Jayapura, Jubi – Hasil referendum tidak mengikat yang dilakukan pada di Bougainville pada 2019 menunjukkan bahwa 97,8 persen pemilih mendukung kemerdekaan wilayah itu dari Papua Nugini. Akan tetapi, Bougainville dan Papua Nugini sama-sama belum siap untuk mengajukan hasil referendum itu untuk diratifikasi Parlemen Nasional Papua Nugini.
Referendum kemerdekaan Bougainville itu digelar mengikuti ketentuan Perjanjian Perdamaian Bougainville pada 2001. Perjanjian itu mengakhiri perang saudara yang mengoyak wilayah tersebut sejak era 1990-an.
Hasil dari Referendum 2019 seharusnya diratifikasi oleh Parlemen Nasional Papua Nugini selambat-lambatnya dua tahun setelah referendum digelar. Akan tetapi, Radio New Zealand pada Jumat (22/3/2024) melansir bahwa upaya ratifikasi itu terganjal gonjang-ganjing politik karena ancaman mosi tidak percaya parlemen kepada pemerintahan Perdana Menteri James Marape.
Parlemen Nasional Papua Nugini dalam kondisi reses, dan tidak akan bersidang hingga pekan terakhir Mei 2024. Gonjang-ganjing politik juga menyulitkan upaya ratifikasi hasil referendum oleh Parlemen Nasional Papua Nugini.
Bougainville menilai upaya ratifikasi hasil referendum kemerdekaannya itu hanya memerlukan dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Di pihak lain, Menteri Urusan Bougainville Papua Nugini, Manasseh Makiba telah menetapkan bahwa ratifikasi hasil referendum itu membutuhkan dukungan dua pertiga anggota parlemen, atau dukungan mayoritas absolut.
Menteri Bougainville yang mengawasi pelaksanaan kemerdekaan, Ezekiel Masatt percaya bahwa besaran jumlah dukungan anggota parlemen itu tidak sah, namun akan berlaku kemudian ketika amandemen konstitusi diperlukan.
Masatt juga menyatakan bahwa ratifikasi referendum bukanlah satu-satunya jalan menuju kemerdekaan Bougainville. Dia mengatakan Bougainville hampir menyelesaikan penulisan konstitusinya sendiri. Dengan menggunakan dokumen itu, Bougainville dapat mendeklarasikan kemerdekaannya tanpa melalui Parlemen Nasional Papua Nugini.
“Dengan memiliki konstitusi tersebut, kita akan mengikuti jejak Papua Nugini dalam mengadopsi konstitusi tersebut dan kemudian memperoleh kemerdekaan dengan mengadopsi konstitusi independen tersebut. Dan presedennya adalah Papua Nugini. Kami tidak melakukan apa pun yang melanggar hukum. Itulah sebabnya Papua Nugini memperoleh kemerdekaannya dari Australia,” kata Masatt.
Rancangan kedua Konstitusi Bougainville akan dijadwalkan selesai pada akhir bulan ini. Masatt sedang mengejar rencana untuk merekrut moderator untuk memecahkan masalah yang menghambat kemajuan.
Bougainville mempunyai jadwal yang ditetapkan untuk mencapai tujuan kemerdekaannya paling cepat pada tahun 2025, atau paling lambat tahun 2027. Masatt mengatakan untuk mengatasi penundaan ini, keberadaan moderator yang bekerja akan bermanfaat, dan peran tersebut bisa lebih luas daripada isu referendum.
“Setiap kali kami memberikan suara di JSB [pertemuan Badan Pengawas Bersama yang melibatkan kedua pemerintah], kami membuat komitmen, dan kami mengatakan semua hal ini perlu diperhatikan. Ketika kami kembali ke JSB berikutnya, masalah yang sama masih mengotori agenda JSB, karena tampaknya tidak ada [orang] yang mengerjakannya.”
Masatt percaya bahwa moderator dapat memberikan keahlian penyelesaian konflik, dan akan membawa staf yang dapat menangani isu-isu lain. Berbagai isu itu tidak terbatas kepada agenda ratifikasi hasil referendum, namun juga isu otonomi umum yang mempengaruhi hubungan Bougainville dengan Port Moresby. (*)
Discussion about this post