Jayapura, Jubi – Tokoh aktivis dibalik tragedi Biak berdarah, 6 Juli 1998, Filep Jacob Samuel (FJS) Karma, telah meninggal 1 November 2022 lalu. Namun peristiwa di bawah menara Puskesmas Biak Kota tak bisa dilupakan begitu saja. Pasalnya, hingga kini para pelaku kekerasan tak pernah diadili secara adil dan benar.
Demikian pernyataan Mama Tineke Rumkabu, Koordinator Bersatu untuk Kebenaran (BUK) atau United For Truth Papua dalam press release yang diterima jubi.id pada Rabu (5/7/2023) malam.
“Komunitas Korban Hak Asasi Manusia di Biak Papua menyesalkan tidak adanya akuntabilitas pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan kasus-kasus terbaru yang terus berlangsung tanpa penyelesaian yang adil dan benar,” kata Mama Tineke Rumkabu, salah seorang korban tragedi Biak berdarah, 6 Juli 1998, itu.
Dia menambahkan, pada hari ini, Kamis (6/7/2023), pihaknya terus membacakan doa, menyalakan lilin, menghambur bunga dan terus menangis meratapi.
“Suami, istri, anak-anak, dan saudara-saudari kami yang tiada hentinya dibunuh, diperkosa, dipenjara, dihilangkan, dan dikejar sejak pendudukan Indonesia di atas tanah leluhur kami,” katanya.
Dikatakan bahwa tragedi 6 Juli 1998 telah meninggalkan rasa pilu yang mendalam dan ingatan yang tak akan hilang secara turun temurun kepada anak cucu. Dimana saat itu suatu tindakan aparat negara Indonesia yang tidak manusiawi kepada 1.000 orang warga sipil yang mempertahankan bendera Bintang Fajar dibawah Menara Air Biak pada 6 Juli 1998, pukul lima Subuh.
Peristiwa 6 Juli 1998 telah mengakibatkan delapan orang meninggal, tiga orang hilang, 33 orang ditangkap sewenang-wenang, 150 orang mengalami penyiksaan, 32 orang mayat misterius, dan ratusan orang kabur entah kemana, jelas dilakukan oleh aparat negara secara kilat.
Tragedi 6 Juli 1998 ini telah melengkapi daftar panjang kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang jelas-jelas dilakukan oleh negara dari waktu ke waktu terhadap rakyat bangsa Papua.
Mama Tineke Rumkabu mencatat pula kasus-kasus yang lain di Tanah Papua meliputi, 1. Konflik politik wilayah West Papua yang menjadi akar konflik di Papua; 2. Kasus Abepura berdarah, Kasus penculikan dan pembunuhan ondofolo Theys Hiyo Eluay, dan kasus-kasus lainnya dilakukan oleh negara; 3. Kasus Wamena berdarah dan kasus-kasus lainnya dilakukan oleh negara; 4. Kasus Wasior Berdarah dan kasus-kasus lainnya dilakukan oleh negara;
5. Kasus Nabire, kasus Paniai, kasus pembunuhan Pdt. Yermias Zanambani, kasus pembunuhan kepala suku Uakhele Giban, Arnold Lokbere, kasus pembunuhan anak dibawah umur dan kasus-kasus lainnya dilakukan oleh Negara; 6. Kasus Victor Yeimo dan kasus rasisme; 7. Kasus pembunuhan Musa Mako Tabuni; 8. Kematian misterius aktivis dan pejabat orang asli Papua.
9. Konflik sumber daya alam Papua, eksploitasi dan eksplorasi hak-hak masyarakat adat Papua, dilakukan oleh negara dari waktu ke waktu : PT. Freeport, MIFEE di Merauke, BP di Bintuni, kelapa sawit, Blok Wabu, dan kasus-kasus lainnya dilakukan oleh negara; 10. Konflik Ekoside, Ekologi dan Genoside semakin nyata dilakukan oleh Negara Indonesia secara sitematik, terencana, dan masif.
Dia mengatakan bahwa melalui kebijakan pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB), mengakibatkan arus migrasi ke Tanah Papua secara besar-besaran telah menempatkan masyarakat adat Papua menjadi minoritas di negeri leluhurnya.
Hal ini ditandai dengan konflik lahan yang kesemuanya ini dilakukan oleh pemerintah dan negara Indonesia sebagai aktor pelanggar utama Hak Asasi Manusia di Tanah Papua.
Selain itu, kata Mama Rumkabu, kini kasus pengungsi 63.490 warga pengungsian di Ndugama (44.000), Puncak (2.724), Intan Jaya (5.859), Maybrat (4.684), Pegunungan Bintang (2.252), Yahukimo (1.971), dan Yapen Waropen akibat represi militer dan polisi Indonesia.
“Sudah 25 tahun [6 Juli 1998 – 6 Juli 2023], kami meratapi dan merenungkan semua peristiwa dan kejadian yang dilakukan oleh Negara Indonesia tanpa penyelesaian yang adil. Berangkat dari kesemuanya ini. SEAKAN KAMI BINATANG,” katanya.
Bahkan almarhum Filep Karma dalam buku karyanya pun membuat buku berjudul “Seakan Kitorang Setengah Binatang“.
“Apakah kami harus pergi dari negeri tempat kami atau bagaimana,” tambahnya.
Dalam peringatan 25 tahun tragedi Biak berdarah ini, Koordinator BUK, Tineke Rumkabu, menyatakan bahwa Pernyataan 25 Tahun Tragedi Biak:
(1). Mendorong semua pihak (internasional, lokal Papua, kawasan, dan Nasional Indonesia) untuk serius melaksanakan Statuta Roma 1998 dan Resolusi PBB tentang “Responsibility to protect and the prevention of genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity” ke Mahkamah Internasional terhadap pelanggar kejahatan harkat dan martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan Yang Mulia untuk hidup dan berkembang di Papua, tanah leluhur kita.
(2). Menolak dan menghindarkan diri dari upaya pemerintah Negara Indonesia atas kebijakan penyelesaian peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu dengan pendekatan Non Yudisial.
(3). Mendorong kelembagaan culture Masyarakat Adat Papua (Dewan Adat Papua) sebagai lembaga representasi masyarakat adat Papua untuk menyelenggarakan hukum peradilan adat bagi pelanggar kejahatan atas hak-hak sumber daya alam Papua yang dicaplok oleh negara. Menyelamatkan “Tanah Papua” menjadi surga bagi nasib masa depan anak cucu kami.
(4). Mendorong masyarakat sipil Papua dan Gerakan Solidaritas Internasional untuk terus peduli dan membantu warga pengungsi, perempuan, anak dan laki-laki akibat konflik bersenjata/politik di Tanah Papua, serta mendorong perundingan yang bermartabat. (*)