Jayapura, Jubi – Pada 2 September 2021 telah terjadi penyerangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB ke Pos TNI di Kisor, Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya, mengakibatkan empat anggota TNI dilaporkan meninggal dunia. Begitu juga warga sipil mengungsi dari beberapa wilayah.
Tercatat, warga masyarakat yang mengungsi di lima distrik di Maybrat hingga memasuki dua tahun pasca konflik, sebagian besar masyarakat masih memilih bertahan di sejumlah tempat pengungsian, baik di Maybrat maupun di wilayah Sorong.
Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat yang selama ini melakukan advokasi maupun pendampingan, dalam jumpa media secara online, Kamis (3/8/2023), mengungkap bahwa hingga kini para pengungsi Maybrat masih sangat membutuhkan perhatian dan penanganan serius.
Pastor Heri Lobya, OSA dari SKPKC Osa Papua mengatakan sebagaimana jumlah pengungsi yang dirilis Komnas HAM RI pada 28 Juli 2023, para pengungsi sebanyak 5.296 jiwa masih bertahan di tempat pengungsian, dan 138 orang meninggal pasca penyerangan Pos Ramil Kisor.
“Ini berarti masih ada ribuan pengungsi Maybrat yang belum kembali ke kampung halaman mereka dari lima distrik dan 18 kampung di Aifat, Maybrat,” kata Pastor Lobya.
Ia menjelaskan umumnya para pengungsi Maybrat membutuhkan pertolongan, perhatian, dan bantuan dari berbagai pihak yang peduli, sebab mereka tinggal menyebar di berbagai wilayah seperti di hutan, kampung tetangga seperti di wilayah Aifat Utara sekitar kota dan kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, dan Bintuni.
Memang, katanya, pada awal pengungsi, ada perhatian dari pihak gereja, lembaga HAM, dan pemerintah telah berupaya untuk mencegah kekerasan lebih meluas dan mengatasi persoalan pangan.
Kendati demikian, setelah hampir dua tahun, hingga kini masih ada ribuan pengungsi yang masih berada di pengungsian. Mereka hidup dalam penderitaan dan berbagai kesulitan mereka hadapi dari beberapa aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, dan ekonomi.
Pertama, dari aspek pendidikan, para pengungsi sulit memperoleh akses pendidikan, dalam hal memperoleh pembelajaran dan pendidikan yang baik di sekolah dan mengalami kendala untuk membayar uang sekolah anak–anak mereka.
“Dalam hal mendapat bantuan dari pemerintah maupun sekolah, dikarenakan persoalan data pokok pendidikan atau dapodik yang berlaku, sehingga anak-anak dari kampung yang bersekolah ke kota alami kesulitan mendapat bantuan karena data tidak masuk dalam dapodik,” kata Pastor Lobya.
Kedua, dari aspek kesehatan juga menjadi perhatian yang mesti diseriusi. Sebab hingga kini para pengungsi seringkali mengalami keluhan seperti demam, maag, diare, darah tinggi, daging tumbuh, tangan keseleo, sakit mata, kolesterol, paru–paru basah, batuk, saluran pernapasan, stroke, lambung, lutut sakit, asam urat, gangguan jiwa hingga adanya ibu hamil.
“Hal ini tentunya membutuhkan penangganan medis. Namun beberapa waktu terakhir ini mereka sulit untuk mendapatkan akses pelayanan medis dikarenakan tidak adanya uang untuk berobat. Bahkan ada ibu hamil juga harus berjuang sendiri untuk melahirkan anaknya di tempat pengungsian tanpa bantuan pihak medis,” katanya.
Ketiga, pengungsi Maybrat mengalami kesulitan dalam hal tempat tinggal, dimana mereka harus hidup dengan beberapa kepala keluarga dalam satu rumah.
“Dari pengakuan para pengungsi bahwa biasanya dalam satu keluarga bisa terdapat tujuh sampai sembilan kepala keluarga. Kenyataan hidup ini juga sangat berpengaruh pada aspek ekonomi yakni pemenuhan makan minum,” katanya.
Meski ada suatu kerinduan para pengungsi Maybrat ini untuk kembali ke kampung masing-masing, namun kenyataan memperlihatkan bahwa sampai saat ini belum ada jaminan keamaan dan kebanyakan rumah–rumah warga telah rusak.
Oleh karena itu Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat menekankan apa yang perlu menjadi perhatian yaitu pemerintah daerah setempat dan semua pihak yang peduli perlu memperhatikan pendidikan anak–anak dan kesehatan di berbagai tempat pengungsian.
Begitu juga penyediaan hunian tempat tinggal bagi para pengungsi, supaya bisa hidup lebih baik, pemenuhan kebutuhan pokok terkait dengan sandang, pangan, dan papan.
“Jika rekonsiliasi terjadi nantinya untuk perdamaian dalam jangka yang panjang, maka perlu ada perbaikan fasilitas warga masyarakat di setiap kampung yang telah rusak, sebagai syarat untuk masyarakat bisa pulang ke kampung ketika sudah ada jaminan keamanan,” kata Pastor Lobya.
Advokad HAM, Yohanis Mambrasar, mengatakan bulan depan genap dua tahun peristiwa Kisor. Pemerintah Kabupaten Maybrat dan juga tentunya provinsi dan pusat memang telah berbagai melakukan dan memberikan sesuatu yang dampak positif.
“Namun juga ada beberapa hal yang masih belum disentuh secara menyeluruh dan itu kemudian menjadi persoalan bagi para pengungsi itu sendiri, sehingga masih sangat butuh perhatian serius,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!