Jayapura, Jubi – Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua, Emanuel Gobay meminta DPR Papua harus segera merealisasikan janji untuk membentuk panitia khusus guna menyelesaikan masalah mogok kerja buruh PT. Freeport.
Menurut Gobay, pembentukan panitia khusus telah dijanjikan oleh ketua DPR Papua, Jhony Banua sejak 2020. Melalui pansus ini kemudian bisa memfasilitasi antara manajemen PT. Freeport dan buruh yang melakukan mogok kerja. Agar kedua belah pihak bisa berunding menyelesaikan persoalan.
“Kami minta dengan tegas kepada ketua DPR Papua untuk merealisasikan Pansus yang dijanjikan untuk menyelesaikan persoalan buruh mogok kerja PT. Freeport ini,” ujarnya.
Lewat Pansus yang menengahi masalah itu, diharap akan menyelesaikan persoalan. Maka dengan itu tentu akan menyelamatkan hak asasi dari puluhan ribu keluarga buruh yang sedang mogok kerja.
“Selama mereka (buruh) mogok kerja sejak 2017 hingga 2022 itu upah dan BPJS mereka sudah tidak dibayarkan 1 Juli 2017 dan itu berdampak pada kehidupan keluarga buruh serta pemenuhan hak kesehatan buruh yang sakit,” katanya.
Padahal Gobay menyatakan pada 2018 Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Papua telah menyatakan, mogok kerja 8.300 buruh itu sah. Akan tetapi sejak 2017 pihak manajemen PT. Freeport tidak pernah memberikan jawaban yang tegas. Padahal.
“Selanjutnya pada perkembangan Gubernur Lukas Enembe juga mengeluarkan surat yang menegaskan, mogok kerja (buruh PT. Freeport) itu sah dan memerintahkan pihak PT. Freeport mempekerjakan para buruhnya,” kata Gobay kepada Jubi melalui pesan whatsapp, pada Senin (8/8/2022).
Gobay menjelaskan bahwa PT. Freeport memberhentikan puluhan ribu buruh, dengan menggunakan alasan yang secara hukum tidak sesuai dengan fakta yang dialami buruh mogok kerja. Manajemen PT. Freeport memakai alibi, buruh di PHK karena mangkir kerja.
Menurut Gobay alasan mangkir ini sengaja dibuat oleh PT. Freeport. Ini menunjukan perusahaan tidak mau mengakui bahwa perjuangan mogok kerja 8.300 buruh itu sah. Alasan itu juga secara tegas menunjukkan bahwa PT. Freeport tidak menjalankan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang di dalamnya menjamin hak mogok kerja. Freeport juga tidak menghargai hak-hak dari pada buruh yang melakukan mogok kerja.
“Nah, berkaitan dengan mogok kerja buruh dan penyelesaiannya sangat mudah dan semestinya sudah bisa diselesaikan sejak lama. Karena mogok kerja penyelesaiannya sederhana, bagaimana caranya agar buruh mogok kerja ini berunding dengan perusahaan. Sederhana itu tapi PT. Freeport dari 2017 sampai 2022 tidak mau berunding,” ujarnya.
Gobay menyatakan malah PT. Freeport kembali membuka penerimaan karyawan itu sama halnya dengan pihak perusahaan sedang menutupi kasus mogok kerja yang dilakukan oleh 8.300 buruh. Menurut Gobay melalui penerimaan itu menunjukkan ke publik, PT. Freeport ingin menutupi masalah yang sedang terjadi di perusahan itu.
“Serta tidak memiliki visi dan misi kemudian untuk melindungi baik itu buruh maupun keluarga tergantung kehidupan dari kerja buruh tersebut,” katanya.
Gobay menyatakan apabila DPR Papua tidak bisa menyelesaikan masalah ini setidaknya Presiden Republik Indonesia, Jokowi dapat memerintahkan Menteri Ketenagakerjaan memfasilitasi perundingan antara PT. Freeport dengan buruh mogok kerja.
“Kami minta secara tegas kepada presiden Jokowi yang sudah menerima surat rekomendasi dari KOMNAS HAM RI pada 2017 dan 2018 menindaklanjuti rekomendasi tersebut dengan cara memerintahkan menteri ketenagakerjaan untuk menyelesaikan masalah ini,” ujarnya. (*)
Discussion about this post