Sentani, Jubi – Presiden GIDI, Pdt Dorman Wandikbo, mengatakan proses penegakan hukum terhadap Gubernur nonaktif Papua, Lukas Enembe, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI dinilai telah melampaui batas-batas kemanusiaan dan sangat diskriminatif. Hal ini dilakukan tanpa melihat kondisi kesehatan Lukas Enembe yang sangat buruk.
Dikatakan, penetapan kasus hukum Lukas Enembe terus bertambah dan barubah. Karenanya, GIDI merasa perlu mengeluarkan surat pastoral kepada publik dan lebih khusus kepada KPK RI serta hakim yang mengadili perkara Lukas Enembe.
Seperti diatur dalam UU, KPK memiliki tugas dan wewenang dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun dalam realita penegakan hukum oleh KPK, terdapat perlakuan diskriminatif dalam penanganan kasus Gubernur Nonaktif Papua ini. GIDI menilai ada tersangka kasus lain yang diperlakukan sangat istimewa oleh KPK.
Contohnya, kasus Harun Masiku, mantan calon anggota Legislatif asal PDI-P, tersangka kasus dugaan suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024. Harun Masiku diduga menyuap komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan, senilai Rp600 juta.
“Kasus ini kesannya dengan sengaja dibiarkan berlarut-larut dan kami menilai lembaga anti rasuah melindungi tersangka Harun Masiku. Kasus ini bergulir 3 tahun 7 bulan dan menjadikan Harun Masiku sebagai DPO, tidak mampu memproses hukum yang bersangkutan. Padahal menurut data intelejen kepolisian, yang bersangkutan masih berada di wilayah Republik Indonesia,” kata Pdt Dorman Wandikbo.
Kasus korupsi terkini, penetapan Kabasarnas, Marsekal Madya Henri Alfiandi, dan Koordinator Staf Administras (Koorsmin) Kabasarnas, Letnan Kolonel Art Budi Canyanto, sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa oleh KPK pada Rabu, 25 Jull 2023.
Setelah penetapan tersangka, KPK didatangi oleh Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom), Marsekal Muda TNI Agung Handoko, dan para perwira tinggi TNI. Mereka menilai penetapan tersangka tersebut tidak sesuai prosedur karena mestinya diselesaikan melalui yuridiksi Pengadilan Militer sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1997.
Atas tekanan Perwira Tinggi TNI tersebut, pimpinan KPK secara sepihak dan tanpa berdasarkan ketentuan hukum, telah meminta maaf dan mengaku khilaf atas kesalahan yang dilakukan oleh komisi anti rasuah tersebut.
Kasus korupsi di Basarnas tersebut atas tekanan publik, kini ditangani secara koneksitas oleh Puspom TNI dan KPK. Tidak terlihat independensi KPK dalam menangani kasus korupsi yang nilainya sangat besar.
Dua kasus tersebut cermin diskriminasi dalam penegakan hukum dan sarat penyalahgunaan kekuasaan oleh KPK, dibandingkan penanganan kasus dugaan gratifikasi Gubernur nonaktif Papua yang angkanya di awal penyidikan sebesar Rp 1 miliar, seriring berjalannya proses hukum, berubah-ubah menjadi Rp 34,4 millar, suap Rp10,4 miliar, dan terakhir Lukas Enembe dituduh menerima hadiah Rp45,8 miliar.
“Pertama, angka-angka ini menunjukkan ketidakpastian dalam penegakan hukum. Kedua, penetapan Pak Lukas sebagai tersangka lebih dari satu kali. Pak Lukas awalnya ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana gratifikasi. Dalam perkembangannya, KPK menetapkan Pak Lukas sebagai tersangka lagi dalam kasus suap dan pencucian uang. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Pak Lukas mengenai dugaan tindak pidana yang disangkakan padanya, apakah berkaitan tentang gratifikasi, suap, ataukah pencucian uang,” kata Pdt Dorman Wandikbo.
“Ketiga, penangkapan Pak Lukas melibatkan gabungan aparat TNI dan Polri yang berlebihan. KPK menunjukkan keseriusan yang berlebihan dalam menegakan hukum dengan melibatkan personel Polda Papua dan Kodam XVII Cenderawasih
“Keempat, Pak Lukas selama ditahan menderita penyakit komplikasi, antara lain diabetes, gagal ginjal, stroke, dan jantung yang serius tetapi tidak mendapat perawatan kesehatan yang optimal, baik oleh KPK, Kejaksaan, maupun hakim pemeriksa perkara.”
Berdasarkan realitas penegakan hukum tersebuk, Presiden GIDI mengeluarkan surat pastoral, yang menyatakan keprihatinan dan meminta perhatian majelis hakim pemeriksa perkara, sebagai berikut:
Pertama, memeriksa perkara Gubernur nonaktif Papua, Lukas Enembe, secara independen, komprehensif, dan adil sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan fakta persidangan dengan menghindar dari penyalahgunaan kekuasaan yang sejak awal dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kedua, memberikan hak terdakwa sesuai KUHAP untuk mendapat perawatan kesehatan secara optimal selama proses hukum, termasuk hak untuk mendapat pembantaran penahanan, penangguhan penahanan/pengalihan penahanan guna perawatan kesehatan hingga pulih dari sakit.
Ketiga, memberikan putusan yang sesuai dengan fakta-fakta persidangan yang sesungguhnya, tanpa mengikuti cara-cara diskriminasi dan kriminalisasi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Gubernur nonaktif Papua, Lukas Enembe.
Keempat, selama ini pihak gereja bertanya-tanya mengapa KPK tidak menangkap Harun Masiku dan Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto yang orang sehat dari pada Gubernur nonaktif Papua, Lukas Enembe, menderita sakit permanen. (*)