Jayapura, Jubi – Hari ini 4 April 2023, tepat 20 tahun lalu, terjadi peristiwa kejahatan kemanusiaan “Wamena Berdarah” pada 2003 silam. Imbas adanya pembobolan gudang senjata Kodim 1702/Jayawijaya.
Dalam peristiwa itu, banyak orang sipil yang ikut merasakan penyisiran aparat keamanan. TNI maupun Polri, untuk mencari para pelaku pembobolan.
Akibatnya, banyak masyarakat ditahan. Termasuk lima orang yaitu Apotnalogolik Lokobal, Numungga Telenggen, Kimanus Wenda, Linus Hiluka dan Jefrai Murib.
Meski begitu, kelima tahanan politik yang dituduh terlibat dalam pembobolan gudang senjata Kodim 1702/Jayawijaya itu, pada Maret 2015 telah dibebaskan dari tahanan setelah menerima grasi dari Presiden Joko Widodo di Lembaga Pemasyarakatan Abepura.
Memasuki tahun ke 20, kasus Wamena Berdarah 2003 ini kembali menjadi atensi pemerintah Indonesia.Presiden Joko Widodo telah mengakui adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM berat. Termasuk kasus Wasior dari 12 kasus yang diumumkan Presiden.
Usai pengumuman itu, Presiden mengakui pemerintah akan segera memulai penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu termasuk Wamena 2003 melalui penyelesaian non-yudisial.
Namun dari berbagai upaya itu, hingga kini masih belum ada titik temu. Meski pada November 2022 tim PPHAM RI telah bertemu keluarga korban, bahkan saksi langsung kasus Wamena Berdarah 2003 di Wamena.
Theo Hesegem selaku pemerhati HAM Papua yang juga mendampingi keluarga korban menilai, upaya pemerintah pusat tidak akan berhasil.
Pasalnya kata Hesegem, penyelesaian non-yudisial tidak akan berhasil jika keluarga korban menolak. Sehingga upaya itu tidak akan terwujud.
“Pemerintah ingin memaksakan kehendak. Belum tentu keluarga korban mau ikut maunya pemerintah, tetapi keluarga minta penyelesaian ini difasilitasi oleh pihak ketiga dalam bentuk dialog,” ujar Hesegem kepada Jubi, Senin (3/4/2023) melalui sambungan telepon.
Ia pun menyoroti upaya penyelesaian kasus Wamena Berdarah 2003. Setelah memasuki 20 tahun, barulah pemerintah Indonesia mengeluarkan keputusan Presiden pada 2022.
Pertemuan di Wamena pun kembali mentok. Keluarga korban tetap menolak, mereka meminta pihak ketiga fasilitasi dialog, meminta wartawan internasional melakukan pemantauan di Papua kaitannya dengan isu pelanggaran HAM.
“Memang harus ikuti suara korban, karena itu lebih penting dari tuntutan pemerintah,” katanya.
Bahkan korban sekaligus saksi pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM kasus Wamena 2003, Linus Hiluka pada awal Februari 2023 telah membuat surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, tim PPHAM, Menkopolhukam dan Komnas HAM RI serta para pihak lainya.
Dalam surat terbuka itu, ia menekankan upaya pemerintah Indonesia menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM termasuk Wamena dan Wasior, agar dilakukan secara terbuka.
JIka rencana pemerintah Indonesia akan menyelesaikan non Yudisial, ia harap Presiden apabila ingin berbicara soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, dibicarakan di setiap kabupaten atau tempat kejadian perkara lebih khusus kasus Wamena 2003.
“Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu harus terbuka, jujur dan adil, serta tidak dapat memaksakan keinginan pemerintah, tetapi mengindahkan keinginan keluarga korban,” kata Linus Hiluka kepada melalui pesan singkatnya, Minggu 5 Februari 2023 lalu.
Ketika Jubi kembali menghubunginya, Senin (3/4/2023), dia menyebut sikap keluarga korban dan korban langsung tetap pada pendiriannya, dimana meminta agar Presiden Joko Widodo dapat mengijinkan dan membuka akses Dewan HAM PBB untuk masuk ke Papua melihat dan memantau langsung kasus pelanggaran HAM Wamena 2003 juga di Wasior.
Menurutnya upaya penyelesaian non-yudisial yang digencarkan pemerintah selama ini tidak lagi dengan pemberian kompensasi kepada keluarga korban, karena hal itu tetap akan ditolak.
“Orang Papua di pegunungan ini kalau sudah tolak, tidak bisa lagi terima sembunyi-sembunyi, karena itu bahaya,” ucap Hiluka.
Menurutnya, kasus pelanggaran HAM selama ini karena ada pergerakan Papua merdeka maka terjadi pelanggaran HAM, sehingga mesti ada “orang tengah” yang selesaikan dalam hal itu, yakini Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB.
“Tidak bisa mengubah itu, khusus untuk pelanggaran HAM Wamena ini, saya sebagai koordinator bersama Pendeta Hosea Murib tidak boleh lompat pagar atau lewat belakang, itu sama saja pencuri, kami akan tangkap dan tanya kepentingan(nya) apa,” katanya.
Ia juga mengaku setelah dirinya bersama empat orang lainya selaku mantan tahanan politik yang menerima grasi oleh Presiden di 2015 lalu, dengan masa tahanan yang dijalani sebelum menerima grasi, Linus Hiluka bersama empat tapol lainya tidak merasa kecewa, melainkan merasa puas.
Sebab menurutnya, ia bersama empat rekannya telah jalani hukuman penjara selama sekian tahun dan itu sebagai rasa tanggungjawab mereka sebagai eks Tapol .
“Kenapa pelaku pelanggaran HAM di Papua ini Indonesia tidak pernah dihukum, makanya sampai sekarang kami masih menuntut PBB untuk menyelesaikan masalah ini,” katanya.
Secara khusus Linus Hiluka mengaku selama bebas dari penjara, ia tidak bisa lupa atas kejadian yang menimpanya.
“Sikap dan prinsip kami tidak bisa ubah, sampai Presiden Joko Widodo membuka ruang Dewan HAM PBB masuk untuk melihat fakta yang sebenarnya di lapangan,” tutup Linus Hiluka. (*)