Jayapura, Jubi – Aktivis lingkungan menilai pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan semakin mengabaikan hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua. Pemerintah diminta mengedepan dialog dengan masyarakat adat dalam rencana pembangunan di Tanah Papua.
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante mengaku pesimis dengan pemerintahan Prabowo – Gibran yang memiliki 53 menteri/kepala lembaga dan 56 wakil menteri. Ia ragu pemerintahan Prabowo – Gibran akan memikirkan kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat adat di Tanah Papua.
Franky mengatakan Kabinet Merah Putih menjadi kabinet yang gemuk karena politik balas budi Prabowo kepada para pendukungnya. “Bagaimana jabatan itu dibagi-bagi ke seluruh partai politik Koalisi Indonesia Maju maupun pendukungnya, demi kepentingan oligarki maupun para investor. Kalau lihat dari komposisi menteri, saya pikir bukan tugas yang menjadi fokusnya, tapi kepentingan politik,” ujar Franky pada Selasa (30/10/2024).
Franky juga mengatakan susunan kabinet tersebut diisi oleh menteri yang memiliki rekam jejak yang tidak baik, dan ia khawatir hal itu menimbulkan masalah baru. Franky mencontohkan Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan yang pada zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menteri Menteri Kehutanan menerbitkan banyak izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.
“Orang-orang yang terlibat dalam kabinet itu bukan [orang] baru. Kementerian Pangan yang nanti terlibat mengorganisasikan, mengoordinasikan, dan menyelenggarakan program pangan di Papua [dipimpin] Zulkifli Hasan. Kita tahu track recordnya pada zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai Menteri Kehutanan, beliau memberikan izin pelepasan kawasan hutan untuk usaha perkebunan kelapa sawit dalam skala luas,” kata Franky.
Franky mengatakan track record para menteri dan paradigma pembangunan mereka tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat adat di Tanah Papua. Menurutnya, kabinet Prabowo – Gibran terlihat mewarisi model pemerintahan Jokowi yang cenderung otoritarian dan mengabaikan permasalahan HAM, termasuk hak masyarakat adat.
“Saya kurang yakin bahwa mereka ini dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat adat di Tanah Papua. [Mereka] justru akan menimbulkan masalah baru,” ujarnya.
Franky mengatakan pemerintah harus konsisten dengan pembangunan yang berdasarkan prinsip Hak Asasi Manusia. Pemerintah juga harus mempertimbangkan dan menerapkan prinsip pembangunan yang berkelanjutan di Tanah Papua. Pembangunan di Tanah Papua harus melakukan penilaian terhadap tempat yang berpotensi mempunyai nilai konservasi tinggi untuk bisa dilindungi.
“Jadi tidak harus dengan cara brutal menghancurkan tempat-tempat yang misalnya kawasan hutan dan lahan gambut yang bernilai konservasi tinggi,” katanya.
Pelibatan pada tahap perencanaan
Menurut Franky, jika pemerintah merencanakan pembangunan, seharusnya pemerintah terlebih dahulu melakukan konsultasi dan meminta persetujuan yang luas dari masyarakat adat. Ia menekankan konsultasi itu harus yang dilakukan secara bebas, bukan dengan cara-cara paksa agar masyarakat adat menerima proyek pembangunan yang berdampak buruk kepada penghidupan mereka.
“Jadi, tidak dengan cara brutal. Apa pun rencana pemerintah di Tanah Papua, itu [harus] tetap menghormati dan melindungi hak asasi manusia dan upaya pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.
Direktur Walhi Papua, Maikel Peuki mengatakan pemerintahan Prabowo – Gibran tidak menghormati hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua. Pengabaian hak masyarakat adat sudah terjadi melalui pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) lumbung pangan dengan mencetak sawah 1 juta hektare, dan rencana program transmigrasi.
Peuki mengatakan masyarakat adat di Papua selalu tidak dilibatkan dalam perencanaan pembangunan. “Ini [dalam proses perencanaan pembangunan], jarang sekarang sekali masyarakat terlibat dalam proses. [Cara seperti] itu tidak menghormati hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua,” kata Peuki kepada Jubi melalui pesan WhatsApp pada Selasa.
Peuki menilai PSN dijalankan pemerintahan hanya untuk mengeruk sumber daya alam Tanah Papua. Peuki mengatakan semakin lama masyarakat adat semakin tersingkir dari tanahnya, karena semua proses perencanaan pembangunan tidak dilakukan sesuai alur dan tanpa sosialisasi dengan masyarakat adat.
Peuki juga menilai pemerintahan Prabowo – Gibran lebih mengutamakan politik balas budi, dan hal itu sangat berbahaya karena tidak akan memikirkan kesejahteraan masyarakat. Ia mengatakan hal itu akan menjadi preseden buruk bagi pemerintahan Prabowo – Gibran.
“[Pemerintahan Prabowo – Gibran], saya pikir [itu] politik balas budi, dan tentu ada kepentingan di balik itu. Kepentingan mereka ambil kayu, dan tidak berfokus [kepada upaya] peningkatan [kedaulatan] pangan di Papua. Lumbung pangan dengan lahan yang begitu luas, hutan dibabat, kayu diambil, bagaimana dengan nasib Orang Asli Papua? Belajar dari pengalaman di Kalimantan, tidak ada masyarakat yang mapan/sejahtera [karena PSN pangan]. Proyek pangan di Papua dijalankan untuk kepentingan mengambil sumber daya alam dan tanah [masyarakat adat] bisa [diambil alih] jadi milik negara, dan dikonversikan jadi hal lain. Itu sangat berbahaya bagi masyarakat adat Papua,” ujarnya.
Tinjau ulang semua izin
Peuki mengatakan pemerintah provinsi/kabupaten/kota dan pemerintah pusat harus meninjau ulang berbagai izin yang telah dikeluarkan, baik itu izin untuk investasi perkebunan sawit, tambang, hingga pengusahaan kayu di Tanah Papua. Menurut Peuki, evaluasi perizinan penting dilakukan guna melihat sejauh mana dampak kehadiran investasi tersebut.
“Review izin di Tanah Papua, lihat manfaat dari investasi tersebut terhadap masyarakat adat di Tanah Papua. Kenapa harus ada investasi, kalau tidak ada peningkatan kesejahteraan, pendidikan, kesehatan yang baik bagi orang Papua? Lingkungan kita yang sudah rusak, tapi orang Papua terus hidup miskin. Masyarakat Papua itu masih terikat dan bergantung hidup [dari alam],” katanya.
Ketua LBH Papua Pos Merauke, Teddy Wakum juga menyatakan pemerintahan Prabowo -Gibran akan mengabaikan hak masyarakat adat. Wakum mengatakan hal itu terlihat jelas dalam pelaksanaan PSN sawah 1 juta hektare di Merauke.
Wakum mengatakan PSN itu tidak menghormati hak masyarakat adat di Papua. “Fakta hari ini, kita melihat bahwa dengan hadirnya PSN Sawah 1 juta hektare itu, jelas-jelas ada pembongkaran hutan dan penyerobotan. Kita tahu bahwa [PSN] cetak sawah itu di bawah Kementerian Pertahanan, menteri pada saat itu Prabowo, dan hari ini [dia] merupakan Presiden,” ujar Wakum kepada Jubi, pada Rabu (30/10/2024).
Wakum menilai proyek itu tidak memberikan manfaat dan merampas hak masyarakat adat. Wakum mengatakan penanaman modal ataupun proyek oleh pemerintah seharusnya mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat.
“Masyarakat yang adat di wilayah Ilwayab, yaitu marga Kahol, Ndiken, Gebze, Balagaize, Moyuwend dan Basik-Basik, tanah adat mereka sudah dibongkar PT Jhonlin Group. Ada militer yang digunakan untuk mengerjakan itu. [Pada tahap] awal saja sudah melanggar hak masyarakat adat,” katanya.
Wakum mengatakan penggunaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apa pun, termasuk untuk pembangunan, harus dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan. Hal itu penting untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.
Wakum menegaskan penghormatan dan pengakuan hak masyarakat adat telah diatur Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua). “Fakta hari ini, tidak ada perlindungan bagi masyarakat adat. Hari ini, hak masyarakat adat sudah terlanggar,” ujarnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!