Jayapura, Jubi – Sebanyak 3.387 warga sipil Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya masih berada di pengungsian sejak 2021. Pemerintah daerah diminta menjamin keamanan pemulangan pengungsi ke kampungnya.
Demikian disampaikan Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah pada Selasa (9/4/2024). “Situasi yang saya sampaikan berdasarkan pemantauan pada Juli 2023. Kondisi terkininya belum ter-update karena Komnas HAM belum melakukan pemantauan lagi,” kata Anis kepada Jubi melalui pesan WhatsApp.
Ribuan warga Kabupaten Maybrat itu mengungsi ke sejumlah wilayah untuk menghindari eskalasi konflik bersenjata pasca penyerangan Pos Koramil Persiapan Kisor di Kabupaten Maybrat oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) pada 2 September 2021. Laporan Komnas HAM mencatat pengungsi berasal dari distrik di Aifat Timur Raya, yaitu Aifat Timur Jauh, Aifat Timur 32 Tengah, Aifat Timur Selatan, dan Aifat Timur, Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Daya.
Anis mengatakan ribuan warga Kabupaten Maybrat itu mengungsi ke Kabupaten Sorong, Sorong Selatan, dan sejumlah kampung di Kabupaten Maybrat. Anis mengatakan kondisi mereka sangat memprihatinkan karena tidak bisa bekerja, anak-anaknya tidak bisa sekolah, dan akses kesehatan yang minim. Tercatat 138 orang juga meninggal di tempat pengungsian sejak 2021.
“Tersebar di beberapa kabupaten ini. Kondisinya sangat memprihatinkan. Rata-rata mereka tidak bekerja, sebagian bisa sekolah dan sebagian belum. Kondisi kesehatan menurun karena berada di pengungsi dengan layanan hak dasar yang seadanya, karena di wilayah pengungsi potensi menjadi sakit itu juga makin tinggi,” ujarnya.
Anis mengatakan pemantauan Komnas HAM juga menemukan kantor desa, sekolah dasar, dan kantor kecamatan di Kisor, Aifat Timur, Aifat Selatan dijadikan pos TNI/Polri. Sedangkan sebagian rumah warga yang ditinggal mengungsi telah rusak.
Menurut Anis hasil pemantauan telah dilaporkan kepada Kementerian Dalam Negeri. Komnas HAM juga telah menyampaikan kondisi pengungsi Papua dalam pandangan tentang situasi pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya di sesi ke-75 sidang PBB di Jenewa pada 20-21 Februari 2024.
“Mendagri menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM dengan melakukan rapat koordinasi dengan gubernur dan beberapa bupati di mana wilayah-wilayah pengungsi itu berada. Pemulungan ke wilayah mereka berasal dengan adanya jaminan keamanan, termasuk juga perbaikan rumah-rumah mereka akibat konflik Kisor pada saat itu,” katanya.
Tak ada perhatian pemerintah
Pengungsi Maybrat di Sorong, Lamberti Faan mengaku tidak ada perhatian dari pemerintah daerah terhadap mereka yang mengungsi di Sorong. Ia berharap dari bantuan dana desa dan bantuan pihak lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Faan dan keluarganya saat ini tinggal di hunian sementara yang dibangun di lahan keluarganya. Faan mengungsi dari Kampung Faan Kahrio, Kabupaten Maybrat.
“Yang mengungsi ke Sorong ada yang di keluarga, ada yang kos, jadi tinggal tidak di satu tempat saja. Yang mengungsi ke Sorong itu tidak ada perhatian dari pemerintah, jadi kita lebih berharap pada dana kampung untuk pakai bayar rumah yang ditinggal masyarakat. Dana kampung itu juga dikelola untuk kebutuhan sehari-hari makan-minum segala macam,” kata Faan saat ditemui Jubi di Sorong, Januari 2024.
Faan mengatakan anak-anak pengungsi sempat diterima untuk sekolah gratis oleh yayasan Katolik di Aifat Timur. Namun awal 2023, yayasan tidak melanjutkan lagi sekolah gratis karena terkendala biaya untuk membayar guru dan fasilitas penunjang sekolah.
Faan juga mengatakan ketika sakit harus mengeluarkan biaya sendiri. Ia mengaku ada anak-anak yang mengungsi meninggal karena makan dan minum tidak teratur dan terbatas. Saat ini, katanya, berbagai pihak melakukan pendampingan di pengungsian, seperti Komunitas Avaa, Iwatali, dan SKPKC OSA.
“Biaya transportasi yang lebih mahal daripada berobat. Jadi masing-masing berupaya sendiri. Ada beberapa yang sakit parah hingga meninggal, terutama anak-anak, termasuk salah satu saya punya keponakan di kampung. Itu sakit di tempat pengungsian pergi berobat tapi meninggal dunia karena gizi buruk,” ujarnya.
Faan mengatakan saat kembali melihat kampungnya di Aifat Timur Jauh harus melalui lima pos penjagaan yang dijaga ketat TNI/Polri. Pos yang dilalui itu berada di Kampung Kisor, Kampung Tahsimara, Kampung Kahrio, Kampung Kamat, dan Kampung Ayata.
Faan mengaku setiap warga harus menunjukkan dokumen data diri untuk diperiksa dan memberitahu tujuan mereka. TNI/polisi memakai fasilitas umum untuk pos mereka.
“Di Ayata ini TNI dan Brimob mereka menggunakan sekolah, sama dengan di Kampung Faan, Kampung Kamat ada pakai gedung sekolah yang dijadikan pos. Kalau di Tahsimara mereka menggunakan Balai Kampung untuk dijadikan pos militer. Kalau di saya kampung, mereka menggunakan sekolah dan saya punya rumah juga dijadikan pos militer,” katanya.
Faan mengaku saat mengunjungi kembali kampungnya pihak aparat keamanan membatasi aktivitas warga. “Masyarakat sekarang di kampung tidak bisa jauh pergi berburu, jadi kita tidak sebebas dulu lagi yang harus pergi berburu ke hutan. Aktivitasnya di sekitaran kampung saja. Kemarin saya di kampung mau ambil bambu saja dilarang tidak bisa jauh masuk ke hutan, padahal mau buat nasi bambu,” ujarnya.
Faan mengatakan Pemerintah Kabupaten Maybrat tidak serius menangani kepulangan warga. Warga hanya diminta pulang tanpa ada jaminan keamanan. Ia berharap pihak yang berkonflik duduk bersama untuk menyelesaikan konflik.
“Mereka lebih banyak mengejar program bahwa dorang sudah kasih pulang pengungsi, tetapi selanjutnya pengungsi tidak diurus dengan baik, hak-hak dasar seperti kesehatan dan pendidikan tidak jalan. Seperti kita di wilayah Aifat Timur sama sekali belum, jadi anak-anak dititip ke sekolah lain. Terus situasi ini bertahan hingga kapan? Baru bicara keluar Maybrat sudah baik-baik, aman,” katanya. (*)
Discussion about this post