Jayapura, Jubi – Menjelang sidang putusan yang akan dilakukan majelis hakim Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara atau PTUN Jayapura mengenai gugatan lingkungan hidup salah satu pimpinan Suku Awyu pada 2 November 2023, 17 organisasi dan masyarakat adat Sorong Raya yang meminta PTUN Jayapura dapat memberikan keadilan kepada Suku Awyu.
Koordinator Gerakan Selamatkan Manusia, Tanah, dan Hutan Malamoi, Ayub Paa, dalam siaran pers yang diterima Jubi, Kamis (2/11/2023), mengatakan pada Selasa (31/10/2023) dilakukan diskusi di Kota Sorong, Papua Barat Daya, oleh perwakilan komunitas dari berbagai lembaga masyarakat adat guna memberikan dukunganya kepada Suku Awyu jelang putusan di PTUN Jayapura.
“Kami solidaritas pemuda dan masyarakat adat serta organisasi gerakan sosial se Sorong Raya minta PTUN Jayapura harus berpihak kepada masyarakat Awyu,” kata Ayub Paa.
Hal ini karena sebagai perjuangan Suku Awyu dalam upaya mempertahankan hutan adatnya dalam gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim terhadap Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Papua terkait SK Kelayakan Lingkungan PT Indo Asiana Lestari telah memasuki babak akhir.
Pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu, Hendrikus Franky Woro, mengatakan gugatan yang dilayangkan tersebut merupakan cara melawan yang terhormat dan bermartabat bagi dirinya dan Suku Awyu.
“Ruangan sidang pengadilan menjadi arena baru perjuangan masyarakat adat Papua dalam upaya mempertahankan tanah, hutan, dan haknya sebagai warga negara. Perjuangan ini bukan hanya bagi kepentingan diri sendiri dan Suku Awyu semata, melainkan menjadi penting bagi keberlangsungan semua manusia di bumi ini,” kata Woro.
Menurutnya, perjuangan Suku Awyu bersama tim hukum Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua telah mendapatkan solidaritas dan dukungan luas dari masyarakat dan aktivis dari berbagai daerah di Papua dan luar Papua bahkan luar Indonesia.
Petisi yang disusun Gerakan Solidaritas Untuk Selamatkan Hutan Adat Papua ditandatangani 252 lembaga dan individu, dimana dukungan awal telah diserahkan ke majelis hakim dan akan bertambah hingga menjelang putusan nanti.
Koordinator Greenpeace Indonesia di Sorong, Samuel Moifilit, menambahkan dukungan juga mengalir dalam bentuk amicus curiae (sahabat peradilan) yang dikirimkan sejumlah pihak ke PTUN Jayapura, mulai dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, ahli litigasi iklim I Gede Agung Made Wardana, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, dan Koalisi Kampung untuk Demokrasi Papua, serta Greenpeace Indonesia.
“Sejak masa persidangan gugatan berlangsung, mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam AMPERA MADA terus mengawal persidangan di Jayapura. Begitu juga solidaritas pemuda adat, masyarakat adat, dan organisasi gerakan sosial se-Sorong Raya juga turut mengambil bagian dalam mengawal persidangan ini hingga putusan,” katanya.
Samuel Moifilit menjelaskan jika apa yang terjadi di Suku Awyu juga terjadi di wilayah Sorong Raya yang juga berhadapan dengan investasi perkebunan kelapa sawit (PT Sorong Agro Sawitindo dan lain-lain) yang akan memberikan dampak yang sama kepada Suku Moi, serta perjuangan ini memiliki tujuan yang sama yaitu demi keberlangsungan suku dan generasi mendatang.
Maka dari itu Solidaritas untuk Suku Awyu menuntut dan mendesak majelis hakim PTUN Jayapura untuk memberikan keadilan kepada masyarakat adat Suku Awyu, sebagai dukungan perwakilan Suku Awyu untuk membela hak-hak masyarakat adat dan tanah adat Papua.
Mendesak pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Menteri LHK, untuk segera mencabut semua izin indusri ekstraktif dari seluruh tanah adat Papua, mendesak Presiden Republik Indonesia untuk segera mencabut status kawasan ekonomi khusus (KEK) di Kabupaten Sorong, serta mendesak Kementerian LHK segera mencabut perizinan perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan izin PBPH di seluruh tanah adat di Papua. (*)