Jayapura, Jubi – Perkumpulan Advokad Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua selaku penasihat hukum terdakwa kasus penyerangan Pos Koramil Persiapan Kisor, Abraham Fatemte, mengaku kecewa dengan vonis 15 tahun penjara yang diberikan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sorong pada Selasa (14/2/2023).
Abraham Fatemte adalah salah satu warga Kabupaten Maybrat yang dijadikan tersangka kasus penyerangan Pos Koramil Kisor. Perkara Abraham Fatemte itu diperiksa dan diadili Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Ketua Lutfi Tomu, dengan hakim anggota Rivai Sasyid Tukuboya dan Bernadus Papendang.
Dalam keterangan pers tertulisnya yang diterima Jubi pada Kamis (16/2/2023), Advokad Yohanis Mambrasar selaku penasehat hukum Abraham Fatemte menjelaskan dalam amar putusan yang dibacakan oleh hakim ketua, menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 340 Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 dengan turut terlibat melakukan pembunuhan empat anggota TNI Pos Koramil Kisor pada 2 September 2023.
“Hal ini menurut hakim terbukti dari keterangan para saksi Jaksa Penuntut Umum atau JPU masing-masing Catur Prasetyo, Edmon Fruyuk, dan Saksi Jonathan Hindom yang memlihat terdakwa berada di TKP saat kejadian, serta keterangan saksi verbalisan dari pihak kepolisian yang memeriksa saksi mahkota Melkyas Ky, Maikel Yaam, dan Robianus Yaam yang mengatakan bahwa tidak ada pemaksaan dan kekerasan terhadap saksi saat pemeriksaan, dan kesaksian para saksi mahkota yang dituangkan dalam BAP disampaikan secara jujur,” ujar Mambrasar, sebagaimana dikutip dari keterangan pers tertulisnya.
Dalam persidangan, ujar Mambrasar, Hakim juga berpendapat bahwa keterangan saksi meringankan yang dihadirkan oleh terdakwa tidak dapat dibuktikan kebenarannya, padahal keterangan saksi meringankan ini merupakan bukti yang sangat kuat yang mengungkapkan kebenaran dari duduknya posisi terdakwa dalam perkara ini.
“Kami tim Kuasa Hukum sangat kecewa atas keputusan Majelis Hakim dalam perkara ini yang sangat tidak adil. Kami menilai hakim pemeriksan perkara ini tidak benar-benar serius dan objektif dalam pemeriksaan perkara ini,” katanya.
Mambrasar menilai, kesimpulan hakim sangat berpihak pada Jaksa Penuntut Umum, tanpa melihat fakta-fakta persidangan secara benar dan menyeluruh.
“Terlihat dari kesimpulan Majelis Hakim dalam amar putusannya tidak berlaku adil. Seluruh kesimpulan menggunakan keterangan para saksi JPU,” tegasnya.
Dalam tuntutannya, JPU mendakwa terdakwa melanggar Pasal 340 Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1, sebab terlibat dalam perencanaan pembunuhan yang dilakukan dalam rapat pada 28 Agustus 2021 dan 1 September 2021 di rumah Silah Ky di Kampung Insum.
“Namun dalam fakta sidang pembuktian perkara ini tidak terpenuhinya unsur-unsur pada delik pembunuhan berencana yang didakwakan JPU, sebab tidak ada satu pun saksi yang mengatakan melihat secara langsung keterlibatan terdakwa dalam rapat perencanaan aksi pembunuhan dimaksud,” ujarnya.
Mambrasar mengatakan, keterangan soal keterlibatan Abraham Fatemte dalam pertemuan perencanaan pembunuhan anggota TNI Pos Koramil Kisor muncul dari pengakuan Melkias Ky dalam keterangannya di BAP Kepolisian, yang mengatakan melihat terdakwa dalam rapat perencanaan pembunuhan yang digelar pada 1 September 2021 di Rumah Silas Ky.
“Namun keterangannya tersebut telah dicabut, sebab Melkias Ky dalam sidang pembuktian telah mengatakan keterangannya itu tidak benar, karena keterangannya itu dibuat dibawah paksaan dan ancaman penyidik, serta keterangan-keterangannya dalam BAP itu disusun oleh penyidik lalu ia dipaksa untuk menandangani BAP dimaksud,” jelasnya.
Disamping itu, ujar Abraham, keteranngan saksi JPU yang mengatakan melihat terkdawa di TKP dan melihatnya di Kantor Kampung beberapa jam sebelum peristiwa adalah merupakan keterangan yang tidak kuat dibuktikan, sebab keterangannya berbeda dengan keterangan-keterangan pada sidang perkara Melkyas Ky dan juga Maikel Yaam Cs dan Maklon Same Cs.
“Keputusan hakim yang tidak berpihak kepada keadilan hukum dan rasa keadilan rakyat Papua ini, tidak menjadikan Pengadilan sebagai institusi hukum sebagai benteng penegakan keadilan, namun sebaliknya institusi hukum ini juga diseret dalam politik kekuasan negara di Papua dengan menegakan hukum secara diskriminatif. Praktik hukum diskriminatif ini turut berkontribusi melegalkan praktik-praktik kekerasan terhadap rakyat Papua dan memperpanjang konflik di Papua,” katanya. (*)