Jayapura, Jubi – Warga Papua Nugini menghadapi prospek penjatahan bahan bakar yang lebih banyak dalam beberapa hari mendatang. Hal ini terjadi setelah pemasok utama Puma Energy memperingatkan stok bahan bakar minyaknya kian menipis.
“Puma telah berjuang untuk memenuhi pasar bahan bakar selama setahun terakhir dan menyalahkan kurangnya devisa untuk membayar impor minyak bumi,” demikian dikutip Jubi dari rnz.co.nz, Jumat (20/10/2023).
Perusahaan tidak berhasil meminta bank sentral, Bank PNG, untuk menyediakan lebih banyak devisa.
Koresponden RNZ Pacific di PNG, Scott Waide, mengatakan dampak larangan tersebut dirasakan di seluruh negeri.
“Ini adalah reaksi berantai yang terjadi setiap kali Puma Energy mengeluarkan pernyataan. Biasanya ada pernyataan lain dari Air Niugini yang mengatakan kami menunggu masalah ini diselesaikan dan penerbangan akan diturunkan atau ditunda setidaknya selama beberapa hari,” kata Waide.
Dia mengatakan kurangnya devisa dituding sebagai penyebab kekurangan roti pada pekan lalu karena pengiriman tepung impor terhambat. Sementara Kementerian Kesehatan kesulitan mendatangkan obat-obatan.
Babak baru penjatahan ini pasti akan menyebabkan pasar gelap bahan bakar kembali beraksi.
Waide mengatakan pengumuman Puma Energy akan mendorong orang-orang mendirikan kios di belakang pasar lokal. Selajutnya mereka akan menjajakan bensin dan oli mesin, seringkali dalam botol Coke kecil atau jerigen ukuran lima liter.
“Orang-orang membawa bahan bakar ke mana pun mereka bisa mendapatkan bahan bakar karena mereka tahu mereka bisa mendapat keuntungan besar darinya,” katanya.
“Anda bisa berkendara di pinggir jalan dan Anda melihat orang-orang menjual bahan bakar dan Anda tahu bahwa biayanya, kadang-kadang, dua kali lipat dari biaya yang Anda dapatkan di SPBU,” tambahnya.
“Lebih mudah mendapatkan bahan bakar di sana, namun sangat sulit bagi pihak berwenang untuk berjalan di jalan raya dan mengatur setiap operator pasar gelap yang menjual bahan bakar,” katanya.
Masalah bahan bakar lainnya memicu pemogokan oleh pengemudi PMV atau kendaraan bermotor umum, sebutan untuk bus di PNG.
Para pengemudi PMV di Mt Hagen, yang menyediakan layanan ke kota-kota penting di dataran tinggi, merasa frustrasi karena meskipun harga bahan bakar meningkat, yang kini berkisar lima kina (25 ribu rupiah per liter) atau sekitar $US1,32 per liter, mereka tidak diperbolehkan mengenakan tarif lebih mahal untuk ongkos bus.
Mereka telah mengajukan petisi kepada pemerintah provinsi untuk meminta kenaikan tarif. (*)