Oleh: Markus Haluk*
Beberapa suku telah hilang seterusnya, misalnya suku yang dulu berdiam dekat muara sungai Swan di Australia Barat, menurut perhitungan pada abad lalu berjumlah 1.500 jiwa. Banyak kota-kota besar di Australia, orang asli pemilik tanah dibunuh dan punah.
Misalnya di daerah untuk kota Perth, suku itu cepat sekali ‘disedikiti’ sampai anggotanya yang terakhir, Joobailch, meninggal pada tahun 1907. Pada 2023, jumlah penduduk orang asli suku Aborigin 812.728 jiwa dari populasi 26.439.111 jiwa.
Wilayah Hindia
Kepulauan Andaman
Sebelum tahun 1858, kaum Negrito di pulau Andaman berjumlah 6.000 jiwa. Setelah pemerintah Inggris berkuasa/berkoloni sekarang hanya 600 orang Negrito yang tersisa. Di antara mereka ada banyak perempuan yang disteril, dan dengan penyakit kelamin yang dimasukkan para migran pada abad yang lalu.
Filipina
Suku-suku asli yang masih ada di pulau Mindanao sudah lama diusir dari pantai ke rimba dan gunung-gunung di pedalaman. Susahnya para pedagang telah masuk wilayah hutan rimba itu juga, dan sedang membunuh penduduk pribumi dan merampas tanah mereka, khususnya untuk memperoleh hasil hutannya. Misalnya pada tahun 1971 beberapa ratus penduduk asli dilaporkan menjadi korban dalam pembunuhan beşar di sebelah barat pulau Mindanao.
Presiden Marcos turun tangan, dan telah menyusun sebuah organisasi yang disebut Panamin, di bawah pimpinan Manuel Elizalde, untuk melindungi suku-suku yang sedang ‘menuju pemusnahan’ di pulau-pulau di Filipina.
Pada hari ini kita selalu mendengar laporan atau protes mengenai beberapa jenis binatang yang sedang musnah; misalnya harimau di Sumatera, komodo di Nusa Tenggara Timur, gorila di Afrika, buaya, ikan paus, dan lain sebagainya. Tetapi belum banyak orang memperhatikan bahwa banyak sekali kebudayaan dan manusia sedang mengalami kemusnahan sama seperti jenis-jenis binatang tersebut di atas.
Merujuk pada fakta di atas dan statistik yang ada para ahli memperkirakan bahwa diperkirakan seluruh dunia sedang kehilangan lima suku bangsa setiap tahun.
Ancaman genosida dan ekosida di West Papua
Mengikuti data BPS Papua dan berbagai penelitian demografi kependudukan di Tanah Papua salah satunya ialah Dr. Jim Elmslie dalam Under the Gun Indonesian Economic Development versus West Papua Nationalism dapat diringkaskan sebagai berikut, pada tahun 1971 penduduk Papua berjumlah 923.000 jiwa terbagi atas non-Papua 36.000 dan Papua 887.000 jiwa.
Pada tahun 1990 non Papua 414.210 jiwa dan Papua berjumlah 1.215.897.00 dengan jumlah total 1.630.107.00 jiwa. Pada 2005 jumlah penduduk non Papua, 1.087.694.00 dan Papua, 1.558. 795.00 jumlah total 2.646. 489.00.
Pada 2011, jumlah non Papua, 1.980.000.00 dan Papua 1.700.000,00 jumlah total, 3.680.000.00 jiwa. Pada 2020 jumlah penduduk Provinsi Papua 4,3 juta jiwa dan Provinsi Papua Barat 1,13 juta jiwa.
Jumlah total penduduk Provinsi Papua dan Papua Barat 5. 3.13.000 jiwa. Dari jumlah penduduk Papua dan Papua Barat tersebut, dalam kurun waktu 10 tahun dari 2010-2020 di Provinsi Papua terjadi penambahan penduduk 1,3 juta jiwa, sedangkan penambahan penduduk Provinsi Papua Barat 373,65 ribu jiwa. Total penambahan penduduk dari luar Papua yang masuk 1, 6 juta jiwa.
Bukan hanya manusia yang sedang musnah, melainkan juga terjadi pemusnahan pada lingkungan hidup.
Kejahatan lingkungan hidup di Papua selama 20 tahun (2001-2021) demi investasi
Sebagaimana diketahui bersama bahwa Papua memiliki 2/5 (38%) dari areal hutan yang masih ada di Indonesia. Akan tetapi, faktanya saat ini perusahaan-perusahaan membersihkan lahan untuk kelapa sawit, pabrik kertas/pulp dan pertambangan yang beroperasi di Papua mengakibatkan deforestasi.
Penyebab lain untuk deforestasi adalah pembangunan infrastruktur sipil, pemukiman warga transmigrasi, pembangunan kantor, jalan trans antarkabupaten, daerah pembangunan infrastruktur TNI/Polri.
Pada Maret-Mei 2020 melalui citra satelit ditemukan deforestasi lahan seluas 1.488 hektare pada areal kelapa sawit. Yang terbesar di wilayah Manokwari (372 ha), Merauke (372), Boven Digoel (222 ha), dan Bintuni (110 ha). Laporan Indonesian Monitoring Coalition (koalisi ini terdiri dari 11 NGOs) deforestasi di Papua sangat meningkat selama administrasi Presiden Jokowi.
Menurut data BPS tahun 2020, luas tutupan hutan Papua adalah 34,4 juta hektar (ha). Selama 20 tahun terakhir areal hutan alami mengalami deforestasi 663,433 ha; 71% dari deforestasi ini terjadi selama kurun waktu 2011-2019. Maka rata-rata deforestasi di Papua sekitar 34,000 ha per tahun; puncaknya tahun 2015: 89,000 ha.
Selama kurun waktu 2015-2019 (kabinet Jokowi I) Papua kehilangan 298,600 ha. Deforestasi yang paling besar terjadi di Merauke (123,000 ha), Boven Digoel (51,600 ha), Nabire (32,900 ha), Teluk Bintuni (33,400 ha), Sorong (33,400 ha) dan Fakfak (31,700 ha).
Bertolak dari fakta ini apabila ada penguasa kolonial Indonesia (Presiden Jokowi dan kabinetnya) pada Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara G-20 di Roma pada 31 Oktober 2021 mengatakan: “Indonesia memiliki hutan tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki arti strategis dalam menangani perubahan Iklim.” Maka pertanyaannya ialah perlindungan hutan tropis mana yang dimaksudkan?
Perlu tegaskan di sini bahwa penurunan luas tutupan hutan Papua memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan orang Papua. Sebagian besar OAP adalah kaum peramu, peladang, petani, pemburu dan nelayan, tentunya memiliki ketergantungan terhadap lingkungan sekitar sebagai sumber ketersediaan pangan.
Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan baik hutan maupun laut, secara langsung akan berdampak terhadap sumber pangan dan pendapatan OAP.
Catatan penutup
Berpotret dari fakta selama ini dan atas apa yang digambarkan dalam materi ini, maka kehadiran orang asing, suku-suku Eropa di berbagai wilayah di dunia membawa dampak genosida pada suku-suku asli setempat. Demikian juga kehadiran bangsa Eropa di West Papua pada awal abad ke 19-20. Kemudian ditindaklanjuti oleh Bangsa Indonesia di West Papua telah berdampak pada pemusnahan orang asli Papua khususnya pada orang Port Numbay.
Kontak dengan orang Eropa dan Indonesia di West Papua mengantar orang Port Numbay telah menjadi marjinal, terdiskriminasi secara rasial dan sedang menuju pemusnahan etnis di tanah leluhurnya.
Hanya kaum elite dan buruh kasar penguasa yang sudah mati nurani, matanya dibutakan oleh senjata intelijen, senjata hukum dan senjata loreng saja yang masih memandang dan menghibur mereka dengan berkata investasi sawit, Otsus, pemekaran membawa kesejahteraan, membawa kemajuan. Ini adalah dalil-dalil klasik mereka dalam membenarkan tindakan pendudukan demi genosida, ekosida, dan etnosida terhadap orang asli Papua.
Pada akhir materi ini, saya hendak menegaskan kembali bahwa Port Numbay, West Papua bukan tanah kosong, Papua bukan milik kaum borjuis, elite kapitalis, elite militer, dan elite politisi untuk investasi emas, kelapa sawit, perkebunan dan lainnya. Tetapi tanah Port Numbay, West Papua adalah tanah kami, tanah milik orang Papua, Papua merupakan harta orang Melanesia.
Karena itu, mari kita lantunkan lagu Black Brothers, pada 1975, “Sadarlah kau cara hidupmu, yang hanya menelan korban yang lain. Bintang Fajar terbit, hari kiamat, kiamatlah juga engkau.” Selesai. (*)
*Penulis adalah Sekretaris Eksekutif United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP
Discussion about this post