruh yang menuntut hak tersebut bukan sekadar angka. Ada keluarga yang dilanda krisis ekonomi, anak-anak yang terpaksa harus putus sekolah karena orang tua mereka tidak mampu membayar pendidikan, dan beberapa keluarga yang terancam cerai akibat ekonomi yang tidak stabil.
“Pemerintah melakukan pembiaran, sengaja melanggar Pasal 28i ayat 4 UUD 1945, mengenai penghormatan, perlindungan, pemenuhan, serta kemajuan HAM, yang adalah tugas negara melalui pemerintah,” ujarnya.
Manajemen PT Freeport juga telah melanggar Pasal 145 UUK 13/2003 tentang pemenuhan hak-hak buruh yang sedang mogok, “serta melanggar Pasal 144 untuk tidak melakukan perekrutan tenaga kerja baru, pada jabatan atau posisi dimana buruh yang sedang mogok itu bekerja,” lanjut Gobay.
Sementara Manajemen PT Freeport gencar melakukan promosi terkait menerima karyawan baru, yang berkonsekuensi terhadap hilangnya posisi kerja para buruh di dalam perusahaan.
“Saya menyimpulkan pemerintah dan manajemen sama-sama baku tahu tapi kemudian membiarkannya sehingga terjadi kejahatan kemanusiaan [dalam hal ini] terhadap buruh,” katanya.
Gobay menegaskan bahwa aksi mogok kerja 8.300 buruh PT Freeport tersebut sudah dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku, dan tidak melanggar hukum manapun.
Ia menyesalkan organisasi dan serikat-serikat buruh, termasuk Organisasi Buruh Internasional atau ILO, yang tidak sungguh-sungguh bersolidaritas dan membantu perjuangan para buruh tersebut.
Pesan untuk para mahasiswa
Antonius Awombdan Lukas Rumpaidus, mewakili 8.300 buruh mogok PTFI hadir menjadi narasumber pada diskusi tersebut.
Antonius Awom mengingatkan apa yang mereka perjuangkan itu bukan hanya perjuangan mereka sendiri, tapi perjuangan parah buruh lainnya di negara ini.
“Adik-adik mahasiswa setelah lulus pasti akan terjun ke dunia kerja, dan sebagian dari adik-adik ini pasti ada yang akan bergabung ke PT Freeport Indonesia, Apa yang kami alami pasti juga akan dialami adik-adik nantinya,” kata Awom.
“Untuk masuk dunia kerja adik-adik mahasiswa juga harus punya bekal ilmu, mengenal hak-hak yang akan adik peroleh setelah bergabung di suatu perusahaan, dan harus ada kesepakatan awal antara pihak perusahaan dan adik-adik sebagai calon karyawan,” ujarnya.
Sementara Lukas Rumpaidus saat merespon film dokumenter yang berjudul Alkinemokiye -From Stuggle Dawns New Hope, merasa sangat sedih dengan apa yang dilihat dan diingatnya kembali tentang perjuangan ia dan karyawan buruh lainnya.
“Beberapa dari kami sudah meninggal karena sakit, ada beberapa yang tertekan dan mengakhiri nyawa mereka dengan cara bunuh diri, juga pada saat situasi demo besar-besaran anggota [aparat keamanan] menembakan peluru ke kami dan beberapa teman-teman kami harus meregang nyawa,” kata Rumpaidus.(*)
Discussion about this post