Makassar, Jubi – John Nr. Gobay, Kepala Dewan Adat Paniai – sekarang menjadi anggota DPR Papua – sedang berada di Jayapura, ketika peristiwa penembakan empat orang warga sipil di lapangan Karel Gobay, Eranotali, Paniai Timur, pada 8 Desember 2014. Dia menyebut peristiwa itu sebagai malapetaka yang meruntuhkan kenyamanan dan kedamaian warga.
“Desember itu tidak ada keceriaan Natal. Tahun itu, satu-satunya, menjadi suram,” katanya.
“Tak ada kegembiraan Natal di Paniai tahun 2014 itu. Tidak ada,”
“Saya saksikan empat jenasah itu dikuburkan tanggal 10 di lapangan. Sedih dan saya marah sekali.”
Jhon Gobay mengulang ungkapan itu beberapa kali dalam ruang persidangan. Dia marah, tapi tak tahu harus menemukan keadilan. “Saya kecewa. Peristiwa itu melibatkan banyak orang. Tapi yang terdakwa hanya satu orang,” katanya.
John Gobay bersaksi pada sidang keempat kasus pelanggaran HAM Paniai yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (6/12/2022)
“Pabung (Perwira Penghubung) ini tidak punya pasukan. Tidak ada,” lanjutnya.
Jhon merujuk pada sidang pelanggaran HAM di Makassar yang sudah dilakukan selama empat pekan. Menghadirkan sembilan saksi dari pihak kepolisian dan dua orang saksi dari masyarakat. Semua saksi dari kepolisian, mengungkapkan, jika peristiwa pagi saat pemalangan jalan di daerah Gunung Merah, jalan utama Eranotali – Madi, pada 8 Desember 2014, menciptakan eskalasi besar, karena adanya tembakan dari arah bukit.
Mantan Wakapolres Paniai, tahun 2014, Kompol Hanafiah, mengungkapkan dalam persidangan, telah melihat dua orang berlari di bukit. Dia menduga, orang itu bagian dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua. “Saya minta pasukan ke kantor Polres untuk mengambil senjata. Rencananya kami akan menyisir dan mengejar,” katanya.
“Tapi tidak sempat, karena kerusuhan pecah di lapangan Karel Gobay,” lanjutnya.
Bagi Jhon, ungkapan pihak ketiga tak dapat diverifikasi hingga saat ini. Isu itu harusnya dapat dibuktikan, agar menjadi fakta persidangan, tapi hanya terus dhembuskan. Sementara, dalam penuturan warga, kata Jhon, sebelum tembakan meletus, mereka melihat sebuah mobil yang melintas dari arah sama sumber tembakan. Mobil itu, dikenali sebagai mobil Daihatsu Taft berwarna merah, yang dimiliki seorang kontraktor di Paniai.
“Rumah pemilik mobil itu jelas. Orangnya ada. Harusnya dia dimintai keterangan pada siapa dia memberikan mobilnya saat itu. Atau siapa yang menggunakannya,” katanya.
“Orang-orang tahu, mobil itu sering dipakai oleh anggota TNI dari kesatuan 753,”
“Jadi itu fakta di lapangan.”
Peristiwa yang dikenang sebagai “Tragedi Paniai Berdarah” itu sudah berlalu selama delapan tahun. Para keluarga korban, masyarakat Paniai juga masih terus bertanya. Semakin lama semakin buram. Bagi Jhon, menemukan dan membuktikan pelaku kejahatan Paniai berdarah, jika dilakukan dengan baik, akan membuat kepercayaan masyarakat kembali tumbuh pada sistem hukum.
“Tapi, saat semua orang bertanya, semua orang masih meraba-raba, para pelaku yang seharusnya terhubung semua dipindahkan. Kapolres Paniai di mutasi, Wakapolres dimutasi, kemudian tak sampai setahun anggota 753 yang berpos di Madi, digantikan oleh anggota Siliwangi,” kata Jhon Gobay.
“Jadi, semua yang menjadi kunci peristiwa, dalam masa pemeriksaan, menjadi hilang,”
“Sekali waktu, ada undangan dari Komnas HAM di Jayapura. Itu semacam FGD bersama beberapa pihak. Saya juga tidak melihat kejujuran di situ.”
“Apakah bapak memiliki informasi strategis yang bisa diungkapkan dalam persidangan ini?,” kata Syahrir Cakkari, Penasehat hukum terdakwa Mayor (Purn) Isak Sattu.
Jhon menghela nafas panjang. Dia menggoyangkan tubuhnya dan memalingkan wajahnya ke penasehat hukum terdakwa. “Di Paniai ada Danramil dan anggotanya. Ada Polsek dan anggotanya. Ada Brimob. Ada Timsus TNI. Mereka semua ini tahu, apa senjata dan siapa yang membawa senjata itu.”
Sebagai kepala adat Paniai, dia bersama warga setiap waktu meminta hasil uji balistik. Pesannya jelas, kata Jhon, warga hanya ingin tahu siapa pelakunya. “Tunjukan siapa pelakunya dan harus dihukum berat. Itu saja.”
Identifikasi masyarakat adat menemukan, empat korban meninggal dunia dan 17 luka (dalam BAP dinyatakan 10 luka) semua dari suku Mee. Laporan adat Paniai dalam peristiwa itu juga mengungkapkan jika warga melihat anggota Paskas naik ke tower yang berada di dekat bandara. “Komunikasi saya dengan Bupati Paniai, selongsong peluru diberikan ke tim mabes Polri. Tapi hasilnya tidak ada,” katanya.
Di Paniai, konflik antara masyarakat dan militer beberapa kali pernah terjadi. Tapi dalam situasi tertentu, konflik itu cepat mereda dan kembali damai.
Suasana ketakutan
Pius Gobay, mantan kepala Distrik Paniai Timur ikut memberikan kesaksian di persidangan. Kala peristiwa itu meletus, dia berada di lokasi pemalangan pada 8 Desember 2014 di wilayah Gunung Merah. Dia bersama warga menghalau jalan dengan menggunakan tumpukan batu dan kayu. Orang-orang yang akan melintas melalui jalan utama Eranotali-Madi sekitar pukul 08.00 tertahan tak bisa melintas.
Bagi Pius Gobay, masyarakat hanya menyampaikan aspirasi, mengenai kekecewaannya terhadap delapan anak muda yang mengalami penganiayaan pada malam 7 Desember 2014.
Selanjutnya, upaya protes warga itu didatangi wakil bupati Paniai, Yones Douw dan Wakapolres Paniai, Kompol Hanafiah. Negosiasi berjalan alot, tapi warga meminta pelaku pemukulan harus dihadirkan di lokasi dan melakukan permintaan maaf.
Kondisi aksi blokade jalan itu, kata Pius Gobay, berjalan baik. Hanya ada sekitar 100-an warga, dan tak melakukan tarian Waita. Tapi lama kelamaan, karena akses jalan yang terputus, membuat kerumunan semakin besar. Jadi bercampur dengan orang-orang yang terhalang kerja dan yang akan melakukan aktivitas pada pagi itu.
Tiba-tiba suara tembakan terdengar dari sekitar bukit. Semua orang ketakutan. Wakapolres Hanafiah melalui radio komunikasinya, memberi peringatan. “Siaga, itu kata Waka,” kata Pius.
Warga kemudian berlari turun – ke arah Eranotali. Kerumunan lari itu semakin besar dan berkumpul di lapangan Karel Gobay, yang jaraknya sekitar 2 km. Pius ikut dalam rombongan itu berlari. Tapi tak sampai ke lapangan, karena ketakutan. “Saya di rumah karena takut,” katanya.
Itu juga waktu suara tembakan, Wakil Bupati juga naik mobil pergi. Wakapolres juga. “Jadi kami sama-sama lari,” kata Pius.
Di lapangan Karel Gobay, suasana semakin rusuh. Terjadi penembakan dan menewaskan empat orang anak. “Saya kenal semua yang meninggal. Itu anak kami. Tapi saya tak ada di lapangan,” katanya.
Beberapa waktu kemudian, Bupati Paniai, Hengki Kayame, memberikan bantuan pada korban luka dan meninggal dunia. Tapi uang duka itu bukan untuk menutup dalang peristiwa. “Ada bantuan, sekitar Rp300 juta,” kata Pius.
Uang itu, kata Pius, diberikan kepada keluarga korban dan membiayai prosesi pemakaman empat korban di lapangan Karel Gobay pada 10 Desember 2014. Pemakaman itu dilakukan berdekatan dengan tiang bendera lapangan. “Satu kepala keluarga korban, dikasih Rp20 juta dan babi dua ekor,” katanya.
Dalam adat masyarakat Paniai, seseorang yang meninggal dengan “tidak wajar” akan dimakamkan ditempat dia meninggal. Seperti jika seseorang meninggal karena tenggelam di sungai, maka makamnya akan dilakukan di pinggiran sungai. “Tapi kami kubur anak kami di lapangan itu, karena di situ dia mati,” kata Pius.
Bantuan Bupati itu juga digunakan oleh masyarakat Paniai melakukan ritual bakar batu. Prosesi tersebut, untuk menandakan ritual keikhlasan kehilangan anggota keluarga. Tapi bukan ikhlas untuk tidak menghukum pelaku pembunuhan.
Pius, menilai pembunuhan pada empat anak muda itu sangat mengiris hatinya. Dia menemui beberapa korban luka yang kepalanya berdarah, badannya bengkak dan lebam, atau bahkan tangannya terserempet peluru.
Salah satu korban penganiayaan pada 7 Desember 2014, adalah Yosafat Yeimo. Dia mengalami luka lebam di banyak bagian tubuhnya. Sejak penganiayaan itu, kondisi kesehatan Yosafat terus menurun. “Dia tidak berani periksa, karena takut,” kata Pius Gobay.
“Beberapa bulan kemudian, satu bulan kah, dia meninggal.”
Jadi, kata Pius, siapa yang akan bertanggung jawab pada semua korban dan kekerasan yang terjadi di Paniai. “Ini harus selesai dan harus tahu siapa pelakunya.” (*)