Jayapura, Jubi – Pengadilan Negeri Jayapura, pada Selasa (14/3/2023) melanjutkan sidang dugaan makar terdakwa Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat atau KNPB, Viktor Yeimo. Dalam sidang Selasa itu, terdakwa Viktor Yeimo yang diperiksa sebagai terdakwa menyatakan tidak pernah terlibat dalam perencanaan demonstrasi damai anti rasisme Papua pada 19 dan 29 Agutsus 2019.
Kasus dugaan makar yang didakwakan kepada Viktor Yeimo itu terkait dengan demonstrasi anti rasisme Papua untuk memprotes ujaran rasial yang ditujukan kepada mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III Surabaya pada 16 Agustus 2019. Yeimo didakwa makar karena dianggap memotori demonstrasi yang terjadi di Kota Jayapura pada 19 dan 29 Agustus 2019.
Perkara itu terdaftar di Pengadilan Negeri Jayapura dengan nomor perkara 376/Pid.Sus/2021/PN Jap pada 12 Agustus 2021. Sidang itu dipimpin majelis hakim yang diketuai Mathius SH MH bersama hakim anggota Andi Asmuruf SH dan Linn Carol Hamadi SH (majelis hakim yang baru).
Viktor Yeimo menyatakan hanya terlibat demonstrasi anti rasisme pada 19 Agustus 2019. Ia mengaku tidak pernah terlibat dalam proses pertemuan hingga perancangan aksi demonstrasi rasisme 2019.
Viktor Yeimo menyatakan mengetahui akan ada aksi anti rasisme dari selebaran yang dibagikan di dunia maya atau internet yang dikoordinir Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cenderawasih.
Yeimo menyatakan bergabung bersama-sama massa sebagai masyarakat Papua yang martabat dan harga diri sebagai orang Papua direndahkan oleh aksi rasisme di Surabaya. “Saya ikut aksi sebagai rakyat Papua. Tidak membawah organ apa pun,” ujarnya dalam persidangan.
Ia menuturkan pada 19 Agustus 2019 saat itu dirinya bergabung dengan sekitar 300 orang yang berjalan bersama-sama dari Perumnas 3 Waena menuju Lingkaran Abepura di Kota Jayapura. Setelah sampai di Lingkaran Abepura, ia melihat berbagai elemen masyarakat dan aktivis organisasi seperti BEM Universitas Cenderawasih, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) telah berada di sana.
Menurut Yeimo, massa di Lingkaran Abepura saat itu tidak dikomando dengan baik. Atas permintaan dari massa, Yeimo kemudian melakukan orasi, dan mengimbau massa agar tetap melakukan demonstrasi dengan damai.
Ia juga menyampaikan agar massa tetap fokus aksi menuntut pelaku rasisme dihukum berat. Dalam perjalanan, ia juga melakukan orasi di depan kantor Majelis Rakyat Papua di Kotaraja, Kota Jayapura, untuk mengajak MRP bergabung bersama massa.
Viktor Yeimo menyatakan dalam perjalanan massa ke Kantor Gubernur Papua, hampir terjadi kericuhan, lantaran terkesan ada yang sengaja hendak memprovokasi massa. Ia menuturkan ketika massa tiba di daerah Kali Acai, Kotaraja, sempat ada sebuah taksi yang melaju dan ingin menerobos massa. Akan tetapi, situasi saat itu dapat dikendalikan dengan baik.
Viktor Yeimo menyebut pekikan “Papua” lalu dijawab “merdeka” itu diucapkan setiap pihak yang berorasi saat itu. Menurutnya, pekikan itu sudah menjadi semacam slogan di setiap aksi. Ada juga isu soal Hak Asasi Manusia (HAM) hingga perampasan sumber daya disampaikan dalam orasi.
Ia menyatakan aksi rasisme saat itu diikuti baik masyarakat Papua maupun non Papua yang ada di Papua. Yeimo menyatakan massa kemudian sampai di Kantor Gubernur Papua dengan aman dan dikawal pihak kepolisian. Massa lalu disambut Gubernur Papua Lukas Enembe, sejumlah anggota DPR Papua, para tokoh agama, adat, perempuan, bahkan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua.
Yeimo menyatakan ia sempat berorasi di Kantor Gubernur Papua. Dalam orasi itu, ia menyampaikan kekecewaannya atas perlakuan rasisme terhadap masyarakat Papua. Ia menyatakan setiap perwakilan organisasi/lembaga yang berada di Kantor gubernur Papua pada 19 Agustus 2019 diberi kesempatan untuk berorasi, baik dari pihak mahasiswa, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), tokoh agama, adat, perempuan, dan yang lainnya.
Viktor Yeimo menyatakan demonstrasi pada 19 Agustus 2019 itu berjalan damai. Yeimo menyatakan bahkan massa diantar pulang oleh pihak kepolisian. Selain itu, Kapolda Papua saat itu, Irjen Rudolf A Rodja juga menyampaikan ucapan terima kasih karena aksi pada 19 Agustus 2019 itu berjalan dengan aman.
Untuk aksi demo pada 29 Agustus 2019, Viktor Yeimo mengaku hanya mengambil foto dan video. Ia menyatakan saat itu jaringan internet di Papua sedang mati, dan ada sejumlah wartawan di luar Papua menanyakan kondisi terkait demonstrasi di Kota Jayapura.
Ia mengaku setelah mengambil foto dan video hanya di depan Kantor MRP dan Kantor Gubernur Papua, lalu kembali ke Waena. “Saya kembali ke Waena, [karena di] situ ada tempat yang jaringan internet sedikit baik. Foto dan video itu saya kirimkan ke wartawan media nasional,” kata Yeimo dalam sidang Selasa.
Saksi meringankan, Laurenz Kadepa menyatakan bergabung dalam aksi demonstrasi pada 19 Agustus dan 29 Agustus 2019. Kadepa menyatakan ikut memantau perkembangan isu rasisme. Ia mengaku mengetahui aksi dari selebaran yang disebarkan di media sosial.
Kadepa menyatakan pada aksi pertama, ia bersama anggota DPR Papua lainnya ikut bergabung ikut melakukan protes anti rasisme di Surabaya, karena tersinggung dan merasa martabat orang Papua direndahkan. “Kami jalan kaki bersama massa dari Taman Imbi menuju kantor Gubernur Papua,” ujarnya.
Kadepa menyatakan di Kantor Gubernur Papua massa menyerahkan pernyataan sikap kepada Gubernur Papua, Lukas Enembe. Penyerahan pernyataan sikap itu disaksikan sejumlah anggota MRP, DPR Papua, tokoh agama, adat, Kapolda Papua. Kadepa menyatakan pernyataan sikap itu kemudian di bawah Lukas Enembe ke Surabaya.
Kadepa menyatakan dalam aksi pada 29 Agustus 2019, ia ditugaskan Gubernur Papua untuk menerima massa aksi. Kadepa menyatakan Lukas Enembe tidak bisa menemui massa, karena saat itu sedang berada di Jakarta. Kadepa menyatakan ia tidak melihat Viktor Yeimo mengikuti aksi demonstrasi pada 29 Agustus 2019.
Kadepa menyatakan saat itu ia sudah berusaha menahan massa agar tidak ke Kantor Gubernur Papua. Ia menyatakan hendak menerima pernyataan sikap massa di Abepura, Kota Jayapura. Akan tetapi, hal itu ditolak massa, dan mereka melanjutkan perjalanannya hingga ke Kantor Gubernur Papua. Ia menyatakan massa sampai bermalam Kantor Gubernur Papua, dan keesokan harinya baru pulang diantar pihak kepolisian. (*)