Oleh: Kristoforus Nawika*
Pemilu serentak telah dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024, di seluruh Indonesia, termasuk Papua. Rabu menjadi hari bersejarah bagi negeri ini, tetapi juga menjadi salah satu hari besar bagi umat Katolik yang merayakan hari Rabu Abu sebagai tanda memasuki masa prapaskah, sekaligus merayakan Valentine’s Day (hari kasih sayang).
Beberapa orang menulis di Facebook, instagram (IG), TikTok, dan di story WhatsApp, “Tinta di Jari, Abu di Dahi, dan Cinta di Hati” –menggambarkan tiga kegiatan serentak pada hari yang sama, 14 Februari 2024.
Tinta di jari menggambarkan pemilu, pencoblosan rakyat atas tiga paslon, capres dan cawapres. Abu di dahi menandakan tindakan dan penghayatan umat Katolik di seluruh dunia yang memasuki masa Prapaskah, dan cinta di hati menandakan bahwa pada hari Rabu itu juga kita serentak merayakan hari kasih sayang.
Tindakan cinta harus nampak di dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan tindakan pencoblosan merupakan bagian dari pemberian kasih dan cinta kita kepada mereka yang telah terpilih. Karena tanpa dukungan dan partisipasi dari semua rakyat, maka pesta demokrasi tidak akan sah, tidak akan terlaksana dengan baik, dan tidak ada pemenang dalam pemilu tersebut.
Kalah-menang dalam suatu pertandingan atau pemilihan umum merupakan hal biasa dan sangat wajar. Karena tidak mungkin semua menjadi pemenang, dalam artian dua atau tiga paslon serentak menempati satu kursi.
Dalam hal ini paham demokrasi menuntun dan membawa kita pada suatu keyakinan, bahwa suara terbanyak itulah yang menjadi pemenang. Paham ini sudah menjadi suatu habitus atau kebiasaan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan berbagai cara dan tindakan, kita bisa menjadi pemenang, tetapi juga kita bisa menjadi kalah. Tergantung dari pribadi kita; cara komunikasi, pembawaan diri yang tidak saling menghina atau bahkan menjatuhkan lawan debat di panggung.
Karena berpolitik bukan hanya soal rasa, tapi soal kepribadian dari paslon juga sangat menentukan kemenangan atau kekalahan. Selebihnya rakyat yang akan menilai dan memutuskan, yang dibuktikan dengan pemilihan di TPS.
Penting untuk kita ketahui bersama bahwa dalam berpolitik, tidak ada benar-salah. Tetapi yang ada hanya menang-kalah. Oleh sebab itu, orang bisa berbohong dan menggunakan berbagai cara demi meraih kesuksesan atau kemenangan. Orang bisa menipu dan menggunakan cara-cara licik untuk meraih kemenangan.
Tetapi, patokan umum dan aturan bersama tetap merujuk pada paham demokrasi, yakni suara terbanyak adalah pemenang.
Ketika suara terbanyak jatuh pada paslon nomor 2 yakni Prabowo-Gibran versi hitung cepat hasil pemilu itu, mereka menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada seluruh rakyat Indonesia. Mereka menyampaikan isi hati yang terdalam ketika diberikan kesempatan untuk memberikan sambutan-sambutan.
Yang menjadi catatan atau tekanan penulis adalah bahwa paslon urut nomor 2 saat memberikan sambutannya tidak menjadi sombong, sama sekali tidak menghina paslon lainnya. Paling tidak, menurut penulis. Mereka menyampaikan terima kasih kepada paslon nomor 1 dan paslon nomor 3 yang telah memberi diri mereka untuk dinilai oleh publik.
Sikap kerendahan hati dan sikap untuk menghargai sesama terutama pada tingkat calon presiden dan wakil presiden memberikan satu pelajaran berarti bagi kita. Ketika kita menang dalam suatu pertandingan atau perdebatan, kita tidak boleh sombong, menghina atau menjatuhkan sesama. Karena tanpa partisipasi mereka, kita tidak akan menjadi pemenang. Begitu juga dengan mereka yang kalah dalam pertandingan atau suatu perlombaan.
Ketika menerima kekalahan jangan merasa terhina, kecil hati dan putus asa. Masih ada kesempatan lain untuk berekspresi dan bersaing. Tugas kita sekarang adalah berbenah diri, perbanyak pengalaman di lapangan, ubah sikap dan memperluas relasi.
Dengan semuanya itu, percayalah bahwa kita akan menjadi pemenang pada waktu yang ditentukan. Biarlah rakyat yang memilih dan memberikan kepercayaan itu kepada kita sebagai pemimpin yang merakyat, karena lahir dari rahim rakyat.
Sebab pemimpin yang merakyat adalah pemimpin yang hidup dan mati untuk rakyatnya. Imbalannya adalah bahwa rakyat akan selalu mendukung dan mendoakan para pemimpinnya, yang ketika menang tidak sombong dan ketika kalah tidak merasa terhina. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur, Abepura, Jayapura, Papua
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!