Komnas HAM RI: Konflik di Tanah Papua bukan hanya mengenai ideologi

Komnas HAM RI
Tangkapan layar Ketua Komnas HAM RI, Atnike Sigiro saat diskusi publik secara daring-Jubi/Arjuna

Jayapura, Jubi – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia atau Komnas HAM RI menyatakan, pola konflik di Papua beragam, bukan hanya mengenai ideologi.

Ketua Komnas HAM RI, Atnike Sigiro mengatakan konflik di Tanah Papua polanya beragam. Ada yang bersifat ideologi, berkaitan dengan ekonomi dan politik, hingga sosial budaya.

Pernyataan itu disampaikan Atnike Sigiro saat diskusi publik secara daring “Wamena Berdarah: Adakah Unsur Kejahatan Kemanusiaan” pada Selasa (14/03/2023).

Katanya, pola konflik yang bersifat ideologi melibatkan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan kelompok pro kemerdekaan Papua, dengan aparat keamanan.

Konflik terkait ekonomi, antara masyarakat dengan korporasi atau pemerintah, maupun antara sesama masyarakat sendiri. Konflik bidang politik misalnya ketika ada kebijakan pemerintah pusat yang diprotes masyarakat, serta konflik dalam konteks sosial budaya. Motifnya beragam. Bisa terjadi antara sesama orang asli Papua, maupun dengan non Papua dan sebagainya,” kata Atnike Sigiro.

Katanya, akibat konflik di Tanah Papua berbagai pihak pun menjadi korban. Tidak hanya warga sipil, juga aparat keamanan TNI dan Polri.

“Dalam konflik-konflik yang terjadi, memang ada korban. [Catatan Komnas HAM RI pada 2022, korban] dari TNI/Polri 13 orang. Tapi korban terbesar adalah warga sipil, 46 orang,” ujarnya.

Katanya, mengenai amuk massa di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan yang meluas menjadi rusuh pada 23 Februari 2023 lalu, apabila dilihat awalnya berpotensi menjadi konflik horizontal.

Namun situasi, kemudian berubah ketika ada keterlibatan aparat keamanan, sehingga amuk massa di Wamena saat itu memiliki dimensi potensi konflik vertikal.

“Dalam kasus Wamena ini, kita lihat ada peningkatan sentimen antara masyarakat berbeda etnis, yang dipicu isu-isu sosial di masyarakat. Misalnya dalam kasus Wamena dipicu isu dugaan penculikan anak. Dalam kasus Wamena, dimensi sosialnya lebih tinggi,” ucapnya.

Menurutnya, Komnas HAM kini melakukan pemantau dan penyelidikan terkait amuk massa di Wamena. Namun lembaga itu belum dapat menyimpulkan hasilnya, karena masih berproses.

Setelah semua proses rampung, Komnas HAM akan menyampaikan hasilnya ke publik, khususnya dugaan terjadinya pelanggaran HAM dan memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada pihak terkait.

“Komnas HAM sendiri menyampaikan kasus wamena harus ditangani secara hukum. Yang perlu diperhatikan selain komitmen hukum, konteks partisipasi masyarakat Papua, serta perhatian pemerintah terhadap dampak-dampak dari konflik dan kekerasan, itu penting,” katanya.

Atnike mengatakan, proses dialog dalam menangani atau menyelesaikan konflik di Tanah Papua, tentu sangat perlu. Akan tetapi harus ditempatkan sesuai konteks masalahnya.

Ia berpendapat, dalam konteks amuk massa di Wamena yang perlu didorong adalah dialog antaretnis masyarakat yang hidup bersama di Tanah Papua.

“Masalah di Papua bukan hanya masalah kelompok bersenjata atau penyanderaan pilot, dan sebagainya. Tapi dalam konteks kasus kekerasan seperti dia Wamena, apabila tidak [segera] direspons akan menimbulkan masalah yang rumit,” kata Atnike Sigiro. (*)

 

Comments Box

Dapatkan update berita terbaru setiap hari dari News Room Jubi. Mari bergabung di Grup Telegram “News Room Jubi” dengan cara klik link https://t.me/jubipapua , lalu join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
banner 400x130
banner 728x250