Oleh: Bernardus Bofitwos Baru, OSA*
Santo Augustinus dan kota Manusia (the city of man)
Dalam bukunya yang tersohor, De Civitate Dei (kota Allah), Santo Agustinus dari Hippo, Afrika Utara (sekarang Aljazair), merefleksikan dan mendeskripsikan makna kehancuran kota-kota manusia, yang terjadi sepanjang sejarah manusia, seperti dikisahkan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan kehancuran kota-kota besar lainnya, termasuk kota Roma.
Kehancuran kota Sodom dan Gomora, Athena dan Alexandria, Yerusalem dan Roma, serta yang lainnya, dijadikan Augustinus sebagai objek refleksi iman bagi umat pada zamannya dan juga bagi kita sekarang ini. Kehancuran kota-kota tersebut melahirkan pertanyaan-pertanyaan reflektif yang mendalam.
Mengapa kota-kota yang megah dan kokoh, baik secara politik, ekonomi, budaya dan praktik keagamaan, serta didukung dengan kekuatan militer yang andal, hancur berkeping-keping? Mengapa terjadi kehancuran ini? Apa saja faktor-faktor penyebabnya? Siapa saja aktor penyebab kehancuran ini? Di mana letak kesalahan besar mereka?
Dari refleksinya, Augustinus menemukan bahwa faktor utama penyebab kehancuran kota-kota peradaban tersebut adalah perilaku kejahatan manusia sendiri, terutama para pemimpinnya.
Oleh karena perilaku hidup yang jahat (amoral) para pemimpinnnya, yang diwujudnyatakannya melalui kebijakan politik, ekonomi, hukum, dan keamanan (militer), bahkan sikap para pemimpin agama pun yang berpihak kepada kepentingan penguasa, daripada kepentingan rakyatnya dan demi kebaikan bersama (bonum commune).
Kebaikan yang diutamakan oleh para pemimpin negara dan agama adalah kebaikan diri dan kroninya, bukan kebaikan masyarakat atau kebaikan bersama.
Kebaikan diri sendiri ini oleh Augustinus dinamai cinta duniawi (love of self). Cinta duniawilah fondasi atau pilar didirikannya kota duniawi.
Cinta duniawi adalah cinta eros atau cinta yang dilandasi oleh nafsu ketamakan dan kerakusan atas kekuasaan, kenikmatan materi (terutama uang), seks dan popularitas atau pujian pada diri sendiri. Karena didayai/dikuasai oleh roh kejahatan tersebut di atas, maka para pemimpinnya menjalankan kebijakan politik, ekonomi, hukum, dan keamanan, serta keagamaan, semata-mata demi mengamankan kepentingan ketamakan dan kerakusannya. Bukan demi kesejahteraan rakyatnya.
Oleh karena itu, Augustinus menyimpulkan bahwa penyebab kehancuran kota-kota manusia dalam sejarahnya, adalah perilaku jahat para pemimpinnya, baik pemimpin sipil dan militer, maupun pemimpin agama pada zamannya.
Tentang cinta eros (love of self) ini, diperjelas oleh ide Plato tentang epithumia. Yaitu hasrat besar untuk mengumpulkan uang dan kekayaan materi sebanyak-banyaknya, dengan cara-cara yang tidak adil dan tidak benar, dengan cara menindas kaum rakyat jelata (the grass root).
Karena dilandasi oleh cinta duniawi atau cinta diri tersebut, maka para pemimpinnya, menetapkan kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, hukum, keamanan, dan keagamaan, semata-mata demi kepentingannya sendiri.
Akibatnya, sistem kota dan peradabannya mudah runtuh dan hancur berantakan.
Menurut Augustinus, bilamana pikiran, hati, dan jiwa para pemimpin dunia ini didayai (diperbudak) oleh roh cinta pada diri sendiri atau cinta eros, maka buahnya adalah kehancuran, kebinasaan dan kematian nilai-nilai kemanusiaan dan keilahian di dalam dirinya. Bahkan tidak hanya kematian nilai-nilai manusia dan ilahi, tetapi juga kematian jati dirinya sebagai citra Allah.
Augustinus menegaskan bahwa kebinasaan kota duniawi yang diperintah oleh para pemimpin eros, sebagai gambaran antisipasi kebinasaan kekal pada saat pengadilan akhir (the final judgment) pada zaman akhir (escaton).
Bagi Augustinus, “kehancurleburan” (chaos) kota duniawi adalah cerminan kebinasaan pada saat pengadilan akhir, yang dijatuhkan Allah kepada manusia (the universal judgment).
Menurut Augustinus, kehancuran kota-kota duniawi tidaklah sekadar sejarah manusia belaka, melainkan sejarah Allah pula. Allah jugalah yang terlibat di dalam seluruh proses pra pengadilan-Nya terhadap manusia, dalam sejarah hidupnya di dunia ini, melalui kehancuran kota-kota tersebut.
Allah setiap saat terlibat di dalam setiap sejarah manusia. Ia senantiasa menunjukkan kemahakuasaan dan kerahiman atau belas kasih-Nya kepada manusia. Pra peradilan-Nya terhadap manusia, baik secara pribadi (individu), maupun bersama (kolektif), diperlihatkan-Nya melalui berbagai bencana (disasters). Baik bencana alam, sosial, politik, ekonomi, penyakit, dan bencana perang, maupun bencana krisis moral.
Oleh karena itu, bagi Augustinus, berbagai bencana yang melanda hidup manusia sepanjang sejarahnya adalah bagian integral dari pra pengadilan Allah kepada manusia.
Yang dimaksud dengan pra pengadilan Allah, yaitu Allah terlibat secara tidak langsung mengadili manusia, khususnya para pemimpin yang bertindak tidak adil, tidak jujur, dan tidak berpihak pada kebenaran, melalui hukum-hukum kosmik (alam) dan hukum etika-moral.
Ketika manusia dengan sengaja, tahu dan mau merusak tatanan hukum alam dan etika-moral yang ada, demi egoisme dan ketamakannya, maka pasti terjadi kerusakan dan kehancuran tatanan hukum alam dan etika-moral tersebut, sehingga akibatnya membawa bencana alam dan moral terhadap hidup manusia sendiri.
Bencana alam seperti banjir, tanah longsor, hujan, tsunami, turunnya salju yang tidak normal, terjadinya wabah penyakit, dan lain-lain. Bencana etika-moral seperti kehancuran keluarga, lahirnya berbagai kejahatan moral: narkoba, begal, perampokan, pembunuhan, kejahatan seksual, dan lain-lain.
Menurut teori theodicea (filsafat), kejahatan alam ini disebut psyche malum. Artinya, secara alamiah potensi keburukan dan kebaikan selalu berbaur bersama dalam proses mekanisme kimiawinya, sesuai dengan porsinya masing-masing, sehingga terciptalah mekanisme harmoni atau keseimbangan.
Augustinus menyebut sistem ini sebagai sistem ordine. Sistem ordine adalah sistem yang diciptakan Allah sejak semula secara teratur, terstruktur, tersusun, rapi, dan misteri dengan karakteristik kimiawinya masing-masing: feminin-maskulin (betina-jantan), terang-gelap, panas-dingin, basah-kering, keras-lembek, hitam-putih, kecil-besar, tinggi-rendah, panjang-pendek, manis-pahit, dan seterusnya.
Ketika sistem harmoni ini tidak dijaga dengan baik oleh manusia, melalui cara menaati hukum-hukumnya (etika-moral dan alam), maka pasti akan terjadi kehancuran (chaos) atau disharmoni dalam hidup manusia dan seluruh tatanan alam.
Augustinus menegaskan bahwa melalui pengalaman atas berbagai bencana yang menimpa hidup manusia dalam sepanjang sejarahnya, seharusnya manusia menjadikan peristiwa-peristiwa ini sebagai pelajaran moral dan iman yang berharga. Karena itu, kehancuran berbagai kota, dijadikan kenangan (memoria) sejarah manusia.
Demikian halnya, bangsa dan pemimpin dunia yang jahat hendaknya dijadikan memori sejarah, sekaligus memori iman (memory of faith).
Artinya, kota-kota yang hancur akibat kejahatan manusia, sebagaimana telah disebutkan di atas; bangsa-bangsa jahat seperti bangsa Vandal, Gotik, Romawi, dan lain-lain. Dan pemimpin-pemimpin jahat seperti raja Nebukadnezar, Firaun, Kaisar Nero, Adolf Hitler, dan lain-lain dijadikan pelajaran iman dan moral bagi kita saat ini dan ke depan.
Namun, Augustinus memberikan suatu penegasan yang sangat menarik. Bahwa di dalam kota-kota jahat itu terdapat juga orang-orang baik, yang sungguh-sungguh beriman kepada Allah dan taat kepada hukum-hukum-Nya.
Orang-orang beriman ini tetap percaya kepada kuasa dan kebaikan Allah. Dalam tradisi Alkitab Perjanjian Lama, kelompok orang baik ini disebut anawim. Anawim adalah kelompok orang yang memegang teguh janji Allah dan taat sepenuhnya kepada hukum-hukum-Nya.
Merekalah yang terus-menerus berseru kepada Allah melalui doa, puasa dan karitas agar Ia memperlihatkan belas kasih dan kemurahan hati-Nya, kepada manusia berdosa.
Sebaliknya di dalam kota-kota yang baik, terdapat juga orang-orang jahat yang tidak beriman atau tidak percaya kepada Allah. Di dalam kota-kota yang dilihat baik, tapi dihuni pula orang-orang jahat, yang mengabaikan hukum dan campur tangan Allah dalam hidup mereka. Inilah mata rantai sistem kejahatan sosial.
Sistem sosial ini pun sama dengan sistem ordine alam. Maka sistem sosial ini juga memiliki mekanisme baik-buruk, yang saling menyatu dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Karena itu, diperlukan sistem sosial yang senantiasa menjaga keseimbangan mekanisme fungsi sosial ini, agar tetap tercipta keharmonisan hidup sosial. Ketika tatanan dan fungsi sosialnya tidak terbangun secara ordine, maka pasti akan terjadi disharmoni.
Disharmoni adalah kehancuran, kebinasaan, kematian bagi hidup manusia secara sosial dan individu.
Perbandingan kota manusia (the city of man) dan kota Allah (the city of God)
Menurut Augustinus, batu-batu penjuru fondasi bangunan kota Allah adalah cinta ilahi, yaitu amor et caritas atau agape.
Yang dimaksudkan dengan amor et caritas atau agape adalah Allah sendiri. Allah sendirilah yang menjadi landasan dan pilar utama bangunan kota surgawi atau kota Allah.
Di sinilah letak perbedaan antara landasan dan pilar bangunan kota manusia (kota duniawi) dengan kota Allah (kota surgawi). Kota manusia dibangun di atas eros manusia, yaitu ambisi dan kesombongannya (superbia), kerakusan dan ketamakannya, kekuasaan dan otoriternya.
Sedangkan kota Allah dibangun di atas cinta Allah, yaitu pemberian diri-Nya yang total dan pengorbanan-Nya, serta pelayanan-Nya yang tulus dan rendah hati (umiltas) kepada sesama, tanpa memperhitungkan kepentingan diri-Nya sendiri, yaitu untung dan ruginya.
Kota duniawi dibangun di atas pikiran dan mentalitas manusia fana, sedangkan kota Allah didirikan di atas pikiran dan mentalitas Allah sendiri. Kota manusia bersifat sementara, (tidak kekal), sedangkan kota Allah bersifat tidak sementara (abadi). Bersambung. (*)
*Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur, Abepura, Jayapura, Papua