Jayapura, Jubi – Tim Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat melihat hampir dua tahun pasca penyerangan Pos TNI Kisor sehingga munculnya konflik bersenjata, hingga kini kondisi para pengungsi semakin memprihatinkan.
Perwakilan pengungsi Maybrat, Lami Faan, yang juga sering kali mengadvokasi pengungsi, dalam jumpa pers secara online, Kamis (3/8/2023), mengatakan pasca konflik Kisor 2021 sampai saat ini masyarakat warga sipil yang terpaksa harus keluar dari kampung-kampung menyebar di beberapa titik di Sorong dan Maybrat, kondisinya sangat memprihatinkan dari beberapa aspek, terutama bagi kelompok yang rentan seperti kaum Perempuan, anak-anak, dan lansia.
Dengan kesulitan dalam hal pendidikan, kesehatan, dan ekonomi para pengungsi kelompok rentan ini sangat berdampak. Seperti yang terjadi pada anak-anak di pengungsian, rata-rata terjadi stunting atau kurang gizi.
“Di pengungsian hampir rata-rata terjadi stunting atau kurang gizi, dimana jumlah anak yang meninggal yang kami data itu sudah ada sekitar 20 anak,” kata Lami Faan.
Dari temuan Komnas HAM terhadap korban meninggal pengungsi sebagaian besar perempuan dan anak usia produktif yang meninggal di tempat pengungsian dengan kondisi yang dialami.
“Ekonomi yang terbatas, makan seadanya, kadang sehari makan satu kali saja, itu mempengaruhi pada gizi anak-anak,” katanya.
Selain itu, ia melihat banyak pengungsi perempuan hidup dalam tekanan sehingga stress. Bagi sejumlah lansia ada yang mendadak mengalami stroke dan kondisi kesehatan memburuk.
“Apalagi pengungsi di Sorong yang tinggal dengan keluarga di sana, untuk dapat pelayanan kesehatan perlu gunakan BPJS, sedangkan surat-surat penting tidak dibawa masyarakat saat kabur dari kampung masing-masing. Kondisi pengungsian di Sorong sama sekali tidak ada perhatian dari Pemerintah Kabupaten Maybrat,” katanya.
Ia mengatakan para pengungsi saat ini kesulitan untuk bertahan hidup. Apalagi pengungsi di Kota/Kabupaten Sorong tinggal di indekos. Satu barak bisa 2-3 kepala keluarga atau 20 orang tinggal serumah. Belum lagi soal makan minum, kebutuhan sekolah anak-anak, dan akses lainya.
“Pemerintah paksa agar kami pulang, sedangkan saat ini masih ada pengiriman pasukan TNI di kampung di Aifat Timur, Aifat Selatan. Contohnya saja saya, disuruh pulang lalu mau tinggal dimana. Saya punya rumah di kampung saat ini TNI sudah dijadikan sebagai pos,” kata Lami Faan.
Pastor Heri Lobya, OSA dari SKPKC Osa Papua mengatakan kelompok rentan lainnya yaitu warga dengan keterbatasan fisik atau disabilitas pun harus menjadi perhatian.
Ia menjelaskan pengungsi secara khusus untuk wilayah Sorong dari Aifat Timur di Kilometer 28 berjumlah 20 KK dan 84 jiwa, laki-laki dewasa 15 orang, perempuan dewasa 17, anak-anak 54, dan satu orang meninggal.
Pengungsi di wilayah SMP 8 ada 5 KK dan 23 Jiwa, laki-laki dewasa 5, perempuan dewasa 4, anak-anak 14. Pengungsi di indekos 33 KK dan 163 jiwa, laki-laki dewasa 27 orang, perempuan dewasa 36, anak-anak ada 100, disabilitas 2 orang, sakit 10 orang, satu orang meninggal. Keluhan mereka itu biaya kos yang mahal serta kebutuhan sehari-hari.
Pengungsi di wilayah Intipura ada 58 KK dan 242 jiwa, laki-laki dewasa 52, perempuan dewasa 57, anak-anak 133, disabilitas 2 orang, ibu hamil 2 orang.
Jumlah pengungsi di Aifat Timur Raya untuk beberapa wilayah yang diperoleh sejumlah 1.243 orang, enam orang meninggal, 26 orang sakit, hamil 4 orang, disabilitas 4 orang, ODGJ 1 orang. Ini merupakan data sementara yang diambil di sebagian wilayah.
“Semua ini butuh perhatian dan penanganan yang serius oleh pemerintah daerah setempat dan semua pihak yang peduli terhadap nasib pengungsi,” katanya.
Selain itu, Pastor Lobya berharap Komnas HAM RI perlu mewujudkan jeda kemanusiaan di Tanah Papua. Sebab, hidup dalam kedamaian itulah yang didambakan dan dikehendaki oleh setiap orang asli Papua dan semua orang yang hidup di Tanah Papua.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Maybrat dan semua pihak yang peduli terhadap pengungsi Maybrat perlu pun diminta mengingatkan aparat TNI agar kantor kampung, sekolah, dan fasilitas umum lainnya tidak dijadikan sebagai pos.
“Semua hal ini harus dilihat kembali, agar terjadi kedamaian, suka cita, persaudaraan. Jika terus begitu terus, maka konflik selalu akan muncul, sehingga hal seperti ini harus diperhatikan kembali,” katanya.
Yohanis Mambrasar, advokat HAM yang selama ini mendampingi pengungsi, menilai bicara jeda kemanusiaan, konflik sampai sekarang belum ada titik temu, tidak hanya di Maybrat, tetapi juga di kabupaten lain. Konflik jalan terus, entah itu masyarakat sipil yang menjadi korban maupun aparat TNI dan Polri yang menjadi korban.
“Padahal jika dicari solusi damai, bisa menyelesaikan masalah konflik di Tanah Papua. Kenapa Aceh dan Timor Leste bisa menyelesaikan persoalan secara damai, kenapa kita di Papua tidak bisa. Itu menjadi pertanyaan penting,” kata Mambrasar.
Perwakilan Komnas HAM RI, Melanie, menyebut data 5.296 jumlah total pengungsi keseluruhan merupakan data Pemerintah Kabupaten Maybrat. Namun ada pula data yang dikeluarkan oleh polres setempat dan itu terjadi perbedaan.
Namun diakuinya, sudah ada kesepakatan untuk dilakukan pendataan ulang di tingkat pemerintah kabupaten bersama polres untuk memastikan data pengungsi.
“Dari data 5.296 itu, sebanyak 1.909 atau 547 KK sudah kembali ke kampung masing-masing. Kebanyakan mereka berasal di daerah atau Distrik Aifat Selatan,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!