Oleh: B. Mario Yosryandi Sara*
Dalam beberapa dekade terakhir, seturut dengan perkembangan platform digital, kehidupan demokrasi telah termediasi sedemikian rupa. Tidak sekadar termediasi oleh media massa konvensional seperti media cetak dan elektronik, melainkan juga demokrasi telah terintegrasi oleh new media, terutama media internet. Patut diakui bahwa penggunaan media sosial memberikan kemudahan akses bagi setiap orang dalam hal berpendapat.
Salah satu isu yang dikupas oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya “21 Lesson for the 21st Century” adalah kebebasan. Yuval membuat judul yang erat kaitannya dengan mahadata (big data). Ia mengingatkan kisah kebebasan; dalam pandangan liberal, semua otoritas berasal dari kehendak bebas manusia, seperti yang dinyatakan melalui perasaan, keinginan, serta pilihan. Dan, kebebasan di ranah digital dikenal dengan cyberdemocracy.
Namun cerminan kebebasan itu dominan disalahgunakan oleh pengguna media sosial, lantas mencerminkan interaksi dalam dunia virtual kian mengkhawatirkan bahkan memungkinkan melahirkan kripto anarkisme. Yaitu kondisi dimana ada hasrat menciptakan masyarakat digital yang berisikan individu-individu bebas yang berkumpul secara egaliter tanpa sebuah hierarki.
Padahal ruang digital dapat ditransformasi menjadi roadmap masa depan demokrasi yang inklusif, membantu publik membangun gagasan visioner, menemukan orientasi politik dan mampu menentukan arah kebijakan bangsa ke depan. Bukan sebaliknya, mempublikasi konten negatif yang dapat menimbulkan hate speech, diskriminasi, cyberbullying, polarisasi politik, dan pelbagai bentuk bad behavioral.
Fenomena Cyberactivism Kita
Sekarang ruang digital kian dikusutkan dengan bertebarannya konten-konten berkemasan hoaks. Alhasil membawa demokrasi pada pemaknaan disintegrasi, dikarenakan mulai minimnya khazanah edukatif maupun norma etis di lingkungan cyberactivism. Meski pada beberapa kasus, yang terlihat dalam aktivisme virtual yang diinisiasi oleh pengguna media sosial (netizen) berhasil mendapatkan atensi publik. Dalam aktivisme tersebut tak hanya mendapatkan simpati warganet, lebih daripada itu berdampak pada hasil yang positif.
Namun, penggunaan media daring, terutama media sosial tak bisa dikatakan melulu berpotensi positif. Rahkman Ardi dalam sebuah artikel berjudul “Media dan Perilaku Politik” (Psikologi Politik, 2021; 317), menjelaskan bahwa medium daring tidak hanya mengubah pola gerakan kolektif, ia juga menyebabkan kaburnya batasan wilayah personal dan publik bagi seseorang. Hal-hal yang berkaitan dengan urusan personal dapat menjadi persoalan publik ketika ia terungkap dalam media sosial. Begitu juga urusan publik dapat menjadi personal ketika ia berada dalam ruang virtual.
Selain itu, hari ini kita pun turut merasakan bagaimana kebahasaan digital telah diwarnai oleh mewabahnya fenomena pasca-kebenaran (post-truth) dalam kontestasi politik, yang sebagaimana disinggung di tengah artikel ini, disintegrasi demokrasi.
Alfan Alfian melalui buku “Demokrasi Digital” (2022; 259) menegaskan, bahwasannya bahasa pasca kebenaran dikaitkan dengan sentimen emosional yang membawakannya, sehingga hakikatnya ia tengah mengaduk-aduk emosi sentimen identitas dan lain sebagainya. Tanpa disadari, dampak dari fenomena sebagaimana uraian di atas adalah menjamurnya konten-konten informasi berisikan hoaks dan ujaran kebencian di pelbagai platform sosial media, alhasil demokrasi kian keruh dan polarisasi semakin tajam.
Sebagaimana hasil identifikasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), apabila pada triwulan pertama tahun 2023 sudah terdapat 425 isu hoaks yang beredar di website dan platform digital. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan pada triwulan pertama tahun 2022 yang mencapai 393 isu hoaks. Sejak Agustus 2018 sampai 31 Maret 2023, Tim AIS Kemenkominfo mengidentifikasi sebanyak 11.357 isu hoaks (kominfo.co.id, 6/4/2023).
Adapun hasil survei Katadata Insight Center (KIC) dan Kemenkominfo, bahwa masih terdapat masyarakat yang menyebarkan berita bohong (hoaks). Sebanyak 11,9% responden mengakui telah menyebarkan hoaks pada 2021.
Persentase itu naik dari tahun 2020 (databoks.katadata.co.id, 20/1/2022).
Data tersebut menegaskan bahwa hoaks kian menjadi salah satu hambatan dalam proses demokrasi. Dikarenakan dapat meminggirkan gagasan substansial, baik dalam kontestasi politik, lingkungan masyarakat bahkan membias ke ranah akademis. Di satu sisi, hoaks pun dapat mengakibatkan segregasi sosial, sehingga kapan saja dan dimana saja bisa merusak soliditas dan solidaritas sebagai modal dalam membangun, mengawal, dan membentengi demokrasi.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt melalui “How Democracies Die” (2019; 96), menekankan bahwa polarisasi bisa menghancurkan norma demokrasi. Ketika perbedaan sosial dan ekonomi, rasial, atau agama, memunculkan sikap partisan ekstrem, sehingga masyarakat terbagi menjadi kubu-kubuan politik yang pandangan dunianya tidak hanya berbeda, melainkan saling eksklusif, dan toleransi semakin sulit dipelihara.
Tugas ideologis kaum milenial
Media sosial memang susah dikontrol, apalagi manakala dalih kebebasan berpendapat dijamin negara. Publik terkesan semakin kritis melalui media sosial. Kesan ini ada benarnya, tetapi mungkin konsekuensi belaka, ketika semua orang bisa berpendapat dan diunggah ke media sosial. Dalam konteks ini, pembangunan sebagai kebijakan pemerintah memang dapat dikritik kapan saja dan di mana saja oleh siapa saja melalui media sosial. Isu-isu sosialisasi pembangunan yang dituliskan pemerintah, seringkali memang kalah menarik ketimbang tulisan ringkas masyarakat awam yang begitu vulgar.
Kendati demikian John Rawls dalam “Politik Diferensiasi” (Otto Gusti, 2011; 84) menuturkan, bahwasannya demokrasi bisa dibangun atas diskursus. Warga diberi kebebasan untuk mendiskusikan persoalan-persoalan politis secara publik atas dasar rasional. Gagasan Rawls diistilahkan “overlapping consensus” atau consensus lintas batas. Berkaitan dengan Rawls, hemat penulis, di sini peran dari kelompok milenial sangat dibutuhkan menjadi semacam pembuka babak baru bagi demokrasi.
Kondisi tersebut perlu diuraikan soal bagaimana nasib demokrasi di tangan milenial ke depan. Karena dalam diri kaum milenial terdapat tiga karakter, yakni creative, connected, dan confidence. Ketiga karakter ini dapat berdampak terhadap demokrasi yang inklusif, termasuk salah satunya keluar dari kemelut polarisasi dan sikap apolitis civil society.
Perlu digarisbawahi, milenial dalam konteks ini, adalah sebagai lokomotif dalam mendorong pemahaman pluralisme yang bersifat asertif. Tak bisa bersifat sekuler karena tidak meniadakan identitas agama, tetapi juga tidak menyangkal keberagaman.
Selain penegakan hukum, terdapat cara lain untuk melawan hoaks yaitu bersikap proaktif dalam melakukan literasi politik gerakan melawan hoaks, serta melakukan rekonsiliasi dan membangun komitmen kebangsaan bersama para aktor politik untuk tidak memakai hoaks sebagai strategi politik dalam kontestasi elektoral, sehingga dapat meminimalisir efek disinhibisi akibat ketiadaan norma komunikasi.
Sebagai penutup, kaum milenial harus mampu membangun sinergitas dan diharapkan dapat menentukan arah politik tersendiri. Menghidupkan komitmen bernegara, serta mendorong pemangku kepentingan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Tentu saja diperlukan kebijakan yang adil dan terukur, ada jaminan kebebasan bagi publik untuk berpendapat, perketat perlindungan data pribadi, dan mendorong negara agar tidak menggunakan fungsi surveilansnya untuk sekadar memata-matai rakyatnya sendiri, lalu membuat langkah yang tak adil. (*)
* Penulis adalah peneliti di Forum Studi Perbatasan, Nusa Tenggara Timur