Jayapura, Jubi – Presiden Persatuan Partai Moderat (UMP) dan Pemimpin Oposisi, Ismail Kalsakau, merekomendasikan agar Perdana Menteri (PM) menunda referendum hingga tahun depan untuk memastikan informasi mengenai usulan amandemen tersebut menjangkau semua orang.
Anggota Parlemen (MP) Kalsakau mengatakan Pemerintah harus meluangkan waktu dalam referendum itu karena ia percaya masyarakat Vanuatu ‘tidak boleh ikut serta dalam referendum’. Demikian dikutip jubi.id dari https://www.dailypost.vu, Senin (29/4/2024).
“Penting untuk memastikan masyarakat sadar sepenuhnya akan hak-hak mereka. Dengan cara ini, ketika mereka memberikan suara, mereka memiliki pemahaman yang jelas tentang apa yang mereka pilih, “ katanya.
Kalsakau, yang merupakan anggota parlemen Port Vila, merujuk pada referendum di tempat lain, seperti Australia, Bougainville, dan Kaledonia Baru, yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mempersiapkannya sebelum melakukan pemungutan suara.
Pemimpin mengatakan setelah mengunjungi beberapa pulau, antara lain Tanna, Santo, dan Ambrym, ia menemukan banyak masyarakat yang masih bingung dengan usulan amandemen tersebut.
Dia menambahkan telah mengunjungi daerah-daerah terpencil yang tidak dapat diakses dan dia tidak yakin pemerintah dapat menjangkau mereka karena kondisi jalan yang buruk.
Anggota parlemen Kalsakau juga menyatakan keprihatinannya bahwa komunitas-komunitas ini mungkin tidak terwakili dengan baik dalam referendum tersebut. Dia khawatir jika referendum berjalan sesuai rencana, situasi yang sama akan terulang kembali di mana lebih sedikit orang yang akan memilih, sehingga mengarah pada pemilihan parlemen berdasarkan suara minoritas.
“Jika Konstitusi diamandemen tanpa cukup banyak orang yang memberikan suaranya dan tanpa semua orang mendapat informasi yang memadai, hal ini dapat berdampak negatif terhadap Konstitusi. Ini tidak adil bagi rakyat,” katanya.
“Kita bicara referendum yang menyangkut hak-hak rakyat berdasarkan Konstitusi,” tambahnya.
Dia menjelaskan meskipun dia memilih ya, hal itu bukan tentang dia sebagai anggota parlemen. “Ini tentang bagaimana masyarakat menggunakan kebebasannya untuk memilih wakil-wakil yang kebebasannya untuk bergerak, berserikat, dan berekspresi akan terpengaruh,” ujarnya.
Pemimpin Oposisi menekankan bahwa 52 anggota parlemen tidak boleh menahan apapun yang ditujukan untuk rakyat dan harus membiarkan rakyat mengambil keputusan pada waktu yang tepat. “Referendum adalah untuk rakyat, bukan untuk anggota parlemen,” katanya.
Ia menegaskan, pemerintah tidak bisa begitu saja menyampaikan hal tersebut kepada masyarakat dalam waktu tiga bulan dan mengharapkan masyarakat memahami sepenuhnya amandemen konstitusi tersebut. Mereka perlu memahami bahwa hal ini menyangkut hak-hak mereka berdasarkan Pasal 5 Konstitusi.
Hak-hak ini penting bagi para pemilih, bukan anggota parlemen, dan selama mereka memahami amandemen tersebut dengan benar, pilihan ada di tangan mereka.
Dia mengatakan waktu yang cukup harus diberikan agar semua informasi dapat menjangkau wilayah paling terpencil sekalipun di Vanuatu. Setiap orang harus dikunjungi, hak-hak mereka dijelaskan, dan mereka harus memahami bagaimana suara mereka akan berdampak pada hak-hak mereka. Setidaknya ini yang bisa kami lakukan untuk memastikan keadilan bagi semua orang.
Respon Pemerintah
Menanggapi hal tersebut, Pejabat Humas (pro) Pemerintah Vanuatu, Hilaire Bule mengatakan referendum tidak bisa ditunda karena prosesnya sudah berjalan.
Ia menyebutkan, jangka waktu tiga bulan sudah cukup karena dalam pemilu cepat harus dilaksanakan dalam waktu 30 hingga 60 hari setelah pembubaran, sehingga memberikan jangka waktu yang lebih singkat untuk melakukan prosesnya.
Bule menambahkan meskipun tidak ada surat kabar, TV, atau radio di pulau-pulau tersebut, masyarakat sudah mengetahui referendum tersebut karena upaya kesadaran yang berkelanjutan. (*)
Discussion about this post